Bab 22

624 94 40
                                    

Mengawali pagi dengan segelas susu vanilla dan sepotong roti selai strawberry adalah yang Jimin lakukan. Duduk diatas kursi sambil menikmati sarapan ala kadarnya. Maniknya kosong menatap jauh ke depan, bibir tebalnya bergerak pelan mengunyah potongan roti selai strawberry.

Hatinya masih sedikit tidak nyaman, rasanya sepi walaupun kini Yoongi ada di hadapannya. Pria pucat itu bergeming, hanya mampu menatap Jimin yang seakan kehilangan semangat hidupnya. Ia mengerti bagaimana perasaan Jimin, tetapi sebaiknya Jimin pun bisa bangkit dari keterpurukannya.

Ia paham apa yang Jimin rasakan, ia pun pernah kehilangan sosok nenek yang begitu ia sayangi. Membuatnya merasa kehilangan dan sampai tidak ada semangat melakukan apapun. Pria pucat itu hanya diam mengurung diri di kamar dengan memandang bingkai foto sang nenek.

Yoongi menarik napas pelan, menggenggam jemari Jimin yang bebas di atas meja. "Aku mengerti kau masih bersedih, tapi setidaknya kau bangkit, Ji." Begitu lembut Yoongi berucap, ia memberi masukan tanpa membuat tekanan pada Jimin.

Pria mungil itu melirik Yoongi sekilas, seolah kesadaran menarik dirinya dari lamunan panjang yang ia lakukan.

"Apa yang kau tahu tentangku, Gi? Kau tidak merasakan apa yang aku rasakan!" Tanpa sadar Jimin menaikkan nada bicaranya. Maniknya mulai berkaca, dadanya naik turun, bibirnya bergetar samar.

Yoongi menggigit bibirnya, tangannya terkepal menahan emosi yang bisa saja meledak. Namun, ia harus menahannya. Ia harus sabar menghadapi Jimin yang sedang berduka. Ia pun memaklumi hal itu, hanya saja menyayangkan sikap Jimin yang tidak mau berhenti berduka. Bukankah seharusnya Jimin bangkit dan mulai menjalani kehidupan seperti biasanya.

"Ji," panggilnya, berharap Jimin memberikan respon aktif padanya. Namun, pria mungil itu justru acuh, tidak mengindahkan panggilan Yoongi padanya. "Aku pernah kehilangan halmoni. Aku sangat sedih, aku hancur sampai rasanya aku ingin pergi bersamanya. Aku tidak melakukan apapun selain mengurung diri di kamar. Eomma berkali-kali memintaku untuk sekedar keluar kamar, tapi aku tidak pernah mendengarnya. Aku hanya ingin halmoni bersamaku lagi." Yoongi menceritakan hal yang sedikitnya membuat hati Jimin bergetar.

Pria mungil itu mulai tertarik dengan kisah Yoongi, ia menatap Yoongi yang kembali melanjutkan ceritanya. "Aku sangat dekat dengan halmoni, saking dekatnya aku sampai menganggap halmoni adalah eomma kedua bagiku. Maka, ketika halmoni meninggalkanku untuk selamanya, duniaku hancur, Ji." Yoongi menundukkan kepalanya. Kembali mengingat masa-masa dirinya bersama sang nenek.

"Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa halmoni tidak lagi bersamaku. Sampai akhirnya aku mengalami depresi berat yang membuatku harus berhadapan dengan psikiater." Satu fakta yang membuat Jimin membuka maniknya lebar, bibirnya ikut terbuka kecil.

Yoongi kembali melanjutkan ceritanya. "Hal yang aku lakukan justru membuat eomma berada dalam kesulitan. Mengurusku yang setengah gila ini membuat eomma hampir kehilangan nyawanya. Itu semua membuatku sadar bahwa seharusnya aku tidak bertindak seperti itu, apalagi sampai membahayakan nyawa eomma. Aku—" Yoongi menjeda kalimatnya. Pria pucat itu tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Jimin menggenggam jemari Yoongi, membuat Yoongi menoleh menatap Jimin yang kini mengangguk pelan. Jimin memberi gestur untuk Yoongi melanjutkan kalimatnya. "Aku ... aku hampir membunuh eomma, Ji," ucap Yoongi akhirnya.

Genggaman tangan itu semakin kuat. Kini, Jimin mulai sadar jika ia bersikap seperti ini terus bisa saja ia akan kehilangan orang-orang yang menyayanginya. Tidak, ia tidak mau.

Jimin bangkit, menghampiri Yoongi yang kini masih menundukkan kepalanya. Tangannya melingkar di kepala Yoongi, memeluk erat kepala Yoongi dan ia tenggelamkan dalam perutnya. Tangan mungilnya menepuk pelan punggung Yoongi. Dari Yoongi ia sadar tidak seharusnya ia bersedih terlalu lama. Ibunya pasti tidak akan suka melihatnya seperti ini.

Just FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang