Bab 17

718 94 99
                                    

Jimin duduk diam di bangku taman yang saat ini begitu ramai. Berbeda dengan suasana hatinya yang terasa begitu sunyi. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa saat lalu. Saat ia mengejar Taehyung dan berhasil meraih lengan pria tampan itu, tangan mungilnya ditepis keras. Bukan hanya terkejut, ia hampir tidak menyangka jika Taehyung dapat bertindak seperti itu.

Tapi menurutnya, Taehyung salah. Tidak seharusnya ia salah paham tanpa mendengar penjelasan darinya. Sungguh, bahkan ia tidak mengenal pria berkacamata itu, tetapi mengapa seolah pria itu mengenal dirinya.

Setelah menepis lengan Jimin, Taehyung mengatakan hal yang begitu menyakitkan hati Jimin. "Pergi kau, pembohong! Aku tidak mau lagi bertemu denganmu!" Sentak Taehyung saat Jimin menyentuh lengannya.

"Taehyung, dengarkan aku dulu, bisa?" Pinta Jimin.

Pria tampan itu terkekeh sarkas, "apalagi, Ji? Apa yang ingin kau jelaskan? Kau akan bilang bahwa aku salah paham? Cukup!" Bentak Taehyung.

Manik Jimin berkaca, sosok Taehyung yang ia kenal baik nan lembut ternyata bisa sekeras ini. Seketika, pria itu membangun dinding keras yang sulit Jimin runtuhkan.

"Tapi kau benar-benar salah paham, Taehyung." Jimin berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Taehyung percaya padanya. "Aku benar-benar tidak mengenalnya, aku tidak pernah tahu siapa dia. Percaya padaku, Taehyung." Jimin benar-benar memohon pada pria tampan yang kini menatapnya tajam.

"Aku tidak mau percaya padamu lagi," final Taehyung. Hatinya terlalu sakit karena sahabat yang ia cintai membohonginya seperti ini. Ia tulus pada Jimin, ia benar-benar menyayangi Jimin, tapi jika dikecewakan seperti ini rasanya Taehyung lebih baik menghilangkan perasaannya. "Dan satu hal, aku tidak mau berteman denganmu lagi. Aku menyesal pernah menyukai orang sepertimu, Jimin." Nada datar yang sukses membuat air mata Jimin jatuh mengiringi langkah Taehyung yang perlahan menjauh.

Jimin menghapus air matanya saat mengingat perkataan Taehyung yang menyakiti hatinya. Satu-satunya sahabat yang ia miliki, pergi menjauh darinya. Mengapa? Ini bukan salahnya.

"Mengapa jadi seperti ini, sih?" Lagi, air mata itu kembali menetes. Rasanya begitu sesak saat kau ditinggalkan oleh orang yang bisa kau andalkan.

Hatinya masih bersedih, tetapi ponselnya berdering keras menandakan panggilan masuk. Ia merogoh saku hoodie-nya dan mengambil ponsel genggam berwarna biru itu.

Ayahnya menelepon. Ia segera mengangkat panggilan itu.

"Ya, Appa? Ada apa?" Tanya Jimin, sedikit berdeham untuk menetralkan suaranya.

"Ji, bisakah kau pulang, Nak?" Tanya ayahnya. Perasaan Jimin mulai tidak enak. Ada apa ayahnya memintanya pulang seperti ini.

"Tapi ada apa, Appa? Apakah terjadi sesuatu? Bagaimana kabar eomma? Baik-baik saja, kan?" Tanya Jimin bertubi-tubi. Entahlah, ia tiba-tiba merasa khawatir dengan ibunya.

Terdengar hening di seberang telepon. Hal itu membuat perasaan Jimin semakin tidak karuan.

"Appa?" Panggil Jimin sedikit menaikkan nada bicaranya.

"Hm appa hanya ingin memberitahu bahwa eomma sudah tiada. Kau jangan menangis, Jimin. Anak appa harus kuat, ya?" Suara ayah Jimin terdengar sendu.

"Appa, Jimin pulang sekarang! Jimin ingin bertemu eomma." Suara Jimin gemetar, berusaha menahan tangisnya yang siap meledak kapan saja. "Appa, tolong katakan pada eomma untuk menunggu Jimin sebentar. Jimin ingin memeluk eomma, Appa. Tolong katakan padanya untuk menunggu Jimin." Pecah sudah tangis yang sejak tadi ia tahan. Memutuskan panggilannya dan berlari sekuat tenaga.

Just FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang