Nenek lampir

11K 501 15
                                    

"Perasaan semenjak nikah, aura lo makin aur-auran! Dikasih apa sama Om Adi?" Tanya Eva.

"Sperma laki gue! Mau apa lo?" Tanyanya.

"Makin vulgar aja nih," timpal Sara.

Shenin terkekeh geli, lalu mengibaskan rambutnya yang harum. Ia baru saja melakukan perawatan di salon. Ternyata menikah dengan Adinata memang sesuai ekspektasi, pria itu bahkan memberikan uang belanja berlimpah.

Mereka semakin rapat duduk melingkar. "Jadi gimana main sama ayah dari mantan pacar?" Celetuk Evelyn.

Wajah Shenin langsung memerah, tiba-tiba saja teringat permainannya dengan sang suami. Tak ada malam yang absen kecuali ia sedang haid. Pria itu tampaknya benar-benar lapar. Maklum saja, telah menahan diri selama belasan tahun lamanya.

"Mikir jorok lo!" Tuduh Sara. Gadis itu lalu berbisik. "Tapi gue beneran penasaran. Antara punya Om Adi sama Reksa, mana yang lebih gede?"

"Ah, kalian ntar malah bayangin suami gue! Mending bayangin punya laki lo semua. Ternyata setelah menikah itu enak banget loh. Kalau mau gituan, gak perlu merasa was-was karena udah pada sah. Apalagi tinggal berdua."

Eva mengangguk. "Sebelum punya anak, puas-puasin. Kalau kayak gue gini udah susah mau banyak gaya dan eksplorasi sembarangan tempat."

Mereka lalu tertawa bersama, sudah cukup lama Shenin tak berkumpul dengan temannya lagi sejak menikah. Karena ia sibuk mengurus suaminya, atau mungkin lebih tepatnya tak ingin berjauhan.

Ini hanya karena Adinata pamit untuk memantau proyek yang ada di Jogja, makannya gadis itu keluar rumah. Sebab merasa bosan sendirian, pun sang suami mengatakan tak akan lama.

"Gak sabar mau nikah," kata Sara.

"Tapi jangan mikir enaknya doang! Banyak juga ancaman rumah tangga setelah menikah tau. Gue aja yang gak punya mertua nyebelin, malah dapat ipar rese semua!" Ucap Shenin.

Ia kembali mengingat tempo hari saat menjenguk mertuanya. Ternyata saudara Adinata juga banyak yang menyebalkan. Mentang-mentang ia lebih muda daripada mereka, sehingga dengan mudahnya memperlakukannya.

Dan yang membuatnya lebih kesal lagi, Adinata tak membela. Hanya diam dan tak membantah perkataan saudaranya. Jika mengingat hal tersebut, rasanya Shenin ingin melampiaskan sakit hatinya pada pria itu.

Evelyn menyikut. "Diapain lo?"

"Najis banget mereka tuh! Kan tim gagal move on dan pengen jodohin Mas Adi sama adik istrinya. Malah menghina gue, bilang gue ngincar harta atau apalah itu. Pengen gue remes mulutnya!" Kata Shenin menggebu-gebu.

"Gak usah diladeni, kalau suami cinta, mereka emangnya mau apa?"

Shenin hanya mengangguk, ia tak peduli pada orang-orang yang sibuk mencacinya di belakang. Tapi ia peduli kalau mereka mencaci di depan dirinya dan lebih parahnya secara terang-terangan di depan sang suami.

Wanita itu lalu mengambil ponselnya dari saku baju. "Reksa nelpon nih."

"Cie, anak tiri!"

"Gue angkat dulu."

Ia segera menyingkir dari perkumpulan teman-temannya. Melipir ke sudut ruang tamu, lalu mengangkat telepon anak tirinya.

"Ada apa?"

"Bel-, eh-m maksud gue Ma. Papa ada kecelakaan kecil sih. Tapi kayaknya ini yang bikin Papa gak pulang dulu malam ini. Kalau misalnya tinggal sendiri dulu atau mau ke rumah Eyang aja, mau?"

Shenin tentu saja panik. "Apa perlu ke Jogja juga? Papa kamu sadar?"

"Udah sadar. Beliau gak sengaja kena runtuhan besi. Tapi ini udah diobati dan kata dokter tidak ada cidera parah. Mama mau nyusul ke sini?"

Naksir Ayah MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang