Pernyataan cinta

7.6K 546 30
                                    

"Papa masih berantem?"

"Sama siapa?"

"Istri Papa."

Adinata menggeleng, jelas itu bukan pertengkaran baginya. Sebab hanya salah satu pihak yang marah. Sedangkan dirinya sama sekali tak marah dan merasa tersinggung.

"Astaga!" Reksa menepuk jidatnya. Ia meringis, sebab ayahnya tampak santai menghadapi Shenin. Ia menarik kursi agar lebih dekat. "Pa, aku bukan mau sok nasihati Papa. Cuma harusnya Papa gak perlu kerja dulu lah. Ajak dia, maksud aku ajak Bunda jalan-jalan atau liburan. Habis keguguran itu pasti sedih banget dan Papa harus ada di sampingnya."

"Dia menolak. Biarkan dulu sendiri."

"Ya, tapi gak begitu juga Pa. Sikap Papa yang begini nih kadang bikin aku bingung. Dulu sama Mama juga begini, Papa gak pernah mau nunjukin rasa kepedulian dan empati Papa. Padahal yang Mama butuhkan saat itu perhatian dari Papa. Walau aku tau di luar itu Papa selalu cari cara bikin Mama sembuh," ucap Reksa.

Pun sama dengan dirinya, Adinata tak pernah secara terang-terangan menunjukkan perhatian sebagai seorang ayah pada anak yang ditinggal ibunya. Tapi Reksa tahu selama ini bahkan sang ayah sangat peduli dengan cara-cara lain yang tak ia sangka.

Pria itu selalu memberi kado ulangtahun dengan nama Omanya. Selalu datang saat pengambilan rapor, walau selalu terlambat. Dan banyak hal lain yang dilakukan sang ayah.

Adinata meletakkan penanya di meja, pria itu menegakkan kepalanya dan menutup lembaran berkas penting yang ia periksa. "Papa bilang kalau kamu masih bisa punya anak dan dia marah."

"Pasti dia menganggap kalau Papa gak merasa kehilangan anak."

"Dia memang bilang begitu."

"Makanya marah! Harusnya Papa juga kasih tau kalau Papa kehilangan."

"Untuk apa?" Tanya Adinata heran.

Reksa meremas rambutnya karena bingung. "Supaya dia gak merasa begitu."

"Padahal kan Papa harus terlihat lebih tegar supaya dia bisa bangkit. Begitu kata dokter kan?"

"Dia salah paham Pa! Cepat pulang, daripada kabur beneran."

Adinata terdiam sejenak, kembali menilik sikapnya yang dianggap keterlaluan oleh sang istri. Saat ibunya meninggal, ia memang cukup sibuk sebagai anak laki-laki. Pria itu mengakui bahwa ia tak fokus saat itu pada istrinya.

Tapi ia tidak mengabaikan sang istri, pun ia turut kehilangan bayi mereka. Bahkan menangis tersedu-sedu saat janin itu dibersihkan dari rahim istrinya. Hanya saja ia memang tak ingin terlihat lemah.

Pria itu menahan jarinya di pintu, ia menghela nafas. Lalu menekan kode nomor pintu sang istri.

"Mau ke mana?"

"Pindah."

"Pulang ke rumah kita kan?" Tanya Adinata.

Shenin menggeleng, wanita itu masih saja sibuk membereskan barang-barangnya. "Aku udah bilang tempat yang gak ada kamu. Kalau kamu gak setuju buat cerai, aku yang mengajukan gugatan."

Saraf Adinata seperti ditarik paksa, pria itu menelan ludahnya. Ia pikir pembicaraan mengenai perceraian hanya sebatas ancaman dari sang istri. Ia pikir Shenin tak akan berani melakukannya.

"Saya sudah bilang tidak ada perceraian."

"Aku gak mau hidup sama kamu lagi!"

Adinata ikut berjongkok, menahan tangan sang istri yang bersiap menutup koper. "Saya sudah bilang tidak ingin bercerai. Saya akan berusaha memperbaiki sikap saya dan minta maaf."

"Kamu gak bakalan berubah! Lagian aku gak mau menjalani pernikahan sama orang yang gak bisa cinta sama aku!"

Pria itu menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia menarik koper sang istri dan menggeser cukup kuat ke samping. Sehingga isi koper itu keluar dan tampak berantakan. Tentu saja membuat sang istri bertambah marah. Tapi ia tak peduli, pria itu memegang alih kedua bahu istrinya dan mencengkram kuat. Ia lalu mencium bibir sang istri dan kemudian melumatnya. "Saya udah bilang kita tidak akan bercerai sampai kapanpun. Apalagi dengan alasan tidak masuk akal. Pernikahan kita baru sebentar dan kamu sudah menuduh saya yang tidak-tidak."

Nafas Shenin memburu, ia mulai terisak dan matanya berkaca-kaca. "Aku gak nuduh. Tapi kenyataannya memang begitu. Mas gak pernah benar-benar kelihatan cinta sama aku. Aku rasanya malu karena kelihatan cinta sendirian."

"Siapa bilang? Itu asumsi kamu lagi?" Tanya Adinata. Pria itu mulai merendahkan nada bicaranya. Menatap mata Shenin dengan lembut dan mengusap sisa air mata di pipi wanita itu. "Saya juga tidak berniat menikah kalau saya sendiri tak merasakan perasaan itu. Saya dulu bahkan bersumpah tak akan pernah jatuh cinta lagi."

"Kan! Mas nikah cuma buat menuhin janji sama Mama doang! Mas anggap aku cuma sebagai istri pengganti aja," tuduh Shenin.

Pria itu berdecak, terkadang pemikiran Shenin yang tanpa batas itu membuatnya pening tujuh keliling. "Itu asumsi kamu lagi. Memangnya pernah dengar saya bicara begitu? Kamu terlalu mendengarkan pendapat orang lain, kamu hanya terbawa suasana karena saat itu lagi sensitif. Saya bahkan gak pernah bilang begitu."

Shenin membuang pandangannya, tak ingin memperlihatkan wajahnya di depan Adinata. Pria itu terlalu pandaiemutar balikkan fakta dan ia tak mau terjerumus pada pesona pria itu lagi.

Kali ini, ia tak ingin takluk pada Adinata lagi. Pria yang tak punya hati dan merasa baik-baik saja setelah kehilangan anak mereka! Pokoknya kali ini keputusannya sudah bulat ingin cerai!

"Terserah, cerai tetap berlanjut."

"Karena apa?"

"Mas senang kehilangan anak kan?"

Adinata berusaha tak meledak saat dituduh demikian. Ia menggeleng. "Saya bahkan merasa terpukul kehilangan orang-orang yang saya cintai dalam waktu dekat. Saat saya bilang kita bisa punya anak lagi, saya hanya berharap kamu terhibur dengan kata-kata itu. Walau rasanya berat kehilangan, tapi benar kata dokter. Kita masih punya waktu dan persiapan buat punya anak selanjutnya."

"Aku gak mau punya anak sama Mas!" Kukuh Shenin.

Ia berusaha melepaskan rengkuhan Adinata yang semakin menguat. Pria itu memeluknya erat, lalu mengecup ubun-ubunnya dengan lembut. Membuat Shenin merinding seketika. Takut pada tingkah Adinata yang ternyata palsu atau malah nanti bisa saja tiba-tiba pria itu menusuknya dengan pisau.

"Saya tau kamu marah sekali dengan saya. Tapi beri saya kesempatan ya? Buat buktikan kalau saya benar-benar serius dengan kamu."

"Mas gak cinta sama aku kan?"

"Tidak-"

"Nah itu! Kenapa harus dipaksain? Gak ada hal yang bikin Mas harus bertahan menjalani pernikahan denganku lagi. Aku cuma pengen punya keluarga kecil yang bahagia dan saling mencintai. Karena aku dulu gak dapatin hal itu waktu kecil. Kalau dari Mas aku gak bisa dapatin hal itu, lebih baik aku pergi. Mungkin keinginan aku terwujud di orang lain," sebutnya.

Sejak dulu keinginan Shenin tak pernah muluk-muluk. Ia bahkan tak tertarik pada perebutan gak waris dari sang ayah. Mampu makan setia hari yang ia mau dan punya tempat tinggal serta uang tabungan saja sudah membuatnya merasa cukup. Maka kini ia ingin mewujudkan keinginannya sejak kecil yang tak pernah ia dapatkan pada keluarganya.

Ia pikir Adinata bisa mewujudkan keinginan kecilnya itu. Tapi nyatanya pria itu tak mampu melakukannya. Bahkan mereka tak bisa saling mencintai. Atau ia tak mampu membuat Adinata bisa mencintainya.

Bibir Adinata kembali mendekat, pria itu mengecup lembut. Kali ini lebih dalam dan menuntut. Sampai sang istri terengah di pangkuannya. "Saya pikir pernyataan cinta itu terlalu klasik. Tapi kali ini saya mau bilang, kalau saya jatuh cinta dengan kamu bahkan jauh sebelum kita menikah."

Jangan marah-marah

Selamat menjalani ibadah puasa bagi yang menjalankan!

2.3 kucing dalam pot
Jangan lupa vote!


Naksir Ayah MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang