"Bereskan semua pakaian milik saya, lima belas menit harus sudah selesai semua!"
Malik benar-benar murka. Kepulangannya yang tiba-tiba mengagetkan para pekerja setelah diminta mempersiapkan barang pribadi anak sulung majikannya.
Sambil menunggu para pekerja, Malik sibuk menghubungi asistennya. Keadaan rumah yang lengang memudahkan dirinya berbicara leluasa.
Tak lama mobil yang dikendarai Agam tiba lima belas menit kemudian. Pria itu masuk dengan gerak-gerik tergesa.
"Bapak yakin pergi saat ini juga? Nggak nunggu Ibu dulu?"
Malik menggeleng singkat, melihatnya Agam menelan ludah, mungkinkah telah terjadi sesuatu besar hingga membuat atasannya mengambil keputusan asal?
Setelah memasukkan dua koper ke bagasi, Agam berjalan cepat menuju kursi kemudi. Kini mobil mulai bergerak meninggalkan pelataran rumah dengan kondisi raut wajah Malik terpasang keras.
"Kita ke mana, Pak?"
"Apartemen Grand Shamaya."
Mendengar itu, batin Agam berteriak gawat. Jangan bilang, atasannya ini akan tinggal di apartemen untuk pertama kali. Jika benar, bagaimana bisa? Bukankah setahunya Malik begitu menyayangi Chandani sampai-sampai tak tega meninggalkan ibunya sendiri.
Dalam perasaan panas dingin, Agam mengemudi dengan jemari bergetar. Sudah bisa dipastikan, setelah ini, ia akan diteror Ibu Chandani.
***
Malu, benar-benar malu. Untuk pertama kalinya, Malik putra kesayangannya melempar kotoran ke wajah Chandani. Bisa-bisanya anaknya itu pergi meninggalkan dirinya dalam kondisi tak pantas.
Usai mendapat perkataan tak menyenangkan disertai cacian, Chandani berakhir pulang dengan raut wajah keruh dan masam.
Namun, semua itu tidak ada apa-apanya setelah menerima kenyataan jika Malik minggat membawa semua barang pribadinya. Termasuk surat berharga, bahkan yang tersisa di kamar sang putra hanya beberapa handuk dan koleksi krim cukurnya.
"Kenapa kalian biarkan?!" teriak Chandani geram.
"Maaf, Bu."
Melihat pekerja rumahnya menunduk ketakutan bersiap menangis, Chandani berdecak tak senang. Malas melihat wajah orang-orang menyebalkan, perempuan paruh baya itu lebih memilih berjalan cepat ke kamar berniat menelepon Agam.
Di tempat lain, Agam terduduk gelisah menunggu sang atasan yang sedang mandi. Dan benar, kegelisahannya terbukti ketika ponselnya bergetar menampilkan panggilan dari Ibu Chandani.
Tidak ada niatan untuk mengangkat seperti yang diperintahkan Malik, Agam memilih berpura-pura tuli.
Tak lama usai Chandani menghubungi hampir 20 kali, tampak Malik keluar dari kamar dengan penampilan segar. Agam lantas berdiri.
"Pak, Ibu nggak berhenti telepon saya."
Malik yang sibuk memakai sepatu hanya berdehem.
Sontak, Agam merasa stress harus terlibat pertikaian mereka. Apes sekali nasibnya.
"Blokir saja," jawab Malik selesai mengenakan kedua sepatu.
Mata Agam lantas melebar, yang benar saja cari mati yang ada.
"Jangan pernah buka mulut mengenai keberadaan saya." Malik meraih kunci mobil yang tadi dikendarai Agam. "Saya pergi, kamu bisa pulang naik taksi."
Mendengar perintah tersebut, Agam mengangguk pasrah.
Katakanlah Malik tak punya hati, namun semua terlalu melelahkan setelah segala usaha ia pertaruhkan. Perjodohan? Sungguh tolol menerima begitu saja rencana ibunya.
"Mas nggak perlu selalu nurutin perkataan Mama kalau nggak buat bahagia."
Di antara ramainya jalanan, Malik mengendarai mobil seraya berpikir. Jika ditarik kembali ke masalalu, kebodohan saja yang ada di otaknya itu. Berbakti boleh saja, sayang boleh saja, namun semua itu jika berakhir menjerumuskan juga menyakitkan buat apa?
Jemari Malik mencengkeram kemudi, sorot matanya menajam pun perlahan memerah menahan segala emosi.
"Hanya kamu yang bisa menyelesaikan. Kali ini Mama minta tolong sama kamu Malik."
Persetan dengan nama baik Davina, ia tak akan menjadi tumbal yang bukan kesalahannya.
Satu jam berjibaku akan kemelut hati, tanpa sadar mobil berhenti tepat di depan hunian satu lantai yang khas akan seseorang. Sontak Malik terdiam lalu mengusap wajahnya kasar.
Tok! Tok!
Malik tersentak saat mendengar jendela mobilnya diketuk.
"Lho Mas Malik?! Mau ketemu Mas Rian ya?" Begitu kaca jendela terbuka, salah seorang satpam rumah mengenalnya.
Pria itu mengangguk. "Rian ada?"
"Kebetulan lagi pada ngopi sama Mas Lesmana."
Mendengar kedua temannya tengah bersama, Malik lekas membawa mobil masuk ke dalam.
Selesai memakirkan mobil dan mencabut kunci, Malik langsung keluar disambut sang pemilik rumah yang sedang duduk di teras depan.
"Akhirnya calon Gubernur kita muncul juga," ledek Rian dengan ciri khas rambut panjang terikat.
"Heh?! Calon Gubernur taii, yang ada datang muka kayak gitu lagi butuh dana kampanye kali." Lesmana ikut menambahi, lantas keduanya terbahak saat Malik hanya menanggapi berdecak.
Begitu suara tawa mulai mereda, Malik mengeluarkan dua bungkus rokok dari saku celana kemudian diletakkan di meja.
"Wihh, anak Mama tumben dibolehin ngudut."
Tanpa basa-basi Rian segera membuka bungkus rokok. Kapan lagi kan bisa menikmati rokok mahal dari sang dermawan.
"Masalah apa lagi?" tanya Lesmana dengan gaya sok tahunya. Sebab jika melihat Malik tengah serius mengisap batang rokok bisa dipastikan sedang terjadi peperangan dengan ibunya.
"Aku minggat."
"Seng tenan?" (Yang benar)
Detik itu juga Rian dan Lesmana menatap curiga tanda tak percaya. Soalnya kiamat yang ada jika seorang Malik minggat dari rumah meninggalkan ibunda tercinta.
Sambil menikmati kepulan asap yang keluar dari mulut dan hidungnya, Malik berakhir bercerita setelah lama memilih bungkam.
Selesai mendengar cerita singkat serta memiliki fakta memikat, Rian dan Lesmana menatap kagum lalu secepatnya bertepuk tangan hebat.
"Akhirnya jiwa lelaki pemberontakmu keluar juga, Lik!"
"Predikat anak Mama lepas juga di usia 36." Lesmana menepuk terharu lengan berotot pria itu.
Mengerti jika kedua temannya tak benar-benar berniat mencela. Malik ikut terkekeh mendengarnya, dipikir-pikir lucu juga.
"Yoklah mumpung jiwa Malik sedang tidak baik-baik saja, touring kita."
Malik mengangkat sebelah alisnya, terdengar menarik rencana Lesmana.
"Keluarin lah itu mogemu. Sekalian kasih paham Mamamu itu."
Rian terbahak saat membayangkan wajah syok Chandani melihat Malik diam-diam membeli banyak barang tersembunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Flow [END]
RomanceAdhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia tidak menyangka harus kembali bertemu dengan mantan istrinya. Perempuan itu tampak jauh lebih dewasa...