CHAPTER 5

75K 4.7K 29
                                    

Nola menyapa dua karyawannya yang sedang sibuk bekerja. Setelah acara baksos, ia memang memutuskan mampir ke kedai.

"Habis touring ya, Mbak?" tanya Fany menggoda, terlebih busana bosnya memperlihatkan jaket kulit dan celana jeans melekat seksi di tubuhnya.

"Enggak, tadi baksos sebentar. Gimana kedai, aman?" Nola balik bertanya usai meletakkan ransel ke meja.

Tampak Bagas paling sibuk di depan sementara Fany sesekali membantu membungkus pesanan.

"Alhamdulillah masih ada yang datang. Cuma karena hujan, lebih banyak mampir ke depan."

Perkataan Fany patut dipercaya, sedari datang kedai depan memang kelihatan penuh. Dingin-dingin seperti ini paling enak ya, makan bakso.

"Gih, pesan sana 3 porsi," suruhnya menyerahkan satu lembar uang merah pada Fany.

Sontak, perempuan berseragam pink itu melongo. "Lah?!"

Walau sedikit kebingungan, Fany menurut saja dan meraih uang itu. Kemudian lekas menyeberang jalan menuju warung bakso.

Sambil menunggu pesanan bakso, Nola langsung cuci tangan dan ikut bergabung membantu Bagas. Terlihat wajah senang pemuda itu saat mendapati bos cantiknya ikut berjibaku.

Beberapa saat kemudian, Nola mengucapkan terimakasih sesudah menyerahkan bungkus terakhir pesanan. Begitu tidak ada tanda-tanda pelanggan lagi yang datang. Ia secepatnya meminta kedua karyawan ke belakang.

Ketiganya duduk di satu meja sibuk menikmati hangatnya kuah bakso. Sesekali perbincangan terlontar dengan bertujuan mencairkan kecanggungan.

Selesai menghabiskan semangkuk bakso dan memastikan kedai aman terkendali, pukul lima sore Nola segera bangkit dari kursi. Tak lupa, ia memberi beberapa wejangan pada Bagas dan Fany.

"Meskipun besok libur, nanti malam jangan pada pulang larut. Malah kalau bisa, sebelum jam sembilan malam kedai harus udah tutup."

Fany menyeruput es teh seraya manggut-manggut, dalam hati gadis itu sedikit salut. Baru ini saja menjumpai sebuah usaha yang diliburkan saat hari senin tiba.

Sistem kedai Nona itu buka setiap jam empat sore dan tutup jam sepuluh malam. Mengenai libur, setiap hari senin dan jumat. Alasannya seingat Fany, Nola pernah berkata hari senin sudah terlalu melelahkan selama masa sekolah, sedangkan jumat waktunya istirahat di rumah.

"Aku udah gofood rawon buat kalian, paling lima belas menit lagi segera sampai," kata Nona ketika meraih kunci di meja dan membawa helmnya. "Hati-hati kalian ya, aku duluan."

Jujur, baik Fany dan Bagas hanya bisa mengangguk terharu usai kepulangan bosnya. Dan benar, tak berapa lama tukang antar makanan tiba di depan kedai. Fany dan Bagas menerima bungkus rawon di kotak besar. Demi apa? Yang diorder bosnya rawon yang dijual salah seorang artis dan harganya mahal.

"Baik banget Mbak Nola ya, Gas."

Pemuda lebih muda dari Fany itu mengangguk setuju. Ini bukan pertama kalinya mereka diberi bonus.

***

Kedatangan Nola di rumah bergaya tradisional Jawa bertepatan sang adik tiri tengah bermain sepeda bersama bapaknya. Perempuan itu hanya berdehem ketika ayah tirinya menyapa.

Bukan bermaksud meremehkan, tapi sejak awal ia kesulitan untuk mencoba akrab. Selagi kondisi hatinya bagus, Nola hanya cukup mengangguk.

"Kamu pesan rawon, Nduk?" Sesaat Nola menoleh ke belakang usai melepas mukena. Kebiasaan eyangnya masuk ke kamar tanpa mengetuk dulu. Salahnya juga lupa mengunci pintu.

"Aku lagi kepengen rawon," sahut Nola jujur.

Eyang tersenyum maklum. "Kalau gitu, ayo sekalian makan bareng ibumu."

Wanita itu menggeleng, tangannya masih sibuk melipat sajadah dan mukena.

Tentu melihatnya eyang tersenyum masam. Namun, tak habis cara, perempuan bertubuh renta kembali berkata, "Mumpung ibumu belum pergi ke Mall Tunjungan. Siapa tahu, kamu mau ikut?"

Senyum kecut tersungging di bibir Nola. Masa kecil yang indah untuk adik tirinya, pergi jalan-jalan ke mall pasti karena rengekkan Salma.

"Adikmu katanya suka sama martabaknya. Eyang senang kamu mau memperhatikannya."

"Daripada bocah itu merengek terus, ya aku terpaksa ngalah." Nola menyisir rambut di depan kaca rias. Sang eyang yang duduk di pinggir ranjang menatap cucunya dengan sorot sayang.

"Ndak apa-apa. Mengalah bukan berarti kalah, salah ibumu juga yang ndak mau kunjung sendiri ke kedai."

Jelas mana mau, mamanya paling anti dengan usahanya itu. Sejak lulus kuliah, Gayatri lebih suka melihat Nola berkarir menjadi pegawai kantoran ketimbang penjual jajanan. Awal-awal membangun kedai, juga seringkali mendengar cacian. Yang katanya nanti sepi lah, bangkrut lah dan masih banyak lagi.

"Aku tadi ada mampir ke warung bakso. Eyang makan dulu aja sama mereka. Aku juga masih pengen leyeh-leyeh." (als: rebahan.)

Eyang pun pasrah, jemari keriputnya sesekali memijit betis Nola yang sedang terlentang di tengah ranjang.

"Ya sudah."

Sekeluarnya eyang dari kamar, Nola asyik terbaring dan bermain ponsel. Atau lebih tepatnya menunggu keluarga ibunya pergi ke mall, dengan begitu saat keluar ia tak berpapasan.

Lama menunggu sampai pukul tujuh malam, barulah ia mendengar mesin mobil ibunya mulai bergerak meninggalkan pelataran. Lelah menatap layar dan perutnya mulai mengidamkan nikmatnya kuah rawon, Nola bangkit dari ranjang lalu segera keluar kamar.

Di meja makan, hanya ada Nola sendiri dengan sepiring rawon dan satu toples peyek kacang. Sementara sang eyang seperti biasa sedang menonton sinetron favoritnya.

Saat sedang nikmat-nikmatnya, Nola mengernyit kala suara deru mobil terdengar tiba. Masa ibunya balik pulang? Apa ada yang ketinggalan?  Berusaha abai, Nola lebih memilih menyelesaikan acara makan.

"Nduk... "

Nola terlonjak saking fokus mencuci piring sambil melamun. Terlihat wajah tegang sang eyang. Buat masalah apalagi ibunya itu?

"Kenapa, Eyang? Mama minta uang?"

Eyang menggeleng, tampak jelas sirat khawatir di raut wajah sepuh eyangnya itu.

"Di depan ada si Chandani."

Sontak tubuh Nola membeku. Ya ampun, bagaimana bisa datang orang itu?

***

Suasana ruang tamu yang tak begitu luas terasa begitu tegang. Selain karena kehadiran perempuan berwajah anggun itu, masalahnya ada seseorang yang ikut duduk juga. Pengacara keluarga Pasya katanya.

"Maaf jika kedatangan kami mengagetkan njenengan, Bu."

Eyang mengangguk sopan, saat ini ekspresi perempuan bertubuh renta itu mulai tampak santai berbeda dengan Nola yang terlihat tak nyaman.

Chandani melanjutkan perkataannya, mulai dari menanyai kabar dan sedikit basa-basi seolah temu kangen antar kerabat. Selama sepuluh menit berbincang, sang eyang yang banyak mendominasi jawaban. Nola sendiri memilih bungkam.

Hingga pada pertanyaan satu ini, Nola mulai terprovokasi.

"Kalau belum ada pasangan. Boleh diminta Nola untuk kembali dekat dengan Malik, Bu?"

Benar-benar luar biasa. Sakit sepertinya mantan mertuanya. Tentu Nola tanpa jaim memperlihatkan wajah tak suka.

"Ini maksudnya bagaimana, Nak Chandani?" Eyang sangat terkejut dan tak mengerti, pertama kali datang si Chandani selalu suka membuat detak jantungnya terhenti.

"Malik butuh istri."

Let It Flow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang