Pertemuan dengan Reksa

15.1K 474 19
                                    

"Kenapa tidak bilang pada Papa kalau kita pernah pacaran?"

Shenin terdiam, ia takut nanti Adinata malah menuduhnya yang tidak-tidak. Terlebih saat ini status mereka sudah bertunangan. Kalau nantinya pria itu membatalkannya?

"Lebih baik kita tutup rapat-rapat aja."

Mata Shenin kini berpendar pada segala arah, selain objek yang ada di depannya dan sangat ia hindari. Hanya saja karena ancaman Reksa yang memberitahukanbpada orang tuanya yang tidak-tidak, Shenin jadi takut.

Reksa menggeleng tak terima. "Papa harus tahu, mau apapun nanti keputusan Papa harus diterima. Kecuali jangan bilang kalau kamu jatuh cinta beneran sama Papa?"

"Iya, aku rasa begitu."

"Bel? Kamu tidak lagi bercanda? Itu Adinata Papaku, orang tuaku Bel. Mantan pacar kamu. Bagaimana bisa setelah kamu sama anaknya dan sekarang malah beralih pada Papanya?"

"Bisa. Kamu aja bisa mempermainkan aku dan menjadikanku sebagai barang taruhan mu. Lalu kenapa aku tidak bisa mencintai Ayah kamu dengan tulus? Kamu pengen kan lihat Ayah kamu bahagia dan menikah? Lalu apa lagi?"

Minuman yang ada di gelas kaca tinggi itu habis ditegur oleh Reksa. Pria itu sungguh tak menyangka kalau ini akan terjadi. Bagaimana bisa? Ia tak habis pikir mengapa Shenin bisa menyukai sang Ayah?

"Kamu terlalu gila. Aku akan katakan ini pada Papa. Atau jangan-jangan mau mengambil harta papaku?"

"Kamu pikir aku semakin itu? Asal kamu tau, aku juga punya warisan dari Ayahku. Jadi tidak perlu mengemis harta orang lain, kalau aku serakah, mungkin sejak dulu aku udah tinggal di rumah peninggalan Ayahku."

Brak!

Shenin mendorong kursinya dengan kasar, tanpa peduli dengan tatapan mata yang kini beralih padanya. Wanita itu menghela nafas kasar, lalu berjalan dengan cepat untuk mencari kendaraan.

Tapi..

"Shen?"

"Om?"

"Dari mana?"

"Kafe itu, ada apa?"

Satrio mengajak masuk mobilnya, sedangkan Shenin yang takut dikejar oleh Reksa akhirnya menurut saja. Kini ia berada di mobil Satrio, entah ke mana pria itu akan mengajaknya.

Sampailah mobil itu terparkir di depan rumah megah yang Shenin ketahui dan hafal kalau itu rumah peninggalan Ayah kandungnya. Merasa tak terima, wnakta itu memukul keras lengan Satrio.

"Mereka menyuruh kamu untuk pulang. Mengapa tidak mau pulang?"

Shenin mendengus. "Pasti mereka bakalan sibuk rebutan warisan lagi, Om. Buat apa aku pulang? Kan aku sudah bilang kalau harta warisan Papa dibagi rata aja sama mereka. Aku tidak perlu dan bisa hidup sendiri tanpa mereka atau koneksi dari Papa."

Satrio menggelemg tak setuju, pria itu mengajak Shenin masuk dengan paksa. Hingga kini mereka duduk di ruang tamu megah, Shenin hanya diam tanpa mengeluarkan suara.

Seorang wanita dengan daster kebesar langsung menghampirinya.

"Mbok kangen sama Non Shenin, apa kabar? Kenapa malah kabur?"

"Aku bukan kabur kok, Mbok. Cuma sedikit menyingkir aja dan cari kebebasan. Biar aku jadi anak yang mandiri."

Lalu wanita paruh baya itu pamit untuk membuatkan minuman. Setelahnya disusul kedatangan dua orang pria serta wanita dengan dandanan menor.

Dari dulu riasan wanita itu memang terlihat sangat mencolok, gincu merah serta blush on yang terlewat tebal.

Seorang pria yang mengenakan celana pendek serta kaos putih itu mendekat pada Shenin. Pria itu mencubit pipi Shenin sampai tangannya disingkirkan paksa.

"Kak Andro! Nanti aku bsia jerawatan!"

"Dari mana aja? Ngambeknya belum cukup kamu?"

Shenin menggeleng. "Aku kan bukan bagian dari keluarga ini, lagipula Apa sudah tidak ada di sini. Jadi rasanya tidak pantas aku kalau tinggal di sini. Apalagi sekarang aku udah punya kerjaan, jadi bisa lebih mandiri."

Pria bernama Andro itu kembali mendekat, ia menggeser Satrio agar segera menjauh dari adiknya. Pria itu kembali mencubit pipi Shenin yang tirus dengan gemas.

"Karena kamu mutusin buat sok mandiri, sekarang pipi kamu tirus. Badan kamu juga kelihatan banget kurang gizi. Apa tidak mau kembali ke sini aja?"

Shenin menggeleng, ia melirik sosok pria yang tak bercakap sejak tadi. Pandangan matanya tajam, seolah ingin menghunus Shenin saat ini dengan benda tajam.

Seorang wanita yang ikut diam sejak tadi akhirnya membuka suara. Ia berdehem sebentar untuk mengintruksi obrolan anaknya dengan anak tirinya.

"Jadi, sejauh mana kamu lari? Kenapa tidak bilang kalau mau bertunangan dengan orang lain?"

"Maaf Ibu, tapi aku rasa karena aku tidak lagi butuh sosok wali. Lagipula untuk apa aku memberitahu? Bukannya kalian malah merasa senang karena itu artinya aku tidak lagi jadi bagian dari keluarga ini?"

Amara berdehem lagi, lalu menegakkan badannya hingga kini posisinya menjadi  tegap. Wanjta itu melirik anak tiri yang sudah lama tak ia jumpai.

"Tetap saja bagian surat wasiat itu-"

"Bu, tidak apa. Kalian tidak harus menjalankan surat wasiat itu. Aku bisa mengurus diri sendiri, aku tidak mau kalau kehadiranku malah menambah luka. Sudah cukup selama ini dan aku tidak lagi mau menambahkan beban di keluarga ini. Ibu bisa tenang dan Kak Deren serta Kak Andro bisa mengambil bagianku. Atau terserah apapun itu, aku tidak ingin ikut campur."

"Tapi bukan itu masalahnya, Shenin. Tetap saja kamu masih bagian dari keluarga ini. Tetaplah tinggal di sini sampai nanti kamu akan menikah."

Lalu Amara langsung pergi meninggalkan ruang tamu, Deren dan Andro masih menetap di sana. Begitu juga dengan Satrio yang membawa Shenin pada situasi ini, pria itu seolah bungkam tanpa rasa bersalah.

Deren melipat kedua tangannya di depan dada. Pria itu tersenyum sinis.

"Semua barang-barang mu akan dibawa ke sini. Jangan lagi tinggal di sana, tempat itu tidak layak."

Shenin melirik Andro, mencari kebenaran di mata kakak pertamanya itu. Tapi sama sekali tak ada jawaban, pria itu hanya mengendikkan bahu seolah tak tahu apa-apa.

Kini Deren mendekat, menarik tangan Shenin dan mengajaknya masuk lebih dalam pada bagian rumah besar itu.

"Jangan lagi pulang ke sana."

"Deren, gila! Gue gak mau tinggal di sini! Apa sih mau Lo emangnya? Bukannya Lo malah senang kalau gue gak ada di sini?"

Andro datang untuk menengahi keduanya.

"Jangan tarik Shenin dengan paksa, Ren."

"Shenin harus kembali, tadi saya hanya berjanji membawanya ke sini untuk meluruskan masalah. Tapi kemungkinan ini belum waktu yang tepat. Jadi hal-hal lain yang berkenaan dengan Shenin bisa kita bicarakan nanti lagi," ujar Satrio.

Pria itu kemudian membawa Shenin keluar dari rumah besar tersebut, sedangkan Deren hanya menggenggam tangannya kuat-kuat karena kesal. Lagi, Shenin pergi dari rumah! Bocah cengeng itu memang sok pahlawan!

Sesampainya di mobil, Shenin melirik Satrio dengan tatapan kesal. Lalu ia membuang pandangan menuju luar jendela mobil. Ingin rasanya ia meloncat saja dari mobil yang dikendarai oleh Satrio, tapi ia masih ingin hidup.

"Tisu, untuk menghapus air mata kamu."

Shenin mendengus, tapi tetap mengambil tisu tersebut dengan kasar.

Apakah kalian sudah lupa dengan cerita ini guys?

Aku cukup lupa hahah, maklum sok sibuk banget kehidupan rl. Btw selama Ramadhan ini tidak akan ada plus plus nya. Aku juga tidak mau membuat cerita kebanyakan plus plus


Naksir Ayah MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang