"Papa, Kakak maaf, Aze nggak sengaja. Patungnya genit, kedip -kedip kayak orang sakit mata. Padahal kan dia batu. Apa jangan-jangan dia itu anak durhaka yang dikutuk ibunya jadi batu?"
"Patung itu tidak penting, lain kali jangan sampai menyakiti diri sendiri."
"Mulai besok Johnson dan Edward akan selalu mengawasimu dan jika malam tidurlah dengan Papa atau kakakmu."
Gillion akhirnya mengeluarkan ultimatunnya. Lagi-lagi mereka kecolongan, sebenarnya gen dari mana Azello bisa terlalu aktif seperti ini?
"Aze nggak mau Papa."
"Apa tidak sakit?" tanya Asher.
Azello melihat lukanya, kemudian meringis. Kenapa baru terasa, dia ingin menangis rasanya. Namun ditahannya karena dia ini laki-laki, begitu saja tidak akan membuatnya menangis.
"Sakit, Kak Riel pelan-pelan! Aduh, jadi dokter jangan kejam-kejam!"
Dariel memelankan gerakannya, padahal tadi saja Azello seakan tak merasakan apa-apa.
"Mau peluk," kata Azello merentangkan tangan kirinya yang tidak luka.
Asher lebih dulu membalas pelukan Azello, mendahului Gillion yang sekarang menatap tajam putra keduanya itu. Karena memang posisi Asher lebih dekat, sejak tadi bersandar di nakas samping ranjang.
Azello bersandar ke perut Asher yang keras karena memang posisi Asher berdiri.
"Sudah, besok kita ke rumah sakit untuk memastikan apakah ada fraktur atau tidak."
"Apa? Nggak mau!" Azello menolak keras, rumah sakit adalah tempat yang paling Azello hindari setelah Dariel yang cosplay menjadi dokter.
"Prince." kata ketiga pria itu bersamaan.
Azello berkedip menatap mereka bergantian. Lalu bibirnya melengkung ke bawah.
"Hanya untuk memastikan saja, setelah itu langsung pulang," bujuk Dariel.
"Aze heran, perasaan dulu kalian semua sibuk. Kok sekarang kayak pengangguran, di rumah terus."
"Tentu saja kamu salah dan kalaupun Papa pengangguran, uang akan tetap mengalir."
"Udah tua jangan sombong, inget masih banyak dosa."
Gillion maju, dia memegang dagu anaknya hingga mendongak.
"Untung kamu anak Papa," kata Gillion gemas. Jika orang lain, ia pastikan sudah pindah ke alam lain.
"Kalian tidurlah."
Azello menengok ke kanan dan kiri. Dia tengah berbaring di kasur, yang mana di sebelah kanannya terbaring Gillion dan Dariel, lalu sisi kirinya ada Asher. Untung saja kasur ini begitu luas, seluas dua kasur king size karena waktu itu Gillion takut jika anaknya hiperaktif, berguling terlalu jauh dan jatuh saat tidur. Ternyata pemikiran itu memang sangat berguna.
Gillion membuka buku cerita dongengnya. Karena tadi tiba-tiba saja Azello minta didongengi, tentu sebagai ayah yang baik Gillion dengan senang hati menurutinya, dia berkata baiklah akan Papa dongengi putra Papa.
Ucapan itu membuat Azello termotivasi untuk menyuruh kedua kakaknya ikut serta, kan katanya papanya akan mendongengi putranya, yang termasuk duo kakak kembarnya juga.
Gillion melihat itu hanya tersenyum miring, kapan lagi memang melihat kedua putra dinginnya itu menurut bak anjing. Dulu juga sewaktu kecil putra kembarnya itu tidak pernah meminta hal-hal semacam ini, mereka seakan mandiri sebelum waktunya.
"Suatu hari di sebuah hutan terpencil hiduplah seekor kelinci yang manis. Kelinci itu tinggal sendirian di rumahnya..."
Gillion yang dalam posisi duduk bersandar di headboard menatap anak-anaknya. Azello yang terlihat menunggu lanjutan dongengnya, sedangkan pria kembar itu yang berbaring menyamping memperhatikan bungsunya. Sungguh damai sekali mansion ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
AZELLO [END]
Ficção Adolescente"Woy, Kuning!" Duagh "Manggil gitu lagi, gue galiin kubur lo!" Pemuda bar-bar bernama Azello itu sungguh tak bisa diajak bercanda. Senggol sedikit langsung bacok. Tapi itu candaan yang menyebalkan, enak saja rambutnya ini blonde you know! Bukan kuni...