CHAPTER 15

52.4K 3K 41
                                    

Pagi hari saat sarapan, Chandani tersenyum kecut ketika tak melihat kehadiran Malik dan Agam. Kendati malam ribut besar, bukan berarti ketiadaan yang ia inginkan.

"Biarkan Malik mengurus dirinya sendiri, Ma. Kita cukup mendukung dan mengawasi saja," kata Teja sambil menyeruput kopinya.

Mendengar penuturan Teja, dalam diam Chandani mencibir. Andaikan bukan kewajiban melayani pria itu, ia ogah melihat ekspresi biasa suaminya seolah tak terjadi apa-apa di antara keduanya.

"Terus kalau mereka buat ulah, Mama diam aja gitu?" tanyanya ketus.

Teja melirik. "Selagi nggak melanggar norma dan hukum, buat apa kita ikut campur."

Chandani mendengkus, meski sebal, perempuan itu tetap menyendok nasi ke dalam piring milik suaminya.

"Nggak usah cemberut, selagi Papa ke Jakarta. Mama boleh beli semaunya."

Lekas mata perempuan itu melebar, dipandangnya Teja dengan sorot berbinar. "Yakin semau Mama? Kalau Mama liburan ke bintan, gimana?"

Teja sejenak berpikir, beberapa saat kemudian terlihat mengangguk. "Boleh aja, di Jakarta Papa juga lama, ada beberapa pertemuan penting yang dihadiri wakil presiden."

Chandani mengulum senyum. Akhir-akhir ini boleh saja pikirannya semrawut, tapi rencana liburan yang diatur geng arisan juga tak buruk.

Perkara Malik dan Davina, mungkin harus ia singkirkan untuk sementara. Toh ada suaminya yang mampu mengendalikan anak-anak, lagipula rasanya percuma memikirkan mereka. Jika sampai berakhir jatuh sakit sampai kehilangan nyawa, yang rugi juga dirinya. Teja pasti sangat mudah menemukan istri baru secepatnya.

***

Di tempat lain, Agam tengah sibuk menelepon pihak restoran setelah tadi malam mereka tak jadi menginap di kediaman milik orangtua sang atasan. Sehubung, Ibu Chandani tak menunjukkan tanda-tanda mengganggu, Agam bersiap membantu Malik untuk melanjutkan misi kedua. Yang pasti kali ini, membutuhkan mental dan persiapan matang pula.

Agam membalikkan badan sambil mengantungi ponsel ke saku celana. Di depan sudah ada Malik dengan penampilan rapi dan wangi seperti biasa.

"Pihak restoran mengatakan lima belas menit lagi sampai ke unit kita, Pak."

Malik mengangguk lalu memilih duduk ke sofa, ia meraih Ipad yang tergeletak di meja.

Melihat lelaki itu mulai tenggelam kembali pada pekerjaan, Agam menghela napas panjang. Bagaimana mungkin malah dia yang merasa deg-degan padahal Malik yang sebentar lagi akan bertandang. Justru bosnya itu kelihatan kalem dan tenang.

"Bapak nggak grogi?" tanya Agam menghentikan Malik yang sibuk konsentrasi.

Malik mengangkat sebelah alisnya. Sedikit aneh dengan pertanyaan tak penting, meski begitu ia tetap menjawab singkat, "Sedikit."

Agam meringis.

"Tapi, Pak. Walau nanti di sana Bapak di sambut baik. Bapak harus ingat sama pesan saya. Perempuan itu sulit ditebak maunya. Sehubung Bapak orangnya kurang friendly, usahakan  jangan irit ngomong ya, Pak, cari topik, biar percakapan nggak jadi garing."

Dinasihati panjang lebar, Malik berdecak tak selera menyelesaikan pekerjaaan. Ia pun kembali menaruh Ipad ke meja.

"Kamu kira saya anak kecil."

Agam berdehem kikuk. "Di sini saya tugasnya mengingatkan. Sekiranya Bapak kurang setuju, ya saya bisa apa."

Belum sempat Malik berucap, bel apartemen terdengar berbunyi. Sudah pasti dari pihak restoran tadi. Tak ingin pihak delivery menunggu lama, Agam terlebih dahulu bangkit untuk segera membuka pintu.

Malik sendiri lebih memilih merapikan kemeja yang dikenakannya meski itu tidak kelihatan kusut sama sekali.

Sepanjang perjalanan yang dikemudikan Agam. Malik menatap lurus ke arah jalan, waktu masih menunjukkan pukul delapan, sedikit terlambat untuk sarapan.

"Sepertinya Mbak Nola hendak pergi, Pak."

Agam berkata ketika mobil tak lama mulai berhenti di pelataran rumah satu lantai bergaya tradisional Jawa. Tak jauh dari mereka, motor tinggi Nola sudah terparkir rapi seakan pemiliknya bersiap pergi.

Saat Malik dan Agam keluar dari mobil, ternyata bertepatan dengan Nola yang juga muncul dari dalam rumah sambil menenteng sepatu dan helmnya. Jelas terlihat, perempuan setengah bule itu terkejut setengah mati melihatnya.

"Lho ada tamu!" Eyang yang menyusul di belakang Nola berseru kaget melihat kehadiran Malik dan Agam.

Nola terpaksa mempersilakan mereka masuk sebagaimana ketika menyambut tamu. Meskipun sama-sama canggung, Malik beserta Agam berjalan mengikuti sang pemilik rumah menuju ruang tamu. Suasana rumah mantan istrinya tak berubah, ada sofa dan meja kecil yang terdapat vas bunga di tengah-tengah.

Yang membuat Nola semakin terkaget-kaget, sebelum duduk, Malik dan Agam benar-benar mencium tangan eyangnya.

"Waduh, waduh, ini eyang belum sempat cuci tangan."

Dan benar, begitu giliran Agam, pria itu meringis melotot saat menghidu aroma terasi. Tapi, demi kesopanan, Agam memilih menahan.

Nola yang lebih dulu duduk ke sofa, menahan tawa melihat ekspresi lucu kedua pria. Pandai juga mereka menjaga imagenya.

"Nola buat kopi sana!"

Bukan tanpa alasan eyang meminta. Bukan tak tahu juga perempuan renta itu mengenai kedatangan mantan suami cucunya. Dengan kedok membuat kopi ke belakang, eyang mudah mencecar kedua tamunya.

Seperginya sang cucu, tubuh Eyang yang mungil dengan kulit keriput sana-sini terlihat maju. "Kamu Malik to?"

Ditanya tanpa basa-basi, Malik mengangguk dengan seulas senyum sopan. "Benar, Eyang."

Eyang mengangguk sambil berpikir. "Ndak lama kemarin, ibumu datang ke sini. Sekarang ndak taunya, kamu sendiri."

Bukan pertanyaan, ini sebuah pernyataan. Jujur Malik kebingungan, apalagi Agam.

Eyang menyorot tak senang. "Kamu ndak disuruh Chandani kan?"

Untuk pertama kalinya, Malik menelan air ludah kesusahan. Tadi saja, ia gembar-gembor merasa santai.

"Kedatangan saya, sebetulnya ingin menyambung tali silahturahmi sekaligus meminta maaf."

Walau suaranya tak terdengar grogi, percayalah jantung Malik terasa ingin copot ditatap intens oleh perempuan yang sialnya dulu ikut merasa kecewa atas perceraiannya dengan Nola.

Sejenak ruang tamu sempit itu terjadi keheningan, yang terdengar hanyalah suara deru napas Malik dan Agam dengan perasaan jantung berdebar.

"Sebelum itu, ini ada sedikit oleh-oleh dari kami," kata Malik melanjutkan sambil menyenggol lengan Agam agar segera menyerahkan dua paperbag berisi menu makanan dari restoran terkenal.

Tentu Eyang menerima senang hati pemberian Agam. "Nah, gitu baru tamu punya adab. Kemarin saja, Chandani main datang ndak bawa apa-apa."

Diingatkan kembali perkara mamanya, Malik hanya bisa pasrah. Namun, tak lama kecanggungan mereka pecah akan kehadiran Nola membawa nampan berisi dua cangkir kopi.

Selesai menaruh kopi ke meja, Nola kembali bergabung bersama tamunya. Sedikit banyaknya, Nola mendengar perbincangan eyang dan Malik. Jujur, Nola sedikit malu melihat tingkah perempuan renta itu.

"Eyang ke dalam dulu, nanti selesai ngobrol, kalian boleh sarapan bareng."

Tertatih-tatih pergi ke belakang sambil menenteng oleh-oleh dari Malik, secara sengaja eyang mengedipkan mata pada cucunya seakan menggoda.

***

Let It Flow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang