Bab 40

474 88 37
                                    

Pria mungil itu dengan cekatan menyeduh cokelat panas kesukaannya. Tidak hanya satu cangkir, tetapi dua cangkir berukuran besar di hadapannya. Setelah selesai membuat cokelat panas, kaki mungilnya melangkah pergi menjauh dari dapur menuju kamar tidur. Tidak perlu membuka pintu sebab pintunya tidak tertutup. Langkah kakinya mendekati sosok pria pucat yang duduk nyaman di kasurnya.

Setelah sampai di hadapan pria pucat yang tak lain adalah Yoongi, Jimin mengulurkan tangannya yang terdapat secangkir cokelat panas. Yoongi mendongak menatap manik cokelat Jimin, kemudian tersenyum hangat. Ia mengambil cangkir biru muda itu dan aroma khas cokelat memasuki indra penciumannya.

"Terima kasih, Ji," ucapnya pelan sembari menyeruput cokelat panas. Jimin duduk di sebelah Yoongi, ia ikut meminum cokelat panas miliknya.

Jimin tidak menjawab ucapan terima kasih itu, ia hanya berdeham pelan.

"Ji?" panggil Yoongi. Tubuhnya ia hadapkan seluruhnya pada Jimin. Berharap pria mungil itu melakukan hal yang sama.

Lagi dan lagi, Jimin hanya berdeham.

"Boleh aku jujur padamu?" Tanya Yoongi.

Pria mungil itu sedikit menoleh pada Yoongi, "kau mau jujur tentang apa?" Jimin balik bertanya.

Mendapat respon yang baik, Yoongi memilih untuk meletakkan cokelat panasnya di meja samping ranjang Jimin. Ia menarik napasnya terlebih dahulu agar membuatnya merasa rileks. Entah mengapa rasanya begitu sesak di dadanya, seperti ada batu besar yang menimpa dadanya.

"Aku rindu saat-saat kita bersama dulu, Ji." Kalimat yang sukses menarik atensi Jimin. Pria mungil itu memilih diam, fokus mendengarkan apa yang akan Yoongi katakan padanya.

Yoongi terkekeh sekilas, kepalanya menunduk dalam. "Dulu, kau suka sekali bercerita tentang sulitnya tugas kuliah, tentang lelahnya kuliah sambil bekerja, tentang sukanya dengan air hujan."

Benar, dulu semuanya terasa begitu hangat saat mereka bersama. Berbagi canda tawa, berbagi kesedihan.

"Kau selalu ada untukku saat aku mengalami hal tersulit dalam hidup. Kau menjadi orang pertama yang memelukku. Kau selalu ceria, Ji. Kau berusaha menghiburku bahkan keadaanmu saat itupun sedang tidak baik-baik saja. Kau yang selalu mengerti diriku, tetapi aku tidak pernah mengerti dirimu. Bukankah aku terlalu egois, Ji?"

Yoongi mengembuskan kasar napasnya, sedang Jimin mengulum bibirnya. Tidak tahu maksud dan tujuan Yoongi menceritakan hal-hal lampau seperti ini untuk apa?

"Bahkan saat kau memiliki perasaan padaku, kau hanya memendamnya. Dan tidak tahu dirinya aku malah mengenalkanmu dengan orang lain yang dekat denganku. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu saat itu. Aku terlalu jahat, Ji!" Jimin tahu, ada rasa bersalah dan penyesalan di setiap kalimat yang Yoongi ucapkan.

Suara Yoongi bergetar, ia sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menangis di hadapan Jimin. "Sekarang, saat aku sudah menyadari perasaanku padamu, kau tidak ingin bersamaku sebab masa laluku yang masih terus membayangi. Tapi Ji, demi apapun aku tidak memiliki perasaan apapun lagi padanya. Aku benar-benar ingin lepas darinya dan bersamamu."

"Gi–,"

"Melihatmu bersama Eunwoo membuatku semakin menyadari perasaanku bahwa aku benar-benar mencintaimu, Ji. Rasanya begitu sakit saat melihat kau tertawa bahagia bersamanya, bukan denganku." Yoongi mengungkapkan semua yang ia rasakan selama ini.

Satu tetes air mata membasahi wajah pucatnya. Tentang Jimin, ia bisa menangis seperti ini. Ia menarik napasnya dalam. "Aku sudah berusaha membuatmu bersamaku, Ji. Namun aku selalu gagal sebab semua masalahnya memang diriku."

Mendengar itu, Jimin menggeleng ribut. Bukan, bukan seperti ini maksud Jimin. Ia hanya ingin Yoongi mengerti tentang perasaannya sendiri, bukan dengan menyalahkan dirinya.

Just FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang