Satu minggu berlalu dengan Jimin yang terus menghindari Yoongi. Ia berhasil menghindar setiap kali pria pucat itu terlihat oleh maniknya. Ia mencoba berhenti mengirimi Yoongi pesan apapun itu. Ia bisa, walau terkadang hatinya akan berdenyut nyeri.
Rasanya hari ini begitu lelah. Di kampus seharian ditambah kerja part time yang cukup menguras energi. Jimin ingin segera sampai di asrama, mandi dengan air hangat dan sabun aroma lemon kesukaannya, membuat ramyeon dengan keju mozzarella ditambah teh hijau yang dapat menenangkan pikirannya, lalu berbaring di kasur mungilnya yang nyaman.
Membayangkannya saja sudah membuat Jimin tersenyum. Ia melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Masih kurang tiga puluh menit lagi jam kerjanya berakhir. Ia hanya bisa menghela napasnya.
Ia melanjutkan aktivitas bersih-bersihnya sebelum menutup restoran tersebut. Sampai pemuda tinggi nan tampan yang menjadi boss nya menghampiri.
Melihat Jimin yang lesu membuat Namjoon khawatir. Bukannya apa-apa, Jimin sudah ia anggap seperti adiknya sendirian. Maka, ia berdiri di sebelah Jimin yang tengah menata piring dan gelas ke dalam rak.
"Jimin?" Panggil Namjoon dengan suara beratnya.
Tubuh mungil itu sedikit berjengit, ia menoleh pada pemuda tinggi itu dan tersenyum kecil. "Ya, hyeong?"
Namjoon ikut tersenyum saat Jimin tersenyum. Melihat sekilas wajah putih itu, ia tahu ada sesuatu yang terjadi dengan Jimin. Ingin bertanya, tetapi ia tahu jika Jimin tidak mudah menceritakan masalahnya.
Maka, ia hanya akan meminta Jimin untuk pulang lebih awal. "Kau boleh pulang sekarang, biar sisanya dilanjutkan oleh shift pagi, bagaimana?" Tawar Namjoon yang membuat Jimin berbinar.
Ia benar-benar lelah dan ingin segera pulang. Mendengar penawaran dari Namjoon, ia tidak akan menolak.
"Bolehkah, hyeong?" Tanyanya agar lebih yakin.
Pemuda tinggi itu mengangguk pasti dengan senyum lesung pipinya. Jimin segera mempercepat membereskan piring-piring itu sambil bergumam terimakasih.
Namjoon hanya tidak tega melihat karyawan yang sudah ia anggap seperti adiknya itu terlihat lelah dan tidak memiliki semangat hidup.
Saat Jimin sudah menyelesaikan tugasnya, ia berpamitan pada Namjoon dan segera meninggalkan restoran.
***
Walaupun ia ingin cepat sampai di rumah, tetapi ia tetap memilih menaiki bus. Untuk menghemat ongkos jika dibandingkan dengan taxi. Tidak apa-apa, ia sudah terbiasa naik bus di jam malam seperti ini.
Melihat suasana malam yang tak pernah mati, selalu ramai seperti biasanya. Lampu-lampu jalan yang begitu banyak nampak seperti bintang dari kejauhan. Ia jadi teringat Yoongi yang selalu mengajaknya keluar saat malam. Hanya sekedar berkeliling menaiki motor besarnya, atau membeli camilan di sepanjang jalan Sungai Han. Ia jadi rindu dengan pria pucat itu. Jika begini, bagaimana ia bisa melupakan Yoongi? Kenangan yang mereka lukis terlalu banyak dan begitu indah.
Jimin mengembuskan napas beratnya, menampik bayang-bayang Yoongi selalu muncul di kepalanya.
"Pergilah dari pikiranku," gumamnya sambil memejamkan mata.
Setiap hal yang ia lihat, selalu berkaitan dengan Yoongi. Seperti saat ia melihat seorang wanita paruh baya yang membawa sekantong jeruk. Yoongi amat suka buah berwarna orange dengan rasa asam itu. Ia tertawa kecil kemudian menggelengkan kepalanya. Benar-benar sulit melupakan pria pucat itu.
Tidak terasa, ia telah sampai di halte dekat asramanya. Ia turun dengan perlahan agar tidak terjatuh. Saat sudah menapaki trotoar jalan, ia menghela napas lega. Kaki mungilnya melangkah pelan menuju gedung asrama yang sedikit terlihat dari tempatnya berdiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend
RomanceJimin hanya sebatas teman bagi Yoongi, tetapi Yoongi adalah sosok yang paling berarti bagi Jimin. Iya, Jimin menganggap Yoongi lebih dari teman, sedangkan pria itu akan selalu menganggapnya teman baik.