Jimin sudah kembali ke Seoul, tetapi sebagian hatinya masih tertinggal di Busan. Mau bagaimanapun ia merindukan ibunya. Namun, nasihat yang ayahnya berikan cukup memberikan motivasi untuknya untuk dapat melanjutkan hidup.
Sebisa mungkin menepis rasa sedihnya dengan mencoba tersenyum. Ia meraih botol air mineral di lemari pendingin, menegaknya dengan cepat untuk mendinginkan hatinya. Mendudukkan bokongnya di kursi meja makan, menatap botol bening di hadapannya.
Air matanya kembali mengalir membasahi pipi putihnya. Bibirnya bergetar hebat, isak tangisnya perlahan keluar dari bibir tebal itu. Bahu yang semula tegar kini perlahan bergetar bersama bulir bening yang perlahan jatuh ke atas meja.
Suara beling yang beradu dengan meja kayu tidak mengubah pandangan Jimin. Ia masih menunduk dalam, membiarkan air matanya terus jatuh membuat genangan kecil di atas meja kayu.
Helaan napas keluar dari sosok pucat yang kini berdiri tepat di samping tubuh Jimin. Memutar tubuh Jimin untuk menghadapnya dan memeluknya erat, tak lupa usapan yang ia berikan di pucuk kepala dan punggungnya menjadi afeksi yang dapat membuat Jimin nyaman.
Keduanya mengabaikan aroma ramyeon yang begitu menggugah selera. Ramyeon dengan kuah merah dan telur setengah matang adalah kesukaan Jimin, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Masih sibuk dengan rengkuhan yang menenangkan itu, Jimin terus terisak.
"Aku ... rindu eomma," isaknya terbata. "Bagaimana hidupku tanpanya, aku tidak bisa tanpa eomma, Gi," air matanya membasahi baju Yoongi tepat di perutnya. Namun, pria pucat itu tidak keberatan, ia justru semakin mengeratkan rengkuhan itu.
"Aku tahu, tapi hidupmu terus berjalan, Ji. Aku yakin kau akan terbiasa seiring berjalannya waktu. Yang harus kau lakukan adalah berdamai dengan keadaan dan waktu. Jika kau bisa melewatinya dengan baik, aku yakin eomma juga akan bahagia disana." Yoongi tersenyum usai kalimat yang ia lontarkan.
"Kau bisa datang ke rumahku, eomma akan dengan senang hati menyambutmu. Kau tahu sendiri eomma sering mengabaikanku saat ada kau disana, benarkan?" Yoongi menepuk pundak Jimin, melepas rengkuhan itu dan menghapus bulir bening di pelupuk mata pria mungil itu.
"Berjanjilah padaku jika ada apa-apa kau harus membaginya denganku?" Yoongi hanya tidak mau Jimin memendam semuanya sendiri. Apalagi ia sudah berjanji dengan ayah Jimin akan menjaga putra kesayangannya.
Jimin mengangguk, tersenyum kecil menatap Yoongi. Jelas sekali manik sembab itu membuat hati Yoongi ngilu. Ia tidak sanggup menatap wajah sedih Jimin.
Yoongi mengalihkan pandanganya pada dua mangkuk ramyeon di hadapan mereka. "Nah, makan ramyeon-nya sebelum dingin," ucapnya sembari menyodorkan satu mangkuk ramyeon dengan telur setengah matang, dan berjalan di seberang meja untuk memakan ramyeon miliknya dengan telur matang.
"Terima kasih, Gi," ucap Jimin tersenyum tulus sambil menyumpit helai ramyeon.
Yoongi hanya mengangguk memberikan respon. Ia bahagia saat melihat Jimin yang kembali tersenyum. Ia hanya ingin Jimin bahagia, tidak lagi menunjukkan wajah sedihnya, tidak akan.
***
Taehyung mendengus sebal saat Jimin membiarkan Yoongi menginap di asramanya. Yoongi yang kekeuh ingin menemani Jimin, sedangkan Jimin hanya membiarkan tanpa mendebat. Tubuhnya terlalu lelah jika harus berdebat dengan kedua sahabatnya. Hal itu membuat wajah Taehyung nampak murung sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya.
Sampai di rumah tepatnya jam tiga sore hari, Taehyung disambut dengan sang ibu yang menunggunya. Ia bahkan lupa mengabari ibunya jika pergi ke Busan kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend
RomanceJimin hanya sebatas teman bagi Yoongi, tetapi Yoongi adalah sosok yang paling berarti bagi Jimin. Iya, Jimin menganggap Yoongi lebih dari teman, sedangkan pria itu akan selalu menganggapnya teman baik.