CHAPTER 3

84.1K 5.3K 28
                                    

Nola tidak main-main perkara tak akan menggunakan sedikitpun uang pemberian Malik. Terlebih baru saja kemarin mantan suaminya mentransfer sejumlah uang yang lebih banyak dari bulan lalu ke rekening eyangnya.

Segala keresahan tentu dirasakan perempuan itu kala total uang yang dikirim melebihi batas perkiraan. Dan Nola semakin merasa tak tenang ingin segera mengembalikan, namun khawatir jika kembali terjadi pertikaian mengingat hubungannya dengan Malik bisa dikatakan kurang lancar.

"Aku kepikiran sama uang segini banyaknya, Eyang. Lagian ngapain pria itu masih kirim terus-terusan," keluhnya geregetan.

"Kalau kamu ndak keberatan, Eyang telepon saja si Chandani. Nanti biar dia peringatkan Malik untuk nggak transfer uang lagi."

Upaya sang eyang terdengar menggiurkan. Namun, mengingat watak mantan mertuanya itu, Nola masih tak sanggup untuk bertemu kembali.

"Ya boleh, tapi ini nggak bakal buat hubungan Eyang sama mereka makin merenggang kan?" Nola menatap eyangnya khawatir.

Mengibaskan tangan, Eyang berkata tenang. "Ya tentu enggak. Lagipula, ini sudah tujuh tahun, Malik nggak seharusnya terus kirim uang. Apalagi kalau Malik sudah menikah lagi, kasihan nanti malah jadi perkara sama istri barunya."

Nola menelan ludah yang terasa pahit. Eyangnya benar, hidup tentu terus berjalan, tak mungkin selalu pergi, pasti akan ada yang datang kembali.

"Aku ikut aja kata Eyang. Yang penting perkara uang segera terselesaikan."

Setelahnya Nola berdiri, ia menyalimi tangan keriput perempuan bertubuh renta itu. "Aku izin pergi sebentar. Nanti eyang langsung tidur aja nggak perlu nunggu, perkiraan jam dua belas aku baru pulang."

Malam ini Nola memang akan menghadiri kopdar komunitas yang satu tahun ini ia ikuti. Sejak bulan November, ia telah resmi menjadi member Kracker demi memperluas jaringan pertemanan.

"Apa ndak terlalu larut malam pulangnya? Kamu itu perempuan, rasanya ndak pantes ikut-ikutan komunitas yang isinya lelaki semua. Kalau kamu kenapa-napa gimana?" Ekspresi perempuan bertubuh renta itu tampak tak suka, matanya memicing tajam. Benar-benar tak setuju pergaulan cucunya.

Menarik napas lelah, sejujurnya Nola telah berulang kali membeberkan semua kegiatan di komunitasnya. Tidak semua buruk seperti stigma yang ada dipikiran eyangnya.

"Aku bisa jaga diri, Eyang. Percaya sama aku ya. Lagian daripada Eyang resah mikir yang enggak-enggak mending doakan keselamatan aku," ucapnya tersenyum.

Paham karakter Nola yang sangat keras kepala seperti halnya anaknya. Eyang mengangguk pasrah membiarkan sang cucu berpamitan. "Ya sudah, tapi ingat ndak perlu kebut-kebutan, masa depanmu masih panjang."

Wanita yang mengenakan jaket kulit hitam serta ransel di punggung mengangkat jempolnya mengiakan peringatan eyangnya. Tepat pukul delapan malam motor tracker Nola melaju menuju kawasan jalan Bintoro yang menjadi tempat pertemuan.

***

Malik menatap lekat file yang dikirim Agam. Disela-sela jam istirahat, pria itu berulang kali mengernyit ketika membaca sederet informasi mengenai sang mantan istri.

"Kamu yakin data ini valid?" tanyanya menatap sang asisten.

"Sangat yakin, Pak."

Melihat wajah serius asistennya, mau tidak mau Malik percaya. Ia memijit pelipis tak menyangka, waktu tujuh tahun ternyata mampu mengubah seorang Nola.

"Bagaimana mungkin wanita manja itu menjadi seperti ini?" gumamnya pelan.

"Bisa jadi akibat kandasnya pernikahan yang mengubahnya, Pak."

Meski suara Malik terdengar lirih, rupanya Agam tetap bisa mendengar. Tanpa ragu, asistennya itu menimpali ucapan.

Malik berdecak lalu menaruh Ipad ke meja. "Nggak bisa dikatakan pernikahan normal, Gam. Dalam sebulan kami nggak lebih tiga kali duduk satu ruangan."

Pria bernama Agam itu menunduk terdiam. Sepertinya ikut gusar mengetahui masalalu suram sang atasan.

"Tahun 2020 dia menyelesaikan kuliah, lalu tak lama membangun kedai. Dan sekarang memiliki hobi motoran. Sangat nggak masuk akal untuk ukuran gadis manja yang nggak bisa apa-apa."

Walau diucapkan dengan nada mencemoh, sebagai asisten, Agam mengerti jika Malik tak berniat menghakimi. Agar ucapan atasannya tak semakin terkendali, ia pun berdehem kaku menengahi.

"Apa yang nggak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak, Pak. Lagipula, dengan ambisi, semua akan sangat mudah tercapai jika memiliki kemauan."

Malik membuang muka dengan kedua tangan mengepal. "Apa saat ini saya terlihat peduli?"

Sebagai mantan suami, ada sebagian diri tak iklhas mendapati sosok sang mantan istri memiliki pergaulan lumayan bebas. Apalagi ini seorang Nola yang dulu dikenal gadis lugu nan manja. Bisa saja, perempuan itu dengan mudahnya dimanfaatkan lelaki kurang ajar di luaran sana.

"Maaf kalau ucapan saya terdengar lancang, Pak. Tapi setelah tujuh tahun berlalu, mengapa baru sekarang Bapak mengulik kehidupan pribadinya?"

Malik sontak terdiam lama, ruang kerja yang hanya ada mereka, semakin sunyi saja.

"Saran saya, jika Bapak hanya penasaran semata, biarkan mbak Nola mengepakkan sayapnya. Namun, jika ada maksud lain, nggak perlu Bapak merendahkannya, cukup buktikan kalau Bapak memiliki niatan lebih, dekati mbak Nola dengan cara yang baik."

Perkataan Agam begitu masuk akal sehingga membuat Malik dilanda kepenatan. Di usia ke 36 tak jarang sang ibu menodong pertanyaan sebuah pernikahan.

"Apa saya masih pantas mengajaknya rujuk?"

Agam mengangkat kepala menatap lurus penuh percaya. "Sangat pantas jika alasan rujuk tersebut sama-sama membahagiakan kedua belah pihak."

Dada Malik lantas melambung sukacita. Sebetulnya perkara pasangan hidup, ia hanya memiliki dua keputusan. Memperbaiki apa yang dulu pernah ia genggam atau mencari dan melupakan sesuatu yang tak lagi perlu dipertimbangkan.

Let It Flow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang