Talak?

8.2K 519 37
                                    

"Aku mau pulang ke tempatku."

"Di mana?"

"Di mana aja yang gak ada Mas."

Shenin menghembuskan nafasnya, ia membulatkan tekad agar tak goyah lagi dengan keputusannya kali ini. Wanita itu tak ingin terlihat lemah di depan Adinata.

Ia kemudian menyandang tasnya dan segera keluar dari ruangan rumah sakit. Disusul oleh sang suami di belakang tanpa sepatah kata. Mungkin pria itu merasa senang karena pada akhirnya bisa terbebas darinya.

Sampai di parkiran, Adinata kembali meraih tas dan mengajak Shenin menuju mobilnya. "Kalau belum ingin bicara dengan saya, tidak apa-apa. Kamu bisa pulang ke apartemen dulu. Tapi jangan labrang saya buat ketemu kamu."

"Kenapa harus ketemu lagi?" Tanya Shenin.

"Kita suami istri. Saya tahu kamu marah dengan saya perihal keguguran itu. Saya minta maaf."

Bola mata Shenin kembali mengabur, ia tak bisa menahan tangis tiap kali mengingat calon anaknya telah gugur begitu saja. "Minta maaf juga gak akan bisa kembalikan semuanya. Lagian keinginan Mas udah tercapai. Jadi buat apalagi kita pertahankan hubungan sepihak begini? Aku gak mau hidup sama orang yang bahkan gak pernah menginginkan aku."

Mobil Adinata mulai bergerak meninggalkan pelataran parkir, pria itu mengarahkan mobilnya menuju apartemen tempat tinggal mereka sebelumnya. Memang milik Shenin masih kosong dan sangat terawat, jadi ia tak perlu repot-repot menyuruh orang membersihkan apartemen itu.

Mereka melangkah bersama menuju unit tempat Shenin tinggal, pun Shenin tak melarang Adinata yang ikut masuk ke apartemen bersamanya.

"Saya akan mengunjungi sebelum berangkat kerja dan setelahnya. Sampai kamu bosan dan berniat kembali ke rumah," katanya.

Shenin mendengus, ia kemudian menyalakan televisi untuk mengusir canggung antara mereka. "Gak mampir sekalipun, aku gak apa-apa. Kabari aku kapan Mas siap buat mengajukan perceraian."

Pandangan Adinata langsung membidik sang istri yang tampak santai membahas mengenai perceraian. Tak menyangka akan semudah itu keluar dari mulut sang istri. "Bercerai karena keguguran? Saya sudah bilang kalau kamu masih memiliki kesempatan untuk hamil."

Bibir Shenin berkedut, merasa lucu dengan ucapan sang suami. Ia tak pernah menyangka bahwa pemikiran Adinata begitu dangkal. Pria itu juga tak pernah terlihat nampak kehilangan jabang bayi mereka. Kini yang ada di pikiran Adinata mungkin hanya karena Shenin bisa kembali hamil dan semua masalah akan selesai.

"Semudah itu pemikiran kamu? Seolah-olah yang kehilangan anak ini cuma aku? Segampang itu ya kamu meremehkan sakit yang aku tanggung? Rasa traumaku? Kamu gak mikir itu semua kan?!!!" Jantung Shenin berdetak cepat, nafasnya memburu. Keningnya mulai berkeringat, bibirnya bergetar karena menahan tangis. Wanita itu menatap Adinata dengan tajam, mengacungkan telunjuknya di depan wajah sang suami. "Pernah gak sekali aja kamu mikir tentang aku?" Ia menggeleng cepat. "Gak pernah kan Mas? Yang ada di pikiran kamu selalu tentang Kamu dan keluargamu aja. Bahkan aku ragu kalau sekarang aku masuk bagian dari keluarga kamu."

Wanita itu menutup matanya, ia menyadarkan kepalanya di sofa. Mencoba meredakan jantung yang kian berpacu lebih cepat dari biasanya. Tangannya terkepal, kalau saja ia lebih dari mampu, mungkin saat ini wajah Adinata sudah memerah karena tamparan darinya.

Adinata terperangah, melirik sang istri. Pria itu menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia tahu wanita pasca keguguran akan jauh lebih sensitif. Begitu keterangan dari dokter. Tapi melihat sikap Shenin yang berlebihan dan menuduhnya yang tidak-tidak, tentu membuatnya merasa tak nyaman.

Ia bahkan belum sempat menyangkal segala tuduh dari sang istri. Tapi wanita itu terburu-buru ingin mengajukan perceraian padanya.

"Kamu butuh istirahat. Aku akan tinggal di sebelah." Pria itu melangkah untuk mendekat pada sang istri. Mengusap rambut Shenin, sebelum sang istri menepis tangannya. "Jangan tidur terlalu larut. Saya sudah siapkan makanan di kulkas dan obat kamu di meja makan."

