Di sebuah ruang kelas yang cukup sunyi, terdapat sosok pria mungil yang tengah sibuk membolak-balikkan buku catatan prinsip desain. Matanya yang sejak tadi menatap lurus ke depan dengan tangan yang masih setia pada buku. Pikirannya masih terngiang pada sederet kalimat yang ia dapatkan dari ponselnya.
Ibunya yang saat ini kembali masuk ke rumah sakit, bukan sekali dua kali, tapi sudah sering ibunya yang mendadak drop. Ibunya sakit kanker darah dan beberapa kali menjalani kemoterapi. Padahal, Jimin sudah meminta sang ibu untuk beristirahat di rumah saja. Biarkan ayah nya yang mencari uang untuk biaya makan dan pendidikan Jimin. Namun, wanita paruh baya itu kekeuh ingin bekerja untuk membantu suaminya.
Orang tua Jimin tinggal di Busan, sedangkan Jimin menempuh pendidikannya di Seoul. Keluarga Jimin bukanlah keluarga berada, hidupnya hanya sebatas cukup. Cukup makan apa adanya, cukup dengan barang-barang sederhana, cukup dengan sepeda motor butut yang biasa ayahnya pakai untuk bekerja. Namun untuk pendidikan Jimin, ayahnya akan menjadi garda terdepan untuknya. Jimin dibuat terharu oleh pengorbanan yang sang ayah lakukan.
Terkadang, uang yang diberikan oleh sang ayah masih kurang. Namun, sebisa mungkin Jimin menghemat dengan makan sehari dua kali, atau jika teman-temannya mengajaknya pergi, ia akan memberikan banyak alasan untuk menolaknya.
Setiap hari rasanya pengeluaran itu semakin membesar, entah itu untuk makan atau biaya pendidikannya yang terkadang membutuhkan bahan untuk prakteknya. Jimin dipaksa oleh keadaan, memilih bekerja part time di sebuah restoran. Ia tidak mau, tapi harus melakukan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Mengingat kehidupannya yang sulit, membuat Jimin bersungguh-sungguh dalam menempuh pendidikannya agar tidak mengecewakan orangtuanya. Ia berjanji pada dirinya untuk menjadi anak yang sukses membanggakan orangtuanya. Mengangkat derajat orangtuanya dan memberikan kehidupan yang layak.
Hembusan nafas lelah sudah terhitung tiga kali ia melakukannya, hingga sebuah tepukan ringan di pundaknya menarik atensinya.
"Memikirkan apa?" Tanya sosok tinggi nan tampan. Ia sahabat Jimin sejak semester satu, keduanya terus berteman baik hingga semester lima.
Pria tampan itu duduk di sebelah Jimin tanpa menunggu izin dari Jimin. Menatap Jimin yang terlihat lebih lesu hari ini. Ada apa dengan sahabatnya itu.
Hembusan nafas berat kembali Jimin keluarkan, "eomma masuk rumah sakit lagi," ucapnya dengan bahu yang meluruh lesu. Memikirkan ibunya yang sakit-sakitan membuat Jimin ingin bertemu sang ibu. Memeluk ibunya, menghirup aroma tubuh sang ibu yang begitu menenangkan baginya.
Taehyung, pria tampan itu menepuk pelan pundak Jimin yang seakan tidak memiliki tulang. Ia tahu beban seperti apa yang ditanggung oleh Jimin. Ia bahkan bisa merasakan betapa sulitnya hidup Jimin. Bersyukur ia hidup di keluarga yang berkecukupan. Masih bisa merasakan makan daging seminggu dua kali, makan pizza seminggu sekali, atau paling tidak sebulan dua kali keluarganya akan makan makan di luar.
Cukup jauh jika dibandingkan dengan Jimin yang kesehariannya hanya memakan semangkuk ramyeon instant. Terkadang, Taehyung mengajak Jimin menginap di rumahnya untuk sekedar menghibur Jimin. Ia sangat tahu bagaimana sulitnya Jimin melewati ini semua. Pagi hingga siang kuliah, sore hingga malam bekerja part time di restoran, malam mengerjakan tugas kuliah. Sungguh, Taehyung tidak akan pernah membayangkan jika itu dirinya.
"Sabar, ya," hanya itu yang bisa Taehyung ucapkan sembari menepuk pundak lesu Jimin. Ia tidak akan memberikan kata motivasi untuk Jimin seperti kebanyakan orang. Ia hanya akan merengkuh Jimin dalam dekapannya, membiarkan Jimin menyandarkan kepalanya di pundak tegapnya. Ia akan selalu ada untuk Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend
Roman d'amourJimin hanya sebatas teman bagi Yoongi, tetapi Yoongi adalah sosok yang paling berarti bagi Jimin. Iya, Jimin menganggap Yoongi lebih dari teman, sedangkan pria itu akan selalu menganggapnya teman baik.