Maniknya masih berkaca, kelopak matanya sembab, wajahnya sendu terpancar kesedihan mendalam. Tangan mungilnya terulur untuk mengusap bingkai foto yang menampakkan wajah cantik ibunya. Bibirnya bergetar, sesekali merapal nama ibunya. Hatinya sakit, sakit sekali saat melihat senyum lebar ibunya yang begitu cantik.
Tangan kirinya mengusap bulir bening yang perlahan jatuh di pipinya. Suaranya terdengar begitu menyayat hati.
"Eomma," panggilnya sendu. "Mengapa eomma pergi sebelum aku membahagiakan eomma?" Tanya Jimin pelan.
Isaknya kembali terdengar, ia masih ingat saat tangan mungilnya menyentuh tubuh dingin sang ibu sebelum akhirnya tubuh dingin itu di kremasi.
Rasanya tak ingin melepaskan tangan tubuh itu, ingin mendekapnya lebih erat agar ibunya tidak merasa dingin.
Ia berada di rumah duka. Di luar sana banyak karangan bunga yang terpajang rapih. Tamu-tamu yang sedang menikmati makanan yang disediakan Jimin dan ayahnya.
Jimin, memakai jas hitam dengan ban putih di lengan kirinya menandakan keluarga yang berduka. Ia masih setia berdiri menatap wajah ibunya sembari menghidupkan dupa dan meletakkannya di samping bingkai tersebut. Tersenyum sekilas, menaruh setangkai krisan putih tepat di depan bingkai foto itu.
"Eomma sudah tidak merasa sakit lagi," ucapnya disertai senyuman. "Apa eomma bahagia disana?" Lanjutnya.
Langkah kaki terdengar pelan, berhenti tepat di samping tubuh Jimin. Pria paruh baya yang tak lain ayahnya.
"Eomma sudah bahagia, sayang. Kau harus bisa mengikhlaskan kepergiannya." Ayah Jimin mengusap bahu Jimin. Ia pun sama rapuhnya dengan Jimin, tetapi jika ia menunjukkan sisi lemahnya bagaimana dengan Jimin?
Jimin menyedot lendir yang keluar dari hidungnya. Menatap manik sang ayah yang terlihat jelas kesedihan disana. Namun, Jimin tahu jika sang ayah berusaha menyembunyikannya.
"Ya, appa. Jimin sudah ikhlas, hanya saja rasanya begitu sakit disini," tunjuk jimin pada dadanya.
Ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa sang ibu. Selama ini ia berkeluh kesah pada ibunya. Mengenai sekolahnya, tugas-tugas yang menumpuk, sampai pekerjaan paruh waktu yang ia lakukan. Sekarang, harus dengan siapa ia berkeluh kesah?
Pria paruh baya itu mengangguk, kemudian menarik Jimin dalam rengkuhannya. Berusaha menenangkan Jimin yang lagi-lagi menangis. "Tenang, nak. Sudah, ya, jangan menangis lagi. Eomma sudah bahagia disana, tidak merasa sakit lagi." Tangan besar itu menepuk punggung Jimin yang bergetar hebat.
"Anak appa hebat, anak appa kuat!" Memberikan semangat pada Jimin agar tangisnya reda. Namun, Jimin tetaplah Jimin. Hatinya terlalu sakit saat membayangkan kehidupan selanjutnya tanpa sang ibu. Pasti sangat berat, tetapi kehidupan akan terus berlanjut.
Jimin melepaskan rengkuhan itu, "Appa, banyak tamu disana, sepertinya tamu appa. Lebih baik appa temui dulu, Jimin akan menunggu disini," ucapnya sambil menghapus jejak air mata di kedua pipinya.
Pria paruh baya itu hanya mengangguk, berjalan meninggalkan Jimin untuk bertemu tamunya.
"Jangan bersedih lagi, ya," katanya. Jimin hanya bisa mengangguk kemudian menatap foto pada bingkai di hadapannya.
***
Sudah beberapa kali Yoongi berusaha menghubungi Jimin. Namun, hanya panggilan tidak terjawab yang ia dapatkan. Sejak tadi, nomor Jimin tidak aktif. Ada apa dengan Jimin? Apa Jimin begitu marah padanya sampai tidak mau mengangkat panggilannya? Bahkan sampai mematikan ponselnya seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend
RomanceJimin hanya sebatas teman bagi Yoongi, tetapi Yoongi adalah sosok yang paling berarti bagi Jimin. Iya, Jimin menganggap Yoongi lebih dari teman, sedangkan pria itu akan selalu menganggapnya teman baik.