Pria mungil itu memilih pergi, kembali ke asrama dan bergelung dengan selimut hangatnya. Mencoba melupakan kejadian beberapa saat lalu yang begitu menyayat hatinya. Masih terngiang jelas bagaimana wajah bahagia Yoongi saat melihat Jihoon ada bersamanya. Tatapan penuh cinta yang Yoongi berikan pada Jihoon sama seperti dirinya yang menatap Yoongi.
Ia tidak mungkin tetap berada disana saat Yoongi memilih menggenggam erat jemari Jihoon tepat di hadapannya. Mencoba tersenyum saat hatinya terluka begitu parah adalah hal yang mustahil. Namun, ia tetap melakukannya sampai Taehyung menarik kesadarannya dan membawanya pergi.
Pria tampan itu tidak berbicara sedikitpun, seolah mengerti apa yang Jimin rasakan. Ia hanya menarik lembut tangan Jimin agar berada di rengkuhannya. Mencoba menenangkan hati pria mungil yang mungkin terasa sakit. Membiarkan kemeja kasayangannya basah oleh air mata milik pria mungil itu.
Jimin menenggelamkan wajah kacaunya pada bantal. Menumpahkan segala sakit dan luka serta air mata pada bantal yang menjadi saksi bisu bahwa hatinya benar-benar terluka. Ia tidak tahu jika ternyata mencintai sahabat yang mencintai orang lain akan sesakit ini. Selama ini ia baik-baik saja karena tidak pernah Yoongi menjalin hubungan dengan siapapun. Namun kali ini, rasanya benar-benar menyesakkan.
Menangis dengan raungan yang teredam oleh bantal. Memukul permukaan kasur dengan tangan yang terkepal kuat.
"Bajingan, Yoongi! Kau bajingan!" Teriaknya.
Ia sudah tidak tahu bagaimana cara meluapkan rasa sakitnya. Mungkin, dengan menangis seperti ini ia bisa merasa sedikit lega.
"Aku membencimu, sungguh aku membencimu!" Lagi, teriakan akan rasa sakit itu Jimin lontarkan di kamarnya yang sunyi.
Ia akan menangis sampai ia merasa lelah. Ia akan terus seperti ini sampai Yoongi memahami perasaannya. Ia akan menunggu Yoongi sampai pria pucat itu merasakan bagaimana perasaannya selama ini.
Jimin membalik tubuhnya terlentang menatap langit-langit kamar. Menarik napas dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Ia sudah berhenti menangis, ia sudah lelah. Sudah cukup waktu satu jam untuk menangisi Yoongi.
Denting ponsel yang menandakan pesan masuk. Ia meliriknya sekilas, lalu dengan malas ia mengambilnya untuk melihat siapa yang mengiriminya pesan.
"Ji, kau baik-baik saja? Aku harap kau tidak menangisi manusia bodoh sepertinya."
Itu Taehyung, pria tampan itu benar-benar mengkhawatirkan dirinya. Aia memilih untuk mengabaikan pesan Taehyung dan meletakkan kembali ponselnya tepat di sebelahnya.
Memejamkan maniknya, merasakan sesak yang perlahan hilang. Setidaknya, ia memiliki sahabat seperti Taehyung. Ia sedikit bersyukur bahwa pria tampan itu berada di pihaknya. Ia akan meminta maaf pada Taehyung karena tidak bisa membalas perasaannya.
Dua kali denting ponsel berbunyi, membuat Jimin membuka maniknya dan menatap sekilas layar ponsel yang menyala terang. Memilih mengabaikan, tetapi denting berikutnya membuat Jimin mau tidak mau meraihnya.
Membuka ponselnya dan melihat nama Yoongi disana.
"Ji, aku akan pulang terlambat. Jangan menungguku."
"Ji, kau sudah tidur? Ingin aku bawakan apa?"
"Ice cream cokelat atau mochi matcha?"
Jika seperti ini bagaimana bisa ia membenci Yoongi? Seolah pria pucat itu mengerti dirinya. Seolah pria pucat itu peduli padanya. Seolah pria pucat itu selalu ada untuknya.
Tanpa terasa bulir bening kembali mengalir dari maniknya yang sipit. Bibirnya bergetar merasakan sakit tak berdarah. Yoongi keterlaluan, membiarkan dirinya memiliki rasa yang begitu dalam, tapi dengan mudahnya ia tidak merasakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend
RomanceJimin hanya sebatas teman bagi Yoongi, tetapi Yoongi adalah sosok yang paling berarti bagi Jimin. Iya, Jimin menganggap Yoongi lebih dari teman, sedangkan pria itu akan selalu menganggapnya teman baik.