CHAPTER 14

48.4K 2.9K 50
                                    

Kendaraan Malik melaju di jalan raya disopiri asistennya. Sedari awal keluar dari apartemen, bosnya itu kelihatan tenang tapi malah Agam yang berubah segan untuk sekadar bertanya ataupun membuka percakapan.

Sepuluh menit kemudian, begitu roda mobil berbelok ke arah pelataran rumah dua lantai. Malik melangkah keluar diikuti Agam dari belakang. Rupanya lebih dari seminggu tak pulang, kedatangan mereka malah disambut perdebatan mengejutkan.

"Mama nggak mau tahu, pokoknya Papa harus setuju Malik menikah sekarang!"

"Nggak ada itu pernikahan! Davina sendiri yang harus mempertanggungjawabkan. Berani dia nikah diam-diam. Begitu pula dia nggak boleh kita beri bantuan!"

"Papa tega cucu kita lahir dari status istri kedua?!"

"Ya memang itu kan kenyataannya?!"

"Papa sama Malik sama aja! Nggak ada yang kasian sama Mama!"

Tak lama terdengar bantingan pintu memekakkan telinga.

Malik yang berada di balik dinding memijit hidung yang terasa pengar.

"Pak?"

Suara Agam mengembalikan kesadaran. Pria berkaus polo itu menoleh. "Masuk aja."

Agam mengangguk sambil mengekori bosnya. Dalam hati dia sudah ketar-ketir menghadapi kericuhan yang tak lama lagi muncul di permukaan. Jujur Agam tak bisa membayangkan!

Akibat mendengar langkah kaki, Teja Tranggana yang tadinya sibuk berkacak pinggang menoleh ke arah sumber suara. Ia menatap lekat kehadiran putranya. Anaknya yang satu ini sepertinya juga mulai menunjukkan tingkah protes. Jika Davina diam-diam menikah tanpa izin, Malik justru mulai berani keluar rumah tanpa mengabari atau lebih tepatnya minggat seperti apa yang dilaporkan sang istri.

"Masih ingat rumah?" sindir Teja kemudian duduk di sofa seakan meminta Malik mengikutinya.

Agam yang sedari tadi berdiri mengangguk mengerti ketika Malik memberi kode untuk segera undur diri.

Sekarang tinggal mereka berdua. Malik berdehem kaku waktu Teja tak berhenti memberi tatapan menghunus ke arahnya.

"Mama pasti udah bicara sama Papa."

Teja hanya bersedekap. Dadanya membusung menunggu kalimat yang keluar dari mulut putranya.

"Untuk perjodohan yang berkedok melindungi Davina, aku nggak bisa menuruti semudah itu, Pa." Malik tersenyum kecut. "Semakin lama, aku merasa Mama terlalu banyak ikut campur dan sering mempermainkan perasaan peduliku."

Teja menarik napas, tubuhnya yang semula tegang mulai mengendur. "Maafkan Mamamu. Ibu-ibu memang suka begitu, Papa harap perkara ini nggak akan memengaruhi visi misimu."

Malik terdiam, diinginkan sebegitu dalam oleh orangtua yang paling dihormati ternyata rasanya seperti ini. Ingin berontak tak kuat hati.

"Aku hanya bisa melakukan sebisanya karena Papa tahu aku bukan pintar mengumbar janji manis ke mana-mana," sela Malik tak ingin berucap muluk-muluk.

Teja mengangguk setuju, putranya memang berbeda. Memiliki kepribadian tertutup jelas menyulitkan saat mencari suara sebanyak-banyaknya.

"Papa hanya ingin kamu mencoba. Selebihnya biar Rakyat yang menentukan," jawab Teja tenang dan gamblang. Setenang air dalam danau.

Tak biasanya melihat ayahnya melunak, Malik tak berniat menyela.

"Temui Mamamu, bicarakan permasalahan kalian." Teja kemudian bangkit dari sofa.

Malik mengangguk kemudian ikut berdiri. Perbincangan dengan sang mama tentu tak mudah seperti halnya bersama Teja.

Di balik pintu kamar, Chandani mengusap sudut matanya yang basah. Di depan kaca rias, ia berkali-kali memandang nelangsa wajah kusam tanpa raut seri. Benaknya sendiri sibuk merutuki kelakuan putra dan putri.

Jika sampai bulan depan baik Malik dan Davina tak menunjukkan batang hidungnya, Chandani mungkin harus mempersiapkan liang lahat secepatnya. Lebih baik mati ketimbang mendengar segala caci maki dari orang luaran sana.

Tok! Tok!

"Bu, ada Mas Malik di depan."

Bahu Chandani menegang mendengar ketukan pintu dan informasi dari asisten rumah tangganya. Ini bukan mimpi kan? Ingin membuktikan, secepatnya berlari keluar. Saat pintu terbuka, wajah pekerjanya tampak tak bercanda.

"Kamu yakin itu Malik?"

"Yakin, Bu. Malah tadi udah ngobrol sama Bapak."

Walau merasa aneh karena tumben putranya tak langsung menyusul ke kamar, Chandani tergesa turun ke lantai dasar.

Di bawah sana, tampak Malik duduk di ruang santai bersama asistennya. Chandani mengulas senyum lega, akhirnya.

Kedatangan Chandani dengan penampilan kusut serta wajah sembap menimbulkan perasaan kurang senang di diri Malik. Namun, demi kebaikan, lelaki itu memilih bungkam.

"Betulkan Mama bilang, pada akhirnya kalian pulang," ujar Chandani sesudah mendudukkan bokong ke sofa tunggal.

Agam mengangguk sungkan, ingin diam seperti bosnya rasanya tak sopan.

"Ma, boleh kita bicara sebentar?" Malik terdengar tenang.

Sementara Chandani masih bersikap normal. "Oh, silakan."

"Mulai sekarang, aku memutuskan tinggal di apartemen. Dan aku harap, Mama nggak lagi meneror Agam jika hanya perkara nggak penting."

Chandani melotot, kepalanya langsung terasa berdenyut. "Kamu bilang apa? Kamu yakin ngomong gitu ke Mama?"

Pria itu mengangguk. "Sudahi hal kekanakan, Ma. Baik, aku dan Davina sudah dewasa, aku rasa Mama nggak perlu ikut campur terus tentang hidup kami."

"Nggak boleh ikut campur kamu bilang?!" Perempuan yang berstatus ibu tiga anak itu memandang kecewa sekaligus terluka. "Mama sekolah kan kalian, Mama didik kalian supaya jadi anak benar dan membanggakan. Tapi apa yang Mama dapatkan?! Mama malah dipermalukan. Kalian mencoreng nama baik keluarga setelah susah payah Mama dan Papa membangunnya!"

Malik mendesah perlahan, bukan ini yang ia maksud.

"Bagi kalian mungkin Mama orangtua kolot, senang ikut campur, tukang ngatur. Tapi yang kalian nggak tahu, semua Mama lakukan demi kalian. Kehormatan buat anak cucu kita di masa depan." Chandani berkaca-kaca, dadanya benar-benar berat, sesak sekali melihat putranya berubah seperti ini.

"Mungkin cara Mama yang salah, tapi sekali lagi, Mama seperti ini karena mau hidup kalian itu tenang tanpa sorotan cacian. Sekarang ya boleh saja belum merasakan, tapi begitu anak cucu kalian lahir lalu mendapat perundungan akibat masalalu orangtuanya baru kamu bisa berpikir dan menyesal!"

Selepas itu, Chandani berdiri tak berniat melihat wajah-wajah yang membuatnya sakit hati.

"Pak?" lirih Agam mengeluarkan suara.

Baru kali ini, Ibu Chandani yang terkenal bengis mengungkapkan isi hati. Dan sialnya, semua benar membuat Agam jadi merinding.

Malik membuang napas kasar, perkataan ibunya benar-benar terasa jujur tanpa niatan permainan. Jika sudah begini, apa yang harus dilakukan? Meminta maaf? Bersujud?

"Kamu dengar sendiri kan, Gam? Begitulah Mama, sebagai anak saya sampai pusing terombang-ambing dibuatnya."






***

Jangan lupa tinggalkan jejak teman-teman!

Makasih buat kalian yang udah bertahan dengan ceritaku yang masih banyak kekurangan :( ^^

Let It Flow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang