Jumat pagi tepat pukul sembilan, pelataran luas milik rumah eyang terlihat penuh akan jejeran mobil yang bertandang. Siapa lagi jika bukan karena tamu istimewa yang sedang membicarakan sebuah acara pernikahan. Rombongan Malik datang hanya membawa keluarga inti beserta ajudan dan sopir pribadi.
Di dalam ruang keluarga yang lebih luas dari ruang tamu, para orangtua sibuk berbincang sambil mencicipi kudapan. Untuk kedua calon mempelai masih terlihat asyik berdiskusi mengenai rencana ke depan.
"Gimana sudah deal?" tanya Chandani lebih dulu saat Malik dan Nola menyelesaikan pembicaraan.
Sebelum menjawab pertanyaan, sejenak Nola bersitatap pada Malik kemudian mengangguk setuju. "Kami memutuskan melaksanakan akad di masjid."
"Apa nggak rentan diliput media kalau di masjid?" Teja terdengar sangsi. Terlebih situasi saat ini sedang gencar-gencarnya media mencari informasi mengenai Malik.
Pernyataan tersebut mendapat anggukan setuju dari pihak Hasta dan Gayatri, sebagai orangtua mereka mengkhawatirkan keadaan Nola jika sampai berakhir tersebar luas dan menjadi pemberitaan di luar sana.
Paham kedua orangtua memikirkan nasib pernikahannya, Malik berdehem pelan. "Sebelum memutuskan, bisa dipastikan saya akan menjamin dan memberi perlindungan terhadap Nola. Selain penjagaan ketat, saya usahakan para media tidak mengendus saat terjadinya acara."
Melihat kesungguhan Malik, para orangtua tak lagi memperlihatkan ekspresi resah. Tak terkecuali, Teja ikut berkomentar membantu sang putra.
"Jika memang Malik dan Nola telah sepakat, tentu sebagai orangtua, saya mendukung penuh keputusan mereka."
Keberpihakan Teja tentu berhasil membungkam rasa gelisah. Eyang pun paling semringah begitu sang cucu segera menikah. Bahkan yang lebih mengejutkan, Chandani yang dikenal keras justru kelihatan luluh serta mendukung penuh.
"Meskipun nggak melangsungkan acara resepsi. Bukan berarti Mama nggak menyewa WO, ya. Pernikahan kalian, nggak boleh kalah dari pernikahan pertama," sela Chandani mengejutkan Nola terbukti ekspresi terkejutnya.
"Setuju. Walau hanya akad, Nola harus tampil maksimal, paling nggak ada pihak profesional yang akan mengabadikan," imbuh Gayatri menambah daftar yang memihak perencanaan.
Merasa lelah jika harus kembali menyanggah, Nola memilih mengiakan. Setidaknya, baik Gayatri dan Chandani saling kompak tak berseberangan pendapat.
***
Selagi para tetua sibuk berbincang ringan, Nola yang tak ingin mengganggu kesenangan memilih pindah ke teras depan. Rupanya kepergian tersebut telah diawasi penuh oleh sepasang mata yang sejak tadi gemas ingin berdekatan pada pujaan.
Malik mengulum senyum menyaksikan Nola yang sibuk mengetik sesuatu di ponsel.
Sadar diperhatikan, perempuan itu menyudahi kesibukan lalu beralih memandang aneh pria yang berdiri bersedekap.
"Duduk, Mas. Aku mau ngomong," pinta Nola segera dituruti oleh si pria.
Setelah sama-sama duduk nyaman. Nola menghela napas panjang. "Kenapa banyak bawa barang? Kita kan udah sepakat cuma mau rembukan."
Sesungguhnya tidak ada yang salah jika pihak lelaki membawa barang yang bisa dikatakan seserahan saat bertandang ke rumah mempelai perempuan. Hanya saja, Nola tak menyangka akan sebanyak ini.
"Itu hak kamu. Sebagai calon suami, saya mampu menyenangkan kamu," jawab pria itu.
Kedengaran sombong, tapi itulah kenyataan. Sekilas saja, Nola bisa menebak barang tersebut merupakan brand mewah, seperti halnya sneakers Nike. Tas hermes, LV, dan masih banyak barang lain yang sedikit membuat sakit kepala jika ditotal harganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Flow [END]
RomanceAdhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia tidak menyangka harus kembali bertemu dengan mantan istrinya. Perempuan itu tampak jauh lebih dewasa...