Varian Tiga Puluh Empat

40 3 0
                                    

.

.

.

.

.

.

















DUST —03

"Nanti berangkat sekolahnya ayah yang antar, ya? Kebetulan hari ini ayah dapat cuti untuk beberapa hari ke depan. Atau kita bisa habiskan waktu sama-sama. Mau pergi liburan ke Thailand, mungkin? Atau Singapura? Sudah lama juga 'kan kita engga berkunjung ke tempatnya Om Alex?"

Fadil mencoba membuka percakapannya, menatap penuh kearah Rei yang masih bergeming di kursinya. Terlalu sibuk menghabiskan jatah sarapannya pagi itu. Helaan napas keluar dari mulutnya karena sekali lagi diabaikan oleh anak sendiri. Tapi, ia tidak bisa berbuat apapun selain bersabar. Salahnya juga sih tidak pernah bisa memenuhi permintaan anaknya.

Ya—mau bagaimana lagi? Cinta memang tidak bisa dipaksakan, 'kan? Mungkin ia dan juga mantan pasangannya memang harus berakhir begini dan juga berat rasanya kalau harus merelakan si bungsu berakhir mengenaskan di meja operasi karena harus menjadi pendonor tunggal untuk saudara kembarnya untuk kesekian kalinya. Ia tidak bisa membayangkan seberapa hancurnya dirinya jika hal itu benar-benar terjadi.

Mungkin bondingnya bersama Rei tidak begitu kuat karena terbatasnya waktu kebersamaan mereka mengingat padatnya jadwal pekerjaannya yang mengharuskannya lebih sering habiskan banyak waktu di kantor atau pun melakukan banyaknya perjalanan bisnis, tapi ia benar-benar menyayangi Rei dan andai saja Rei tahu kalau alasannya dibalik perpisahannya dengan Risa salah satu diantaranya adalah dirinya sendiri. Tapi, sekali lagi, Fadil mana sampai hati untuk menjabarkannya secara gamblang. Yang ada mungkin baik Rei atau kedua saudaranya lain akan merasa lebih terpuruk dan hancur daripada sekarang.

Ya, dirinya hanya meminta belas kasih kepada sang pemilik hidup agar setidaknya, sedikit saja berikan secercah rasa bahagia untuk ketiga anaknya. Hanya itu asa yang selalu ia gantung di setiap harinya.

"Aku sudah selesai. Terimakasih, makanannya O-tousan."ucap Rei dengan pelan dan menyentak Fadil yang sedari tadi sibuk bergelut dengan isi pikirannya. Mengerjap lambat dan hanya menatap si bungsu dalam keheningan yang kini semakin lama menghilang dari jarak pandangannya. Anak itu sudah lebih dulu berlalu pergi tanpa sempat berikan Fadil kesempatan untuk sekadar ucapkan kata penyemangat ataupun kecup sayang seperti yang sering ia lakukan di masa lalu.

Lagi, helaan napas panjang dan berat ia hembuskan. Meraih cangkir kopinya yang lebih terasa pahit dari biasanya lalu tersenyum kecut.

Ini adalah konsekuensi yang harus ditanggungnya karena keegoisannya sendiri.

.

.

.

"Thanks buat tumpangannya."ucap Rei ringkas sesaat mobil yang ia tumpangi menepi di slot kosong yang tersisa di parkiran sekolahnya dan hanya di tanggapi anggukan pelan dari sang empunya mobil. Menanggalkan sabuk pengaman di tubuhnya lalu beringsut turun. Coba abaikan suara sumbang yang lagi-lagi berdengung mengganggu di rungunya dengan pembahasan serupa; tentang kehancuran keluarga kecilnya.

Helaan napas berat ia keluarkan sembari mempercepat laju langkahnya dan berakhir melipir di atap sekolah alih-alih ikuti kegiatan belajar mengajar di kelasnya. Moodnya sudah lebih dulu berantakan dan ia sudah terlampau kehilangan tenaga untuk sekadar menguatkan hatinya yang sudah terlanjur hancur. Terkekeh pahit sembari menyeka kedua sudut matanya yang entah sejak kapan basah.

Sekali lagi ia menyumpah dalam hatinya. Mengasihani kisah hidupnya yang tak pernah lepas dari lara. Terus begitu hingga getar diponselnya membuatnya terkesiap. Menelisik dari balik daftar pemberitahuan yang ada di layar dan terkekeh hampa. Sederet pesan ringkas sang bunda kirimkan percuma pagi itu dengan satu alasan serupa; ingatkan dirinya untuk tidak mangkir untuk lakukan pendonoran transfusi darah untuk Reon-nya.

Sebong Cake^ (SEVENTEEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang