Varian Delapan (3)

132 12 24
                                    

---

Endless Love (Meanie)

Chap. Three

.

.

.

"Keputusanku tetap sama dan sampai kapan pun tidak akan pernah berubah. Aku tidak akan mengambil opsi yang di berikan dokter Park. Aku akan tetap mempertahankan kedua bola mataku sekali pun nyawaku taruhannya!"

Pintu berwarna pucat itu di banting keras dan menimbulkan dentuman cukup kuat membuat Seungcheol hanya bisa mengurut pangkal hidungnya yang tiba-tiba terasa kaku. Menghela nafas lelah lalu menyeret langkahnya menjauhi kamar sang adik. Duduk di anak tangga kelima sembari termenung, memikirkan cara lainnya yang cukup efektif untuk membujuk Mingyu agar mau menyetujui tindakan yang di sarankan sang dokter untuk mengangkat kedua bola matanya yang menjadi akar dari penyakit yang selama ini di idapnya. Glukoma kronis yang sel ganasnya kini telah menyerang beberapa organ penting di tubuh si manis hingga menyebabkan infeksi di organ hatinya dan bahkan telah membuat beberapa syaraf pada organ geraknya menjadi terganggu. Contoh konkritnya adalah kedua kakinya yang sama sekali tidak bisa di gerakkan dan membuatnya harus menggunakan alat bantu berupa kursi roda untuk mobilitasnya.

Helaan nafas berat kembali terdengar. Seungcheol bahkan mengusak kasar surai kelamnya dengan frustasi. Ia benar-benar kehabisan akal untuk menghadapi sifat keras kepala yang di miliki Mingyu yang sama persis seperti mendiang ibu mereka yang juga meregang nyawa karena penyakit yang sama. Namun, bedanya, Choi Yuri sempat melakukan operasi pengangkatan di kedua bola matanya sebelum akhirnya menyerah di tahun kedua masa pemulihannya. Mungkin, memang takdir hidup sang ibu hanya sampai disitu. Setidaknya, ia maupun Mingyu sempat menyecap kasih sayang dari Yuri sebelum wanita cantik itu tiada.

Seungcheol hanya takut kalau sang adik akan bernasib sama dengan sang ibu maupun sang ayah yang juga telah tiada karena sebuah kecelakaan pesawat beberapa tahun silam. Takut kehilangan untuk kesekian kalinya. Mana sanggup Seungcheol menjalani hari-harinya seorang diri. Ia bahkan belum sempat melihat adiknya menikah. Belum sempat melihat sang adik bahagia. Ia bahkan belum terlalu banyak menghabiskan waktu dengan si manis karena pekerjaan yang menuntutnya.

Ah, sial! Kenapa pula air mata ini tidak hentinya menitik. Ia usap kasar dan mencoba mengendalikan diri agar tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Ia harus tetap tegar untuk adiknya, karena perjuangan mereka masih panjang dan ia yakin selalu ada harapan bagi si manis untuk sembuh dan pulih seperti sedia kala.

Ya, ia harus terus beroptimis. Semuanya akan indah pada waktunya...

.

.

"Bagaimana kencan butamu bersama Nayeon? Lancar, 'kan?"

"Ya, saking lancarnya aku harus mendapatkan bogem mentah dari calon suaminya."

Soonyoung terkesiap kala mendapati luka lebam di salah satu bagian mata Wonwoo yang terbingkai oleh kacamata bulat yang selalu di kenakannya sebelum terpingkal hingga nyaris menangis. Wonwoo mendecih,"hahaha, maafkan aku. Ya, Tuhan perutku..."

"Ya, kau memang selalu bahagia di atas penderitaanku. Benar-benar sahabat sejati."sarkas Wonwoo sembari melayangkan tatapan sinis kearah Soonyoung yang masih saja sibuk tergelak. Untungnya, tidak sampai terjungkal dari kursi, kalau sampai iya, Wonwoo pastikan akan menjadi orang pertama yang akan menertawakannya, dengan keras kalau perlu pakai alat pengeras suara, biar lebih mantap. Hm.

"Hehe, maafkan aku, Wonie. Kau ini, seperti remaja perempuan yang labil saja. Selalu saja merajuk padaku. Apakah kau dulu sering seperti ini saat masih bersama dengan si manis Kim? Kok dia betah ya sampai bertahun-tahun. Berapa lama ya? Eum, kalau tidak salah sampai hari jadi kalian yang ke-6, 'kan?"

Sebong Cake^ (SEVENTEEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang