CHAPTER 13

51.4K 3K 16
                                    

Setelah sehari semalam meriang, tubuh Nola mulai kembali bugar. Meskipun tak ada lagi keluhan, rupanya eyang mewanti-wanti agar Nola selalu menjaga pola makan.

Seperti saat ini, mulanya Nola ingin sarapan nasi pecel, entah karena baru sembuh dari demam, tiba-tiba saja lidahnya pengen mengunyah makanan yang khas akan kuah kacang. Tapi, eyang menolak tegas karena perempuan renta itu sudah memasak sayur bening.

"Masa pemulihan itu jangan langsung makan yang berat-berat. Habiskan dulu sayurnya, kalau udah sembuh total, baru boleh makan kesukaan."

Pada akhirnya, Nola menyerah lalu mulai menyendok kuah bening ke dalam mulut.

"Kalau nggak habis, taruh meja aja. Yang penting kamu berhenti dulu makan yang aneh-aneh."

Eyang kembali mengomel melihat sang cucu menyantap dengan raut ogah-ogahan.

Nola sendiri mengangguk lemah. Syukurlah eyang mau mengerti jika sarapan pagi ini tak membuatnya selera sama sekali.

Usai drama perkara sarapan, bersamaan eyang sibuk di belakang menyiram tanaman. Berhubung rumah sepi tak ada siapapun selain dirinya, Nola memutuskan membuka kotak paket berukuran sedang yang kemarin sore dibicarakan.

Duduk lesehan di ruang santai sambil memegang gunting, Nola mengernyit saat selesai membuka kotak. Tak lama, matanya memicing mendapati kartu ucapan terselip.

Dengan jantung bertalu, Nola membaca seksama isi surat itu.

^^

Selamat ulang tahun, Nola. Saya gak akan banyak berkata, dari semua doa, saya ingin kamu panjang umur dan bahagia.

Untuk tujuh tahun terakhir ini, maaf jika kamu harus mengalami kesulitan akibat kegagalan rumah tangga kita.

Terakhir, saya bingung ingin kasih hadiah apa. Tapi, sejak pertemuan kita di bengkel, saya yakin helm ini akan melindungi kamu saat berkendara.

Saya harap kamu suka...

^^

Selesai membaca, senyum lucu terulas begitu saja. Nola yakin, kalimat tersebut bukan sepenuhnya pria itu yang merangkainya. Mungkin ada ikut campur tangan dari seseorang, entah itu asistennya, pekerjanya, atau malah Google.

"Udah kamu buka?"

Nola yang tadinya sibuk pada isi surat, sontak tersentak mendengar suara eyangnya.

"Hadiah dari siapa?" Kini eyang melangkah mendekat.

Merasa kecolongan, Nola dilema, haruskah ia jujur pada eyangnya?

"Kalau ditanya orangtua itu ya mbok jawab, ini ndak malah diem."

Masih bingung merangkai kata, Nola mengemas kembali helm pada kotaknya, jangan sampai barang ini rusak karena ia tahu harga yang dibanderol bukan main mahalnya.

Setelah rapi terkemas pun kartu ucapan ia sembunyikan, Nola berdehem. "Eyang kemarin nggak tanya paket ini dari siapa?"

Perempuan renta itu menggeleng. "Gimana mau tanya, wong yang antar orangnya aneh begitu. Katanya minta tanda tangan, eh ndak taunya malah langsung tergesa pulang."

Nola mengulum senyum, pasti kurirnya pening menghadapi nenek tua ini. "Kalau eyang nggak tau, gimana aku. Di sini nggak ada tulisan nama pengirimnya."

Eyang berdecak. "Kalau udah tau paket nyasar, kenapa malah dibuka!"

Kontan Nola meringis, salah lagi dia.

"Emang apa to isinya?" tanyanya lagi.

"Kayaknya sih helm."

Eyang mengangguk. "Mungkin itu kiriman dari teman motormu."

Nola terkekeh, tak heran jika eyang berpikiran seperti itu. Pasalnya, yang eyang tahu Nola lebih sering bepergian dengan teman-teman komunitas.

"Eyang, percaya nggak kalau ini dari Mas Malik?"

Ucapan tiba-tiba Nola menjadikan eyang memandang tanya.

"Apa katamu, dari Malik?"

Perempuan itu mengangguk. Toh, tak ada gunanya juga berbohong, lebih baik ia jujur manatahu eyangnya lebih paham perkara hadiah itu.

"Dari isi suratnya yang menyinggung perceraian tujuh tahun lalu, tentu Mas Malik yang kirim kan?"

Karena lelah berdiri, sambil mendengar cucunya berbicara eyang memilih duduk di kursi goyang miliknya.

"Mengenai helm, ini hadiah ulang tahunku dari dia." Nola mengakhiri pengakuan.

Terdengar eyang menarik napas panjang. "Eyang malah lupa kalau kamu ulang tahun."

Mendengar jawaban tak terduga, Nola mengerjap. Padahal dia berbicara dengan perasaan tak karuan, tapi dengan mudahnya eyang justru mengatakan perkara tanggal kelahiran.

"Namanya juga udah tua. Nggak apa-apa lupa, wajar," sahutnya kalem

Tak terlihat eyang tersinggung. Nola kembali melanjutkan ucapan.

"Di dalam surat, tertulis, dia juga meminta maaf."

Eyang menatap lekat ekspresi Nola, di sana raut wajah sang cucu sama sekali tak memperlihatkan sakit hatinya.

"Ya kalau udah minta maaf, tinggal kamu maafin. Gampang to?"

Memang gampang, tapi Nola masih kurang yakin, seperti ada yang mengganjal. Masalahnya ini, Malik. Anaknya bapak menteri yang wira-wiri di layar televisi dan memiliki ibu yang sifatnya tak bisa diprediksi.

***

Lebih dari seminggu Malik mengirim paket ke rumah mantan istrinya. Pria itu kerap kepikiran, apa barangnya sudah sampai ke tangan Nola? Apa helm itu berakhir dikenakan atau malah dibuang karena tak sudi menerima?

"Daripada pusing, langsung gas ke rencana berikutnya saja, Pak."

Celetukkan Agam, menghentikan aktivitas lamunan. Malik menatap tajam.

"Lagian Bapak juga belum sempat pulang ke rumah. Saya harap jangan karena mantan istri, masalah Ibu, bapak lupakan begitu aja."

Keduanya langsung bersitatap, sejujurnya Agam cemas menantang tatapan Malik. Tapi, bagaimana lagi jika Ibu Chandani kerap berulah tiada henti. Ini saja, kemarin baru selesai Chandani mendatangi kos-kosan miliknya. Untung saat itu, Agam tak lagi di kediaman. Hanya saja, ibu kos berbalik marah-marah meneleponnya. Ternyata, Ibu Chandani mengadu jika Agam telah berbuat kurang ajar.

"Maaf, jika membuat bapak tersinggung. Saya hanya ingin semua masalah cepat selesai," kata Agam menunduk, pada akhirnya ia kalah menantang tatapan datar dari sang atasan.

Malik mendengkus, ia seakan enggan dianggap terlalu mengulur waktu.

"Jika menurut kamu saya lamban. Malam ini mari kita selesaikan!"

Agam menelan ludah begitu melihat Malik bangkit dari kursi untuk segera keluar.


***

Let It Flow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang