"Mbak Nola, ini ada telepon dari Eyang!" Salah seorang karyawan menghampiri wanita yang tengah sibuk membuka kaleng Wijsman. Malam itu kedai terpantau ramai dan mengharuskan Nola ikut turun tangan.
Nola menoleh. "Oke, kalau gitu kamu lanjutin ya, Fan." Setelah mencuci tangan, ia menerima ponsel dari karyawan.
Sambil memperhatikan Fany begitu cekatan dalam melayani pelanggan. Nola memilih duduk dipojokkan yang jauh dari kebisingan.
"Hallo, Eyang."
"Kamu pulang jam berapa?" Di seberang, suara eyang terdengar serius.
Merasa akan ada hal penting yang dibicarakan mengingat eyang sangat jarang menghubungi saat dirinya di kedai. Nola berdehem seakan berpikir, malam ini kebetulan malam minggu di mana banyak pasangan muda berkeliaran. Perkiraan, kesibukan di kedai berlangsung lama dan pulang larut jawabannya.
"Aku usahain jam sepuluh udah di rumah, Eyang." Nola lebih memilih jalan aman tak ingin eyangnya khawatir memikirkan.
"Ndak bisa ya pulang sekarang?"
Lantas Nola tersenyum geli. "Kedai lagi rame, Eyang. Kasihan Fany sama Bagas kalau ditinggal."
Meski kedai miliknya telah berjalan hingga tiga tahun dan cukup populer di kalangan. Nola hanya mempekerjakan dua orang itupun terkadang lebih banyaknya Nola yang mengerjakan.
"Eyang... " panggilnya ketika suara wanita renta itu tak lagi terdengar.
"Ibumu datang sama suaminya." Terdengar ragu suara Eyang saat mengatakan.
Cukup mengerti arah pembicaraan eyang, Nola menarik napas kemudian mengangguk sopan saat mendapati seorang pelanggan melambaikan tangan padanya.
"Ya sudah, sebentar lagi Nola pulang."
"Jangan ngebut di jalan, eyang cuma pengen kalian damai."
Damai?
Wanita itu tersenyum masam, entahlah masih banyak hal yang bercokol di dadanya dan Nola enggan melepaskan itu semua.
"Iya, Eyang." Lagi-lagi Nola menjawab seadanya.
Setelahnya sambungan telepon dimatikan.
Tak lama, tampak Fany datang tergesa menampilkan raut wajah sungkannya. "Mbak Nola, sudah selesai teleponnya?"
"Sudah. Kenapa, Fan?" tanya Nola berdiri usai memasukkan ponsel ke saku celana.
"Itu... ada pelanggan yang minta foto," jawab Fany meringis kecil.
Baru sebentar kedai dibuka, permintaan untuk foto bersama telah terjadi ke lima kalinya. Fany terkadang kagum pada bosnya selalu menanggapi mereka dengan senyum ceria.
Lagipula dengan fisik mencolok seorang Nola Seraphina, wajar banyak sekali yang terpesona. Tiga tahun bekerja, Fany saja seringkali terpana melihat sosok bosnya. Memiliki kulit putih dan tubuh tinggi semampai yang didapat dari gen sang ayah berdarah Belanda-Jerman, seorang Nola Seraphina begitu enak dipandang.
"Boleh deh, tapi selesai foto, aku izin pulang duluan ya, Fan. Nggak apa-apa kan kamu berdua sama Bagas?" Nola melangkah beriringan menuju ke luar kedai.
"Nggak apa-apa, Mbak. Kedai pasti aman sama kami."
Nola mengangguk lalu beralih fokus menyapa dua pelanggan ibu-ibu. Sesudah puas berfoto dan berbasa-basi. Perempuan itu segera membereskan ransel yang terletak di dalam ruangan tidak begitu luas diperuntukkan untuk istirahat dan menyimpan barang pribadi.
"Aku tinggal ya, nanti seperti biasa, jam sepuluh kedai harus udah rapi dan dikunci."
Bagas dan Fany mengangkat jempol tanda siap melaksanakan titah dari Nola. Tak ingin berlama-lama, keduanya kembali bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Flow [END]
RomanceAdhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia tidak menyangka harus kembali bertemu dengan mantan istrinya. Perempuan itu tampak jauh lebih dewasa...