"Akhirnya Bapak telepon saya. Liburannya nggak jadi seminggu, Pak?"
Malik berdecak, tujuannya menghubungi Agam tentu demi tercapainya misi ke depan. Walaubagaimanapun, ia tak bisa lama-lama tanpa bantuan Agam.
"Datang ke apartemen sekarang!" Rupanya, lelaki itu tak perlu repot berbasa-basi.
"Siap, Pak. Sekarang saya otw!"
Malik tersenyum puas, kendati Agam sering dibuat susah, ternyata asistennya itu selalu mudah diajak kompromi.
Sambil menunggu kedatangan asisten, Malik sibuk menggulir layar ponsel. Ia tampak serius mencari barang di marketplace. Dengan penuh pertimbangan, setelah lama berkutat pada pilihan, Malik menjatuhkan minatnya pada helm bermerek yang pernah bekerja sama dengan Valentino Rossi.
Kemudian, saat Agam datang, ia langsung membawanya ke ruang kerja. Di sana keduanya sedang berdiskusi perihal pendekatan pada Nola.
Agam menampilkan sorot terkejut ketika mendapati fakta jika atasannya memilih memperjuangkan mantan istrinya.
"Bapak yakin?"
Ditanya dengan ekspresi meragukan, Malik menatap datar. "Kamu kira saya lelaki tukang pemain?"
Agam menunduk kikuk. Tentu ia yakin bukan. Namun, rasa khawatir mengenai Chandani menjadi beban pikiran. Bawahan sepertinya, mana mungkin bisa hidup tenang jika mereka tak kunjung damai.
"Saya pasti akan bantu. Masalahnya, ini tentang ibu, Pak," adunya pelan. Sekarang Agam benar-benar stres menghadapi perselisihan.
Diingatkan tentang ibunya, Malik menarik napas kasar. Di dasar hati terdalam, ia sudah tak sanggup menuruti permintaan. Semakin ke sini, sang ibu sering mempermainkan.
"Tentang ibu, itu akan menjadi urusan saya. Mengenai pendapat dan perintahnya nggak perlu kamu dengar."
Agam menelan ludah yang terasa pahit. Jika hanya bicara, kesannya mudah saja. Namun, begitu langsung dihadapkan sosok Chandani nyali dan tenaga terasa diperas olehnya.
"Saya mengerti, tapi Ibu Chandani itu nggak seperti Ibu-ibu lainnya, Pak," sanggah Agam frustrasi, ia tidak bohong, perangai Chandani itu luar biasa mengerikan, jika tak kuat-kuat Agam bisa ikutan mati berdiri.
Melihat betapa tersiksanya pria di depan, Malik mendadak kasihan. Pasti teror dari sang ibu mengganggu ketenangan.
"Besok saya pulang. Saya pastikan ibu nggak akan ganggu kamu."
Jika Malik sudah bertitah, Agam percaya semua akan berakhir secepatnya. Dengan hati penuh lega, Agam mengangguk bahagia.
Perbincangan perihal Chandani kini beralih pada misi pendekatan Malik dan mantan istri. Agam yang sibuk mendengar Malik berbicara, manggut-manggut mengerti.
"Saya setuju dengan teman-teman, Bapak. Sepengalaman saya, perempuan akan ilfil jika lelaki cuma bisa kirim pesan dan telepon nggak jelas," ungkapnya ketika memorinya berputar pada masa kuliah dulu.
"Hal itu hanya akan dilakukan pria muda, Agam. Tidak berlaku bagi saya."
Agam sontak cengengesan. Tak ingin dianggap kurang ajar, secepatnya ia berdehem pelan. "Untuk misi pertama, Bapak sudah mendapat ide?"
Malik terdiam seraya mengetuk meja dengan jemarinya. Ia memandang serius. "Saya sudah memesan helm di toko online. Kemungkinan lusa sudah sampai, menurut kamu bagaimana?"
"Helmnya buat siapa, Pak?" tanya Agam tiba-tiba.
"Ya untuk Nola! Begitu saja pakai tanya!"
Dihardik Malik tanpa aba-aba, pria kurus itu menggaruk tengkuknya. Salahnya tidak dijelaskan secara menyeluruh tentu Agam bingung menilainya.
"Oh ini hadiah ceritanya," sahut Agam mengangguk paham. "Kalau boleh tahu, helm seperti apa yang bapak pesan?"
Bukan tanpa alasan ia bertanya, takutnya Malik membeli helm yang bukan selera seorang wanita.
Tak lama, Agam sudah memperhatikan lekat helm yang dipesan melalui layar ponsel milik sang atasan. Mendadak ia mupeng melihat harga yang terpajang, orang kaya jelas beda jika membeli barang.
"Mahal ya, Pak. Kelihatan cocok kalau dipakai mbak Nola." Agam memberi pendapat.
Mendengar pujian tersebut, senyum bangga terulas di bibir Malik. Itu artinya, seleranya tak begitu buruk.
"Hadiah itu, bapak sendiri yang kasih?" tanya Agam dan membuat Malik mendadak terdiam.
"Itu bisa dipikir besok."
Mendengar jawaban itu, bola mata Agam tampak berputar jengah. Kebiasaan.
***
Langkah eyang tampak tertatih-tatih menuju kamar sang cucu sambil membawa nampan berisi air di baskom dan sehelai handuk. Mulanya, eyang berniat membangunkan Nola untuk shalat subuh. Namun, tak disangka sang cucu justru terserang demam.
Saat ini, usai mengomel meminta Nola menelan bubur dan meminum obat. Eyang akan mencoba mengompres cucunya.
"Eyang istirahat aja, siang juga aku pasti udah sembuh," ucap Nola masih lemas ditambah rasa ngilu di beberapa bagian sendi membuatnya ingin secepatnya memejamkan mata.
Tak juga mengindahkan, eyang justru sibuk memeras handuk kecil sebelum menempelkan kain itu ke kening sang cucu.
"Udah ndak usah sibuk protes. Tidur aja sana!"
Tak ingin melihat eyang murka, Nola bergegas memejamkan mata. Lagian hanya kehujanan sebentar pakai demam segala. Apa semua karena mendekati tanggal kelahirannya?
Hampir seharian eyang mengurus Nola, pukul empat sore rumah mereka ke datangan tamu tak terduga. Kebetulan saat itu eyang yang membuka pintu.
"Sore, Nek. Ini ada barang kiriman atas nama Nola Seraphina."
Dahi keriput eyang terlipat. "Barang apa?"
Mendengar pertanyaan tak terduga, kurir tersenyum kikuk, bingung menjawabnya.
"Jika nenek ingin tahu, ini bisa dibuka."
Eyang masih curiga namun tetap menerima barang berukuran besar.
"Silakan tanda tangan di sini sebagai tanda bukti barang diterima."
Eyang masih terdiam saat disodorkan kertas dan pena. Mata tua itu menatap heran. "Tanda tangan apa? Cap jempol?"
Seketika kurir pusing, ia lupa yang dihadapi nenek-nenek. Daripada semakin lama tertahan, dengan terpaksa kurir sendiri yang mewakili tanda tangan, lalu usai mengucapkan terimakasih ia pergi dari rumah itu.
Di kamar, kepala Nola yang masih berat semakin pusing ketika mendengar informasi dari eyangnya.
Perasaan dia nggak ada pesan barang.
"Sudah besok saja dibukanya. Kamu harus sembuh dulu!"
Mendengar ucapan eyang, Nola lekas kembali memejamkan mata dan menyamankan kepala pada bantal empuknya.
***
Setelah lama hiatus, akhirnya aku bisa update kembali.
Semoga kalian senang membacanya ^^
Oh iya, meski terlambat. Mohon maaf lahir dan batin teman-teman semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Flow [END]
RomanceAdhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia tidak menyangka harus kembali bertemu dengan mantan istrinya. Perempuan itu tampak jauh lebih dewasa...