30 menit berlalu, Malik sibuk menekan bibirnya menggunakan kain kasa guna menghentikan pendarahan sambil menunggu kedatangan Agam untuk menjemputnya. Kini, sejak insiden pemukulan, rasanya ia sudah tak sabar ingin segera angkat kaki sebab, beberapa petugas hotel tampak curi-curi pandang ke arahnya. Entah hanya sekadar memastikan jika kondisi yang dialami benar-benar terjadi nyata bukan sebuah rekayasa.
Setelah menunggu dengan rasa malu dan gelisah, Agam tampak tergesa berlari menghampiri Malik yang sedang duduk di sofa lobi. Ekspresi wajah asistennya itu terlihat meringis ngeri.
"Bapak, butuh ke IGD?" tanyanya penuh khawatir.
Malik menggeleng tanpa jawaban, salah satu penyebabnya bibirnya masih terasa nyeri jika digerakkan. Tak lama ia lekas bangkit berdiri, dan berakhir keduanya berjalan bersisian.
"Gimana ceritanya sih Pak, kok bisa ditonjok sama Mbak Nola?" tanya Agam berbisik seraya menoleh ke kanan-kiri takut suaranya terdengar tamu yang lain.
Malik memilih bungkam dengan tangan masih setia menekan kain kasa ke sudut bibirnya yang bengkak dan pecah.
Tiba di depan lobi, mobil yang dibawa Agam terparkir rapi, dan Malik segera masuk tanpa basa-basi.
Selama mengemudi, Agam bolak-balik mengecek keadaan bosnya. Juga sedikit penasaran menyaksikan Malik tak banyak bicara dengan tatapan kosongnya.
Merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menjalankan sesi pertanyaan. Pada akhirnya, Agam memilih fokus menyetir kendaraan, walau batinnya ketar-ketir sebab merasa akan ada sesuatu yang menggegerkan.
Tiba di basement apartemen, serta telah mematikan mesin dan mencari tempat parkir. Agam sigap mengekori langkah lebar Malik yang mendahului menuju lift.
Tak selang lama, keduanya sudah tiba di dalam unit, baik Agam dan Malik sama-sama menutup rapat mulutnya ketika mereka mendudukkan diri ke sofa, Malik yang merasa terpuruk lantas menyandarkan punggungnya.
Hening sesaat... Malik beralih menatap Agam dengan sorot pedih. Merasa harus bercerita guna menghilangkan rasa kebodohannya, Malik lebih dulu menarik napas panjang, agar sedikit melegakan dadanya yang sedari tadi terasa sesak.
"Saya bodoh sekali, Gam."
Suara Malik terdengar bergetar, antara menahan rasa nyeri di bibir, atau menyesali perbuatan implusifnya.
Agam sendiri memandang prihatin tanpa sedikit pun menyela, dan memilih membiarkan Malik menyelesaikan pengakuannya.
"Saya salah. Saya... malu kalah dengan hawa nafsu," sesal Malik terdengar sendu. Pria itu merasa tak punya muka harus mengalami kejadian ini dan sialnya tragedi tersebut disaksikan langsung oleh beberapa pasang mata.
"Maaf, apa, Bapak sadar saat melakukan hal itu? Sedikit pun pernahkah berpikir jika perlakuan tersebut menimbulkan ketidaksenangan?" Agam bertanya dengan suara tenang, tanpa penghakiman.
Malik tertunduk tak kuat untuk sekadar menjawab, bahunya menurun tanda ia benar-benar terpukul.
"Saya mengerti Bapak telah salah, dan tentunya manusia tempatnya salah, namun, bukan berarti Bapak harus mundur bukan? Tentu masih ada kesempatan belajar untuk menata masa depan. Saat ini Bapak boleh menyalahkan diri sendiri, tetapi, saya yakin ke depannya, Bapak akan belajar berhati-hati dalam mengambil tindakan, dan lebih stabil dalam mengambil keputusan," papar Agam panjang lebar.
Atau lebih singkatnya kejadian ini merupakan sebuah pembelajaran. Karena, hidup adalah tempatnya belajar.
"Kamu gampang bicara seperti itu, Gam. Saya yang dihajar Nola dengan tatapan membunuhnya, saya merasa seakan menjadi penjahat bagi hidupnya." Malik terlihat frustrasi dan tak lagi peduli bibirnya yang kembali mengeluarkan darah.
Melihat ketidakberdayaan bosnya, jujur Agam pusing sendiri. Sudah tua kenapa tak berpikir dulu jika kencan pertama merupakan hal krusial, menentukan keberlanjutan di jenjang lebih serius.
"Kalau boleh saya tahu, mengapa Bapak ajak Mbak Nola ke hotel? Bukankah list yang kita catat, Bapak akan membawanya ke SNQ?"
Malik terdiam, kemudian menghembuskan napas pelan. "Saya terlalu implusif dalam mengambil keputusan. Lebih gilanya sejak awal keberangkatan melihat penampilan Nola, otak saya sering terprovokasi, Gam."
Mendapat penjelasan berbelit, Agam berdecak sebal. Sulit sekali kah terus terang?
"Langsung aja deh, Pak. Bapak ajak Mbak Nola ngamar, makanya Bapak kena gampar?"
"Sembarangan!" Setelahnya Malik meringis setelah menjawab kencang, bibirnya terasa nyut-nyutan.
"Nggak mungkin ke hotel kalo nggak ngamar. Bapak nggak usah bohong!" geram Agam lagi-lagi harus mengulang pernyataan.
"Karena Nola cantiknya kebangetan, saya nggak tahan buat cium dia, Gam."
Mendengarnya, pria kurus itu tercengang. Masih merasa tak percaya, sebab, bos yang ia kenal alim, berani nyosor anak orang tanpa adanya ikatan.
"C-cium bibir, Pak?!"
Menekan rasa malu dan tingkah bodoh, Malik mengangguk mengiakan. Karena memang itulah kenyataan.
Agam menepuk keningnya. "Astagfirullah, Bapak!"
"Saya salah, dan saya nggak akan membela diri. Sebagai lelaki, saya patut dikatakan nggak punya moral," ungkapnya pasrah. Sekelebat ingatan tentang tatapan kecewa dan amarah mantan istrinya, Malik benar-benar menyesalinya.
"Sebagai lelaki yang udah lama nggak dekat perempuan, apalagi nggak pernah kencan. Saya memahami sikap Bapak. Pasti sulit ya, Pak. Sulit menghadapi godaan, setelah lama hidup membujang."
Walau ucapan tersebut dikatakan dengan nada kasihan, namun, di telinga Malik tanggapan tersebut justru terdengar seperti ejekkan. Dan Malik, tak mampu untuk sekadar menyangkal, lagi-lagi sebuah fakta kenyataan.
"Terus saat Bapak cium Mbak Nola, ada berapa orang yang lihat? Apa juga terekam CCTV?" tanya Agam cepat, merasa gelisah karena ini menyangkut nama baik bosnya. Selain itu, ia juga harus memastikan hal ini tidak akan menjegal perihal pencalonan di pilkada.
Malik yang diingatkan mengenai kamera keamanan, tubuhnya langsung menegang. Khawatir rekaman CCTV akan menyebar dan berakibat fatal.
"Segera hubungi pihak hotel, Gam!"
Mengerti perintah atasan, Agam tergesa merogoh saku celana mengambil ponselnya untuk segera bernegosiasi pada petinggi di sana.
Astaga! Apes sekali nasibnya.
****
Chapter ini khusus menggambarkan sisi lain Malik, serta perasaannya. Semoga tersampaikan ke kalian ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Flow [END]
RomanceAdhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia tidak menyangka harus kembali bertemu dengan mantan istrinya. Perempuan itu tampak jauh lebih dewasa...