"Berhenti sok peduli!"

Adinata hanya terdiam, pria itu segera meninggalkan unit apartemen Shenin. Ia memutuskan untuk menginap di sebelah. Terserah pada Shenin yang tak terima dan tak menggubris perhatian darinya.

Sesampainya di apartemen, ia segera menjatuhkan tubuhnya di sofa. Pria itu kembali menerawang jauh tentang masa lalunya pada istri terdahulu.

"Saya pikir semua wanita itu tak rasional dan terlalu ribet. Atau apa mungkin saya yang tak bisa memahami mereka?"

_______

Keesokan harinya, Adinata segera bersiap menuju unit di sampingnya. Pria itu telah menyiapkan smoothies dari buah naga dan pisang yang dihias apik olehnya.

Pria itu tanpa perlu repot-repot membunyikan bel, ia langsung masuk begitu menekan beberapa nomor kode sandi. Menyimpan smoothies di meja makan, lalu menyiapkan obat dan juga susu hangat.

Tak ada tanda-tanda Shenin menuju dapur, Adinata lalu menuju kamar sang istri dengan pintu terbuka. Bunyi suara gemericik dari kamar mandi membuatnya tersenyum. Itu tandanya Shenin sudah mulai membaik.

"Kenapa di sini?!"

"Saya sudah bilang akan ke sini sebelum kerja."

Shenin memperbaiki letak handuknya, melirik Adinata dengan mata yang hendak menerkamnya bulat-bulat. "Sana! Gak sopan masuk ke kamarku."

"Kamar istri."

"Sana!" Usirnya lagi.

Adinata menyerah, membiarkan Shenin memakai baju. Sedangkan ia kembali menuju dapur dan duduk di kursi makan.

"Mau ke mana?"

Shenin mengendikkan bahunya. "Suka-suka aku."

"Kamu belum pulih."

"Mau ketemu Om Satrio. Aku ada janji."

Mendengar nama itu, Adinata lantas waspada. Melirik sang istri dengan curiga. Ia segera merampas ponsel sang istri dan membaca pesan-pesan yang dikirim oleh Satrio.

"Saya antar. Kamu dilarang bertemu dengannya hanya berdua."

Shenin mendengus tak suka. "Aku bisa sendiri, cuma jalan sedikit ke cafe depan. Om Satrio juga gak punya waktu banyak. Mas juga perlu kerja pagi ini kan?"

"Mau apa?" Tanya Adinata.

"Sesuai yang aku bilang tadi malam. Aku pikir pernikahan suatu solusi buat aku lepas dari permasalahan. Tapi ternyata aku salah dan sekarang aku mau memperbaiki itu. Kamu bisa berbuat sesuka kamu tanpa perlu mikir aku lagi. Kamu juga gak perlu merasa terbebani dengan kehadiran aku. Dan terakhir, keluarga kamu juga pasti senang karena bisa lepas dari aku."

Shenin meneguk air putih setelah menghabiskan satu mangkok smoothies. Wanita itu hanya tersenyum tipis sembari menatap Adinata yang mengetatkan rahangnya.

Mungkin rasanya akan sangat malu bercerai dalam pernikahan sesingkat ini. Tapi hidup bersama Adinata dengan isi kepala pria itu yang tak pernah ia ketahui, rasanya akan lebih menyesakkan.

Derit kursi di sampingnya membuat Shenin terjengkit kaget. Sebab Adinata terlalu keras mendorong kursi ke belakang, pria itu lalu menarik pergelangan tangan Shenin. "Apa yang kamu inginkan dari saya?"

"Perceraian. Aku udah bilang dari kemarin."

"Semudah itu?"

Shenin terdiam.

Mata Adinata mulai memerah, pria itu segera melepaskan tangan sang istri saat melihat Shenin yang ketakutan karena ia genggam terlalu erat. "Saya tahu umur kamu masih muda. Pasti banyak penyesuaian karena perbedaan umur dan cara berpikir kita. Bahkan ini sudah dibahas jauh-jauh hari sebelum pernikahan."

"Aku capek Mas."

"Saya kasih waktu. Sampai kamu tidak lelah lagi."

"Aku mau lepas dari kamu. Aku juga mau lepas dari keluarga kamu!"

"Shen-"

"Aku beneran capek. Aku gak bisa pura-pura tegar tiap kali mereka dengan sengaja bandingin aku dengan orang lain. Gak ada yang bisa aku pertahankan lagi dari kamu."

Adinata melengos begitu saja, meninggalkan Shenin yang tergugu di bawah lantai.

Makasih udah nungguin

Naksir Ayah MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang