Jimin kira, memiliki rasa pada Yoongi diam-diam seperti ini adalah yang terbaik. Kenyataannya, ia hanya menyiksa dirinya dengan perasaan itu. Saat merindukan Yoongi, ia hanya bisa diam-diam menatap wajah tampan pria pucat itu. Saat ia tidak bisa menahan dirinya untuk sekedar dekat dengan Yoongi, ia mencari cara agar bisa selalu dekat dengan pria yang selalu ada di hatinya.
Menyapanya senatural mungkin adalah hal yang selalu Jimin lakukan. Mengajak pria pucat itu berbicara pun sudah ia lakukan setiap hari. Membuat pria pucat itu merasa nyaman juga sudah ia lakukan. Lalu, mengapa Yoongi masih saja tidak peka dengan sikap dan perhatiannya sebagai bentuk rasa cinta padanya?
Rasanya, ia ingin berteriak sekeras mungkin di depan pria pucat itu bahwa ia mencintai Yoongi. Namun, mengingat bahwa Yoongi pernah berkata jika tidak boleh ada perasaan di antara teman membuat Jimin menutup rapat rahasianya. Sedikit saja ia lengah maka bisa dipastikan Yoongi akan membencinya. Ia tidak mau dibenci Yoongi, apalagi sampai membuat pria itu menjauh.
Ia tidak apa-apa asalkan selalu dekat dengan Yoongi, bukan masalah besar baginya. Namun, saat Yoongi secara terang-terangan menunjukkan ketertarikannya kepada orang lain, cukup membuat hatinya sakit. Namun kembali lagi, bahwa ia bukan siapa-siapa untuk Yoongi selain teman baiknya. Maka, dengan senyum palsu yang ia tunjukkan pada Yoongi adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk menahan rasa sakitnya.
Jika bisa egois, ia ingin memiliki Yoongi untuk dirinya. Ia sudah jatuh telak pada Yoongi. Siapa yang tidak menyukai Yoongi? Pria tampan dengan rahang tegas, tubuh tinggi tegap sedikit atletis, manik setajam pedang yang bisa menghunus hati, kulit putih pucat yang membuat pria itu unik, tak lupa suara beratnya yang membuat jantung berdebar. Jimin jatuh cinta sejak pertama kali menatap Yoongi.
Membayangkan Yoongi ia jadi teringat jika sejak dua puluh menit berlalu pintu kamarnya terus diketuk dari luar. Suara yang awalnya kuat memanggil namanya kini terdengar lirih, bahkan ketukan pintunya juga melemah.
"Ji, aku masih disini menunggumu membuka pintu. Aku mohon buka pintunya, Ji!" Suara lirih yang mencoba untuk lantang, justru menjadi hal yang membuat Jimin khawatir.
Ia bangkit dengan cepat, tanpa berpikir panjang ia bergegas membuka pintu yang sebelumnya terkunci. Ia lihat pertama kali adalah tubuh Yoongi yang duduk bersandar pada dinding disebelah pintu. Maniknya terpejam dengan bahu yang meluruh.
Jimin berjongkok tepat di hadapan Yoongi. Tangan mungilnya terangkat untuk menyentuh pipi Yoongi. Benar dugaannya, tubuh Yoongi kembali demam. Ia lupa memberikan makan siang dan obat untuk Yoongi karena kepalang kesal dengan dirinya sendiri.
"Gi, kau demam lagi!" Panik Jimin.
Merasakan dingin pada pipinya, manik Yoongi terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah khawatir Jimin yang membuatnya tersenyum kecil. Ia merasa bahagia saat Jimin khawatir padanya. Sekuat tenaga ia menarik Jimin agar lebih dekat dengannya. Membawa tubuh mungil itu jatuh dalam dekapan hangatnya.
Menyamankan kepalanya pada dada Jimin, menghirup aroma manis yang menguar dari tubuh mungil itu. "Ji, jangan seperti ini," gumam Yoongi.
Jimin bisa merasakan hangatnya tubuh Yoongi, ia juga bisa merasakan irama jantung Yoongi yang perlahan mengikuti irama jantungnya. "Aku harus bagaimana, Gi?" Lirih Jimin.
Lagi dan lagi, jika bisa egois ia ingin Yoongi merasakan hal yang sama dengannya. Berharap pria pucat itu juga memiliki perasaan padanya, boleh kah? Sepertinya hal yang mustahil baginya. Jangan meminta lebih Jimin, bisa memeluk Yoongi seperti ini saja seharusnya sudah bersyukur.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang hari, sudah hampir telat untuk makan siang sebenarnya. Akhirnya, Jihoon dengan sangat terpaksa membangunkan Yoongi agar pria itu memakan buburnya dan meminum obatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend
RomanceJimin hanya sebatas teman bagi Yoongi, tetapi Yoongi adalah sosok yang paling berarti bagi Jimin. Iya, Jimin menganggap Yoongi lebih dari teman, sedangkan pria itu akan selalu menganggapnya teman baik.