Honeymoon kedua

8.2K 426 19
                                    

"Lo masih berharap Sa?"

Kepala Reksa langsung mendongak, ia menyingkirkan berkas yang ada di genggaman. Lalu menatap pada sang lawan bicara yang tampak santai. "Apa?"

"Si Belle!" Pria itu tersenyum seperti meledek padanya.

Teman laknat yang sayangnya adalah orang yang paling dekat dalam hidupnya selama beberapa tahun ini. Giovani menarik turunkan alisnya, kembali meledek temannya yang tampak semakin kusut.

"Emak gue."

"Elah! Istri bokap lo doang kan?"

"Tapi tetap bakal jadi Mak gue, apalagi kalau nanti adik gue lahir."

Giovani melompat dari sofa tempat duduknya, ia lalu duduk di samping Reksa. "Beneran hamil lagi? Bukannya kemarin keguguran? Rumah tangga mereka sempat gonjang-ganjing karena Om Adi yang gak peduli kan?"

Siku Reksa langsung mengenai perut teman karibnya, pria itu mendengus. Merasa kesal pada Giovanni yang selalu tahu tentang keluarganya. Bukan karena ia yang cerita saja, tapi karena pria itu memiliki banyak mata-mata juga. "Jangan ikut campur. Lagian mereka udah baikan, Papa udah mulai mau merubah sikap dan ngimbangin dia. Kelihatannya makin akur, malah sekarang lagi jalan-jalan ke Pulau Seram. Dari dua hari yang lalu, entah kapan balik."

Sementara Papanya pergi berlibur untuk semakin merekatkan hubungan, Reksa membantu melengkapi tugas-tugas Papanya. Pun sejak dulu ia juga sering melakukan hal yang sama, membiarkan Reksa mengemban tanggung jawab agar ia bisa lebih banyak belajar.

Mata Giovanni melotot. "Wah, bakal dapat adik lagi habis pulang dari sana. Gimana rasanya punya adik lagi di umur segini Sa?" Ledekannya kembali menggema di ruang kantor.

Pria itu tersenyum, tanpa takut tangan Reksa menghantam bagian tubuhnya. Padahal pria itu sudah bersiap-siap ingin meremas wajahnya.

"Senang lah!"

"Bohong lo kan? Harusnya diumur segini kita udah pada gendong anak." Pria itu menutup mulutnya dengan tangan kanan, ia lalu tergelak. "Lah, nanti kan lo juga bakal gendong anak! Tapi anak mantan!" Ia lalu menyingkir saat Reksa hendak menghantam tubuhnya dengan bantal.

Pria itu terbahak-bahak di sudut ruangan, sampai memegang perutnya yang terasa berguncang. "Udahlah, gue capek ketawa sama jalan hidup lo yang lucu begini. Tau begitu, dulu mending lo pacarin beneran si Shenin. Sayang banget, secakep dia disia-siain."

"Itu juga karena pengaruh lo bandit!" Wajah Reksa mengeras, kesal karena terus diledek oleh temannya.

Tapi sejujurnya ia tak benar-benar bisa marah pada Giovanni. Bagaimana pun, itu salahnya sendiri karena telah mempermainkan Shenin sesuka hati. Dulu ia begitu naif, menganggap bahwa siapapun akan takluk dalam pelukannya.

"Sana pulang lo! Om Ramdhan dari kemarin nyari."

"Males gue. Ribut melulu tuh rumah, udah kayak neraka aja." Giovani kembali berjalan mendekat dengan Reksa. Duduk di sofa panjang, lalu menjulurkan kakinya dengan santai. "Anehnya tuh ya, mereka berantem berhari-hari dan setelah itu malah baik lagi kayak gak terjadi apapun. Padahal segala kebun binatang keliarkalau lagi perang." Giovani kemudian mencondongkan tubuhnya ke hadapan Reksa. "Kalau bokap lo sama Shenin berantem, juga begitu? Apa semua pasutri berantemnya begitu ya?"

Reksa langsung menggeleng, ia tak pernah mendengar Shenin memaki Papanya. Entah mungkin bukan di hadapannya, tapi ia juga tak pernah melihat mereka adu mulut saat bertengkar. Papanya cenderung diam mendengarkan, tapi tak ingin memberikan penjelasan atas tindakan yang telah dilakukan.

"Jangan dibahas."

"Lagi mesra sekarang pasti!"

"Udah!"

"Lo gak mau liatin story Shenin?"

"Udah."

"Mesra kan?"

"Berisik!"

_______

Jemari Shenin sudah mulai berkerut karena kedinginan. Tapi wanita itu enggan bangkit dari air, ia senang berendam sembari menikmati matahari pagi yang muncul.

"Mau sampai kapan?"

"Sampai aku pengen makan."

Wanita itu kembali menutup matanya dengan kacamata hitam. Ia lalu menumpukan telapak tangannya di kepala. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa melayang, sontak membuatnya langsung melepaskan kacamata.

Rupanya sang suami telah menggendong sampai ke penginapan mereka. Pria itu membawanya ke kamar mandi.

"Mau bilas sendiri atau dibantu?" Tawar Adinata.

Shenin bergidik, mereka telah melakukannya berkali-kali tadi malam. Ia tak ingin kalau Adinata tiba-tiba kembali berulah dan menyerangnya seperti hewan buas. Dirinya terlalu lelah melakukan aktivitas seksual. "Mas keluar aja. Aku mau mandi sendiri biar cepat."

"Saya juga cepat."

"Ah! Sana!"

Sang suami hanya tergelak kecil, lalu keluar kamar mandi setelah puas menggoda sang istri. Pria itu menyiapkan makanan untuk sang istri. Ada coto Makassar yang sengaja ia pesan, masih tampak hangat sebab asapnya mengepul di udara.

Shenin keluar kamar mandi dengan bathrobe di atas lutut. Bagian dadanya cukup terbuka, pasalnya hanya ia ikat dengan asal dan tak terlalu kuat. Wanita itu lalu mendekat saat mencium aroma sedap. "Enak banget. Kok Mas tau kalau aku kepengen?"

"Kamu sampai bilang berulang kali pengen ini kalau siang."

Wanita itu mengerutkan keningnya, mencoba mengingat. "Kapan?"

Wajah Adinata tiba-tiba bersemu, pria itu menggeser duduknya agar sang istri bisa ikut duduk di sampingnya. Pasalnya hanya ada satu sofa yang hanya cukup untuk duduk berdua. Sofa itu menghadap pada perairan jernih dan langit biru.

Shenin melirik sang suami, menunggu jawaban dari suaminya yang tak kunjung keluar. "Kapan? Atau Mas punya mata batin?"

"Habis 'itu', kamu bilang sambil merengek minta coto Makasar siangnya."

Sadar bahwa dirinya tadi malam terlalu menggelikan, Shenin langsung menutup seluruh wajahnya dengan telapak tangan. Ia ingat betul sehabis mereka berkegiatan hingga pukul 3 pagi, ia merengek karena menahan letih.

"Mas gak ada capeknya. Aku aja capek loh!"

Adinata yang sadar bahwa aksinya terlalu berlebihan, langsung membantu memijit bahu sang istri yang kini membelakanginya. Wanita itu terisak setelah aktivitas mereka yang memakan waktu serta tenaga.

"Maaf ya."

"Paha aku kerasa keram. Pokoknya siang aku harus makan coto Makasar. Kan ke sini karena aku pengen makan coto aja. Tapi Mas malah ambil kesempatan sampai libur seminggu."

Wanita itu semakin merengek, membuat Adinata merasa serba salah. Padahal saat berkegiatan tadi, bukan hanya ia yang semangat. Tapi sang istri juga yang meminta terus padanya. Lantas, kini salah siapa?

Pria itu hanya diam, kembali memijit bagian tubuh istrinya yang disebut keram dan sakit-sakit.

Shenin kembali mengoceh. "Umur segini aja Mas masih semangat banget. Apalagi waktu mudanya ya?"

Tiba-tiba saja tubuhnya berbalik saat Adinata memijit punggung, sampai entah bagaimana tangan pria itu tiba-tiba berpindah pada gundukan berlemak milik sang istri tanpa sengaja.

Segera saja tangannya ditepis oleh sang istri. "Mijitnya gak usah sampai sana Mas. Kamu yang ada malah remas-remas."

"Tidak sengaja."

"Dulu Mas kayak gini juga ya?"

"Apa?"

"Lama begini juga? Jawab aja, aku gak bakal cemburu sama orang yang udah gak ada kok."

Wajah Adinata langsung berubah, pria itu tiba-tiba saja tertunduk kala mengingat masa lalunya. "Tidak."

"Kenapa?"

"Ya, tidak saja."

_______

Maaf lahir batin ya semua

Naksir Ayah MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang