Jimin terus mengelap meja dengan semangat, hari ini adalah hari ia mendapat upahnya. Maka, setelah ia mengganti seragam kerja dengan pakaian kuliahnya, ia dengan senyum ceria menemui atasannya untuk menerima upah selama satu bulan ia bekerja. Ia benar-benar senang saat amplop cokelat itu berada di tangannya, tersenyum lebar karena ia akan membeli makanan enak untuk di makan malam nanti.
Bayangan ia memasak daging dengan beberapa sayuran segar membuat perutnya terasa lapar. Sudah lama ia tidak menyantap daging. Biasanya, ia hanya memakan daging saat setelah menerima upah. Setelahnya, ia akan memasak makanan sederhana untuk menghemat pengeluarannya.
"Terimakasih, boss," ucap Jimin sembari menundukkan kepalanya. Kemudian memasukkan amplop cokelat itu ke dalam ranselnya.
Sang pemilik restoran tersenyum, mengusak surai Jimin gemas. Jimin sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Tak jarang, ia memberikan beberapa lembar uang saat di rasa pria mungil itu terlihat murung. Awalnya Jimin menolak, tetapi ia akan terus memaksa Jimin untuk menerima uang tersebut. Atau, ia pernah memberikan bonus di dalam amplop upahnya. Dan berakhir dengan Jimin yang mengiriminya pesan karena jumlah uang yang ia terima terlalu banyak.
"Mengapa kau bahagia sekali?" Tanya pemilik restoran itu. Melihat Jimin bahagia sebenarnya cukup membuatnya lega. Pria mungil itu pandai menyembunyikan rasa sedihnya. Jika sedang sendiri, barulah ia menunjukkan wajah murungnya yang sering kali ia lihat.
Jimin semakin menyunggingkan senyumnya, "hyeong, aku akan membeli daging dan memasaknya malam ini," ucapnya begitu semangat. Jika tidak dalam mode serius, Jimin akan memanggil pemilik restoran dengan panggilan kakak.
Kalimat itu mengundang kekehan ringan dari pemilik restoran. "Kau bisa memakan daging disini, Jimin." Mencubit kedua pipi Jimin begitu gemas. Sudah satu tahun bekerja, tetapi pria mungil itu masih merasa tidak enak jika ditawarkan untuk makan di restoran itu. Ia hanya merasa boss-nya terlalu baik.
"Ah terimakasih, Namjoon hyeong. Tapi, aku akan memasak di rumah saja. Kalau begitu–" kalimat Jimin terpotong saat pintu restoran terbuka dan suara berat itu lebih dulu memotong ucapan Jimin.
"Hai, Ji! Ayo pulang bersama!" Yoongi berjalan santai mendekat pada Jimin, merangkul dan sedikit menariknya membuat tubuh Jimin merapat sempurna dengannya.
Semua itu tidak lepas dari pandangan Namjoon. Ia tahu bahwa Yoongi adalah teman Jimin. Namun, melihat yoongi yang terkesan posesif membuat Namjoon sedikit kesal. Bukan kah mereka tidak memiliki hubungan apapun, tapi mengapa Yoongi terlihat marah?
Maka ia berdeham lalu berkata, "Baiklah, Jimin kau boleh pulang. Hati-hati di jalan." Ucap Namjoon dengan senyum dimple-nya.
Tanpa menunggu jawaban Jimin, Yoongi langsung membawanya pergi dari hadapan Namjoon. Ia hanya ingin Jimin bersamanya saat ini. Ia butuh Jimin.
***
Dua pasang langkah kaki itu berjalan beriringan. Yoongi bilang ingin menjemput Jimin, itu benar. Namun, pria itu ingin mengajaknya naik bus. Katanya, sudah lama sekali tidak naik bus bersama Jimin saat malam seperti ini.
Dulu, saat semester satu dan Jimin belum menetap di asrama. Ia tinggal di sebuah rumah atap dengan biaya murah. Dari kampus ke rumahnya butuh waktu tiga puluh menit menggunakan bus. Saat itu, Jimin seringkali mengajak Yoongi naik bus dengan alasan mereka butuh berjalan kaki untuk menyehatkan badan. Tentu saja Yoongi menyetujuinya, itung-itung olahraga.
Sebelum menuju halte Jimin mengajak Yoongi untuk makan malam terlebih dahulu. Berhubung hari ini ia mendapatkan upahnya bekerja, ia ingin sesekali mentraktir Yoongi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend
RomanceJimin hanya sebatas teman bagi Yoongi, tetapi Yoongi adalah sosok yang paling berarti bagi Jimin. Iya, Jimin menganggap Yoongi lebih dari teman, sedangkan pria itu akan selalu menganggapnya teman baik.