CHAPTER 26

36.6K 2.2K 41
                                    

Saat senja menjadi gulita, Nola masih berupaya meyakinkan diri jika tragedi siang tadi bukanlah akhir dari segalanya. Namun, pemikiran tersebut agaknya melenceng ketika Eyang mengetahui kejadian yang menimpa.

Ekspresi perempuan renta itu terlihat tak terbaca, tetapi, saat mendengar helaan napas beratnya, Nola mengerti Eyang pasti juga tak menyangka.

Begitu Eyang masih belum juga membuka suara, Nola kembali menambah pengakuannya.

"Di posisi itu, sebenarnya aku juga salah, Eyang. Saat Mas Malik bilang mau ngajak aku ke hotel, aku nggak tegas untuk menolak, malah cuma sedikit gertak, terus berakhir nurut mengiakan," jelas Nola dengan manik memburam.

Pada waktu itu, harusnya Nola bisa menghindar, bisa putar balik arah tak mengikuti perjalanan. Namun, mau sebanyak apapun kata pengandaian, semua juga sudah kejadian, jelas salah jika berbalik saling menyalahkan.

Mendengar segala keluh kesah sang cucu yang penuh penyesalan, Eyang mengelus lengan Nola, berusaha menenangkan juga mengatakan bahwa yang terjadi bukan kehendak cucunya.

"Sudah ndak apa-apa, Eyang hanya bisa mendukung penuh keputusan kamu ke depannya. Lagi pula, dengan sikap buruk Malik yang terbuka sekarang, kamu jadi gampang untuk mempertimbangkan. Apakah dia layak dijadikan pendamping di masa depan."

Perkataan lembut Eyang benar-benar di luar perkiraan, Nola kira ia kan mendapat penghakiman karena telah lalai dan tak becus menjaga diri.

Melihat Keterdiaman sang cucu disertai sorot terharu, Eyang tersenyum teduh sekaligus bangga. "Kamu hebat, Nduk. Bisa cepat adaptasi saat memberi pelajaran Malik."

Diingatkan kembali ketika ia menonjok, Nola meringis bersalah melakukannya, sebab, tak hanya pria itu saja yang merasa sakit, buku jarinya juga ikut berdenyut dan membiru.

"Sebenarnya sampai sekarang aku masih nggak nyangka, Eyang. Entah dapat kekuatan dari mana, tiba-tiba aku bisa kepikiran langsung ninju gitu aja. Mungkin karena merasa jijik, aku pilih tonjok bibirnya."

Mendengar penjelasan Nola dengan ekspresi kesal, Eyang mengulum senyum.

"Merasa jijik karena kalian bukan pasangan halal. Tapi, begitu nanti sudah menikah, kamu bakal tarik ucapan," kata Eyang tersenyum geli.

Nola yang digoda lantas memutar bola mata, kemudian membalas perkataan eyangnya. "Perkara itu jelas beda jauh, Eyaang."

Melihat kekesalan wajah sang cucu, Eyang cukup tersenyum tipis.

Mungkin di antara kalian banyak yang bertanya-tanya mengapa Eyang sama sekali tak memperlihatkan sorot murka atas kejadian yang menerpa cucunya. Bagi Eyang, usia Malik lebih dari dewasa pun pemikiran jauh dari kata remaja. Tindakan yang dilakukan anak Chandani jelas tak bermoral serta merugikan si perempuan.

Namun, sebagai orangtua, Eyang hanya punya kapasitas memberi saran dan dukungan, selebihnya sang cucu yang membuat keputusan. Jikalau nanti Malik bertandang, Eyang hanya memiliki dua kemungkinan, menyayangkan tindakan dan menyerahkan masalah tersebut pada yang bersangkutan.

Toh, Malik pasti juga sudah mengerti konsekuensinya, jelas pria itu juga yang menanggungnya. Jika pun ingin bertobat dan berniat memperbaiki diri. Eyang pasti mempersilakan, sebab, begitulah siklus kehidupan. Tidak ada siapapun yang bisa terlewat dari kesalahan.

***

24 jam berlalu usai tragedi itu, Malik sedikit lega permasalahan CCTV dengan mudah terselesaikan. Namun, beban pikiran yang ditanggung belum sepenuhnya terangkat, sebab, ia seakan maju mundur ingin berkunjung ke kediaman Nola.

Di lain sisi, Agam yang sedari awal tak lelah memberi nasihat bahkan sampai ikut menginap, sibuk berkacak pinggang membangunkan Malik dari peraduan.

"Matahari udah terang itu, Pak. Menandakan kehidupan pasti terus berjalan, kalau Bapak terus-terusan meratapi penyesalan, Mbak Nola juga nggak akan langsung main memaafkan."

Let It Flow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang