CHAPTER 22

40.4K 2.5K 43
                                    

Nola berdiri di depan kompor yang menyala sambil memegang spatula. Sejak bangun subuh tadi, sejujurnya ia kebingungan ingin mengolah bahan apa, sebab mantan suaminya akan sarapan di sini bersamanya.

Saat menerima pesan dari pria itu tadi malam, Nola sebetulnya resah memikirkan akan dibawa ke mana oleh si pria. Sekadar info saja, ini untuk pertama kali ia pergi kencan dengan lawan jenis seumur hidupnya.

"Gosong itu telormu!"

Suara Eyang menyadarkan Nola dari lamunan, secepatnya perempuan itu mematikan kompor kemudian mengangkat telor yang pinggirnya telah menghitam.

Nola mendesah lelah begitu melihat tampilan, padahal ini gorengan telor yang terakhir.

"Makanya masak itu jangan sambil ngelamun!" omel Eyang seraya menyeduh teh herbal.

Mendengar rentetan omelan, Nola tak berani menyela karena ini memang kelalaiannya. Perempuan itu lebih memilih mengupas kulit timun lalu memotongnya. Ya, seperti yang kalian duga, ia hanya memasak nasi goreng dengan pelengkap telur ceplok, irisan timun dan kerupuk.

Semoga saja Malik doyan nasi goreng sederhana buatannya, pikir Nola.

Di lain tempat, Agam bolak-balik mengecek keadaan motor yang akan ditunggangi bosnya. Pria bertubuh kurus itu ditemani oleh seorang montir yang bekerja di bengkel milik atasannya. Setelah memastikan kondisi motor sangat prima jika dibawa berkendara, Agam kembali naik ke atas unit apartemen.

Sesaat tiba di dalam indera penciuman Agam disambut oleh wangi parfum Malik. Tak hanya itu, penampilan bosnya juga membuat Agam tercengang. Bagaimana tidak, jaket kulit yang dikenakan bosnya berwarna hitam, bahkan celananya juga hitam.

Agam menggeleng kuat. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Pantang bosnya mengenakan pakaian serupa tunggak berjalan, apalagi ini kencan perdana. Bisa-bisa Mbak Nola ilfil melihatnya.

"Kenapa kamu?!" Malik sudah bersiap menyembur, sepertinya tersinggung ditatap horor oleh sang asisten.

Agam melangkah maju sambil menggaruk tengkuknya. Sedikit gugup sebenarnya, tapi demi kebaikan, ia memberanikan diri membuka suara.

"Bapak tahu nggak? Kalau pakai baju warna hitam tandanya lelaki itu sedang nggak percaya diri sama bentuk tubuh dan kulitnya."

Mendengar perkataan tersebut, Malik mengangkat sebelah alisnya, ingin dia lihat sejauh mana tingkah aneh asistennya.

"Lalu, kamu ingin mengatakan saya nggak percaya diri, begitu?" tembaknya langsung.

Agam secepatnya menggeleng kuat. Mana mungkin dia meremehkan bentuk tubuh bosnya pun warna kulitnya. Gagah tinggi dengan kulit yang nggak putih dan nggak coklat, masa dikatakan tak percaya diri.

"Maksud saya, kemarin saat searching di Google, saya nggak sengaja menemukan artikel tentang warna pakaian yang dihindari saat kencan. Salah satunya warna hitam."

Mendengar itu, Malik mendengus kencang. "Coba kamu baca lagi, Gam. Siapa tahu ada yang salah dengan mata kamu. Karena setahu saya, warna hitam menjadi referensi kencan mengingat siapapun yang memakainya akan terlihat memukau dan meyakinkan."

"Ah, mungkin justru Bapak yang salah lihat," kelitnya tak percaya.

Merasa yang dikatakan Agam hanya akan membuang waktu, Malik lekas melangkah maju. "Terserah kamu. Minggir!"

Agam mendesah pelan lalu bergerak menyingkir, namun, ia tetap mengekori langkah Malik di belakang. Tak lupa sambil mengetik sesuatu di layar. Masih ragu dan ingin membuktikan.

Spontan mata Agam melotot begitu membaca artikel yang dikaitkan. Benar bukan sepertinya ada yang salah dengan matanya.

Karena di situ tertulis jelas kebenarannya....

Let It Flow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang