Varian Empat Belas

202 15 2
                                    

---

Tentang Aku, Kamu dan Hemofilia (Meanie)

Chap. One.

.

.

.





"Permisi, mbak. Saya mau pesan satu potong besar cheese cake dan kue tiramisu, ya. Ah, dua cup americano juga."kata Wonwoo dengan seulas senyuman tampannya kearah salah seorang pegawai berwajah manis dan imut yang bertugas di bagian pembayaran. Sosok itu mengangguk mengiyakan sebelum melemparkan pertanyaan yang lainnya,"untuk di makan di tempat atau di bawa pulang, mas?"

"Oh, di bawa pulang saja, mbak."lagi, sosok itu mengangguk dan mengerjakan pekerjaannya dengan amat gesit, sampai hanya dalam sekejapan mata, semua pesanan Wonwoo sudah di bungkus dengan rapi dan tersaji di depannya. Wonwoo mengerjap dua kali dengan kedua belah bibirnya yang setengah terbuka,"o-oh, berapa total semuanya, mbak?"

"180 ribu, mas. Ada pesanan tambahan lainnya?"Wonwoo menggeleng kecil,"ah, tidak, mbak. Terimakasih."sang petugas kembali mengangguk paham dan mengangsurkan uang kembalian,"lain kali jangan panggil saya dengan sebutan itu ya, mas."

"E-eh, kenapa begitu? Terus maunya di panggil apa, dong? Sayang? Waduh..."sang petugas kini tidak bisa menyembunyikan lagi senyum masamnya,"ya, engga juga, mas. Ya, pokoknya jangan saja."

"Ya, tapi kenapa, mbak? Pasti 'kan ada alasan di baliknya?"

O-okay, sang petugas mulai hilang kesabaran. Membuang nafas kasarnya dan mencoba mengukir senyuman di wajahnya,"tapi, saya ini laki-laki, mas. Berbatang. Ya, engga jauh beda mungkin sama masnya."

Lalu hening.

Wonwoo mengerjapkan matanya lagi. Berulang kali. Kehilangan kata-kata. Meringis kecil dan langsung pamit undur diri. Ia benar-benar tidak punya muka lagi untuk kembali singgah ke tempat itu. Astaga...

.

Di sisi lain, sang petugas hanya bisa mengelus dadanya yang rata dengan sabar. Sesekali merutuk dalam hatinya. Benar-benar tidak habis pikir dengan pelanggan yang baru saja bertandang ke toko kue miliknya yang dengan entengnya memanggilnya dengan sebutan menggelikan semacam itu. Oh, ayolah, apakah bahu lebarnya ini tidak cukup meyakinkan kalau dia ini seorang lelaki tulen? Hhh...

.

.

"Ma, Nu pamit, ya. Kalau butuh apa-apa, langsung telepon saja, okay?"pesannya pada sang mama sembari duduk bersimpuh di depan wanita yang berada di atas kursi roda itu. Mamanya mengulum senyumam dan mengangguk. Ia kecupi pelipis sang anak dengan sayang,"iya, nanti mama langsung telepon Nu, kalau ada apa-apa. Jangan keseringan lembur. Harus tetap utamakan kesehatan kamu juga. Jangan kesehatan pasien kamu saja, Nu."Wonwoo nyengir.

"Hehe, iya ma. Nu, selalu ingat itu, kok. Mama engga usah khawatir, ya?"sang mama mengangguk. Tersenyum kecil kala sang putra memberikan kecupan manis di pipi kanannya,"kalau gitu, Nu berangkat ya, ma."

"Hm, hati-hati. Jangan ngebut-ngebut nyetirnya."

Wonwoo menyempatkan diri untuk memberikan lambaian singkat kearah mamanya yang masih memperhatikannya di ambang pintu rumah mereka. Menjalankan mesin mobilnya dan melaju dengan kecepatan sedang. Tampak begitu fokus sebelum sebuah panggilan masuk menginterupsi. Ia melirik kearah ponselnya yang berkedip dan menampilkan nama sang atasan disana membuatnya menghela nafas berat. Teringat akan janjinya untuk menemui pria paruh baya itu pagi ini.

Dengan cepat ia raih dan bersiap untuk menerima panggilan tersebut. Namun, naas. Benda pipih itu tergelincir jatuh dan sepertinya tersalip di antara pedal gas dan rem membuatnya mendesah kasar lalu mencoba menjangkaunya dengan susah payah. Hasilnya nihil. Setelahnya, ia mencoba meraihnya dengan kakinya. Sama saja. Lagi, ia membuang nafas kasar dan menyumpah kala dirinya tak sempat membanting stir dan menubruk tubuh seseorang yang baru saja melintas di jalan itu hingga jatuh tersungkur di dekat pembatas jalan. Wonwoo terkesiap dan langsung menepikan mobilnya. Beranjak keluar dan menghampirinya. Ia harus memastikan keadaan sang korban yang kini meringis menahan sakit. Ah, bagian lutut kakinya sepertinya mengalami luka robek dan terus mengeluarkan darah segar. Wonwoo meringis sebelum merogoh kantung jaketnya dan membalut luka tersebut dengan sapu tangan miliknya. Jantungnya berdegup lebih cepat kala cairan merah itu kini kembali merembes dan membuat jejak melebar di permukaan kain. Menatap sang korban yang tampak pucat dan terkulai lemas di hadapannya. Nyaris kehilangan kesadaran membuat otaknya buyar. Dan tangan gemetar, ia langsung mengangkat tubuh itu dan membopongnya ke mobil dan menempatkannya di kursi belakang. Tancap gas agar sang korban bisa segera mendapatkan penanganan secepat mungkin.

Sebong Cake^ (SEVENTEEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang