Varian Tiga Puluh Dua

60 5 16
                                    

Selayaknya seonggok debu yang terabaikan.

.

.

.

.

.

.







Dust—01
Suara musik berdentum keras membuat Radit sesekali mendecak sebelum kembali membelah kerumunan, menelisik dengan matanya yang awas guna mencari sosok yang sedari tadi dicarinya—sosok sang sohib yang katanya berada diantara banyaknya pengunjung pub malam itu juga nikmati suasana tempat yang selalu berisik nan penuh dosa itu. Hhh, berlebihan memang untuk dirinya yang suka sekali bolos pelajaran dan ikut tawuran.

"Balik, woy! Sudah jam berapa ini, hah!? Kagak takut dicariin sama emak lo emangnya?"ujar Radit setengah berteriak. Selain memang karena terlalu berisik, juga kondisi kesehatan pendengaran sang sohib yang memang terganggu.Oh, tapi, bukan karena ia seorang penyintas atau sebagainya. Dia hanya sedikit Budi—alias budek dikit. Ehe.

Yang diteriaki lantas menoleh, mengerutkan dahinya mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar dan tertawa renyah. Seolah sosok yang ada dihadapannya itu baru saja lontarkan lawakan yang super lucu. Dan kini, giliran anak semata mayang mama Tina yang mengerutkan dahinya heran. Wah, kesambet nih anak, pikirnya, nyeleneh.

"Gue sejak kapan dicariin emak sih, Dit? Kocak banget dah."ujarnya lalu kembali terpingkal, namun entah kenapa terdengar sumbang di akhir membuat orang-orang disekitarnya memilih untuk tak berikan tanggapan lebih lanjut. Sesekali ia terbatuk sebelum akhirnya kembali menenggak sisa gelas yang berisi minuman berakohol itu ke dalam mulut kecilnya hingga tandas. Radit sendiri yang melihatnya sesekali bergedik ngeri. Ya, walaupun dirinya ini bebal, tapi jika untuk menenggak minuman haram, dia mana berani. Yang ada sudah sejak lama ia berakhir di gantung sama bundanya di pohon toge dekat rumah. Huft.

"Sudah berhenti minum-minum begitu. Ingat kata Bang Rhoma—"

"Rhoma kelapa maksud lo?"Radit mendelik. Engga suka diatuh kalo lagi ngomong serius di plesetin begitu,"bukan kocak!—satu tabokan sayang mendarat di bagian kepala seorang Rei Saputra hingga sang empunya mengaduh, namun kembali terkekeh. Apresiasi akan lawakannya memang ia akui begitu garing—jangan suka motong penbicaraan orang ya, Fadil!"

"Anjing! Sudah dibilangin jangan suka ngatain pake nama orangtua, tai!"

Radit menjulurkan lidahnya tak acuh,"suka suka gue lah."dan kini, giliran Rei yang mendecak keras. Kembali bersiap menuangkan sisa botol wishkey yang ada dihadapannya jika saja Radit tidak cekatan menjauhkannya dari jangkauan yang lebih muda membuat pemuda Saputra itu kembali mendecak keras,"balikin, sat. Mending lo balik saja deh terus kelon manja sama bunda lo."

"Engga usah sok kerad lo, nyet. Kalo jadi pendonor darah tetap buat kembaran lo saja mewek jelek di koridor rumah sakit—mending kita berdua balik dah, ikhlas ridho gue sekarang kalo emak gue lebih sayangin lo. Lo anggap emak sendiri juga engga apa dah. Sumpah demi kolor bapak gue yang jarang ganti dah, Rei—gue bilang udah ya, bangsat! Lo tuh kalo kobam nyusahin gue. Sekali pun badan lo tipis bat kek kertas hvs baru, tetep saja berat elah. Kebanyakan dosa sih, lo."

Radit terus mengomel yang dianggap angin lalu oleh Rei yang lagi-lagi berhasil memenggak sisa minuman alkohol kesukaannya itu yang membuat yang lebih tua menggeleng keheranan dan mencoba memapahnya. Menggiringnya untuk beringsut bangkit dari tempat duduknya,"balik Rei. Jangan bebal deh. Seenggaknya, lo kasihanin badan lo yang kurusnya ngalahin sapi gelonggongan—ah, elah, pake segala muntah nih anak."

Sisa malamnya hanya Radit habiskan dengan mengomel juga sesekali menjaga keseimbangan tubuh ringkih sahabatnya yang terpaksa ia sandarkan pada tubuhnya sembari menahan rasa mual karena aroma tubuh Rei yang sudah keruan hingga akhirnya sampai lah mereka di rumah—rumahnya—kalau rumah Rei, jujur Radit sendiri tidak tahu sekali pun mereka sudah cukup lama berkawan. Kira-kira sudah hampir 3 tahun sejak mereka saling mengenal. Tapi, ya, Rei memang setertutup itu dan Radit juga bukan tipikal orang yang akan mendesak teman dekatnya untuk seterbuka itu dan jika Rei memang ingin menjaga privasi hidupnya sendiri, maka Radit akan mencoba menghargai itu.

Sebong Cake^ (SEVENTEEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang