Siapa yang mengira Nola berakhir memberi nomor ponsel secara cuma-cuma hanya karena penuturan eyangnya. Berdalih menjalin kerukunan antar kerabat di tambah niat pria tersebut sangatlah baik. Nola mana mungkin mampu mengelak.
"Saru kalau kamu nolak hubungan baik, Nduk. Toh, Malik datang ke sini secara sopan. Kamu juga perempuan... jangan terlalu jual mahal."
Ucapan eyang terus berputar di kepala, sejujurnya sedikit tak terima dikatakan jual mahal. Padahal niatnya hanya nggak ingin kembali membuka buku lama, lembaran yang itu-itu saja.
Lebih membuat sakit kepala, usai kedatangan Malik tiba-tiba. Seminggu ini Eyang terus membahas si pria, bahkan tak segan memujinya.
"Kok ada ya, lelaki loma sekarang. Padahal kalau di berita-berita yang Eyang tonton, lelaki sekarang pada mokodo semua. Eh, Bener to nduk mokodo?"
Nola mendesah jengah, meski begitu tetap menjelaskan. "Mokondo, Eyang."
Eyang mengangguk setuju setelah dibenarkan lafal pengucapan oleh sang cucu. Sesekali jemari keriputnya mengelus bahagia kotak kacamata baru.
"Ini udah jelas Malik bukan lelaki mokondo. Lihat to, belum-belum Eyang sudah dibelikan kacamata," paparnya penuh bahagia, tangannya mengeluarkan kacamata tersebut dari tempatnya lalu berakhir dicoba.
Akhir-akhir ini setelah kedatangan Malik ke mari, memang ada beberapa paket berdatangan. Rupanya barang tersebut dikirim Malik untuk Eyang, dan kacamata yang dibicarakan baru saja datang tadi siang.
Nola tentu senang-senang saja menyaksikan Eyang antusias menerima hadiah dari mantan suaminya. Namun, yang menjadi tanda tanya, sekelebat pikiran buruk mulai menerpa. Bagaimana jika nanti barang tersebut menjadi serangan balik untuknya?
"Eyang seneng banget ya dikirim hadiah sama Mas Malik?" tanya Nola tiba-tiba.
Eyang menoleh. "Ya, seneng to. Apalagi kalau barangnya bermanfaat."
Nola mengulum senyum kecut memang sih semua bermanfaat, sebelumnya Malik telah memberi slipper dan beberapa kaset film. Usut punya usut, Eyang banyak membeberkan perihal kebiasaan menonton sinetron.
Tak ingin melihat raut bahagia sirna dari wajah eyangnya, Nola memilih bungkam sama sekali tak berniat mengutarakan kekhawatirannya. Untuk yang satu ini, mungkin bisa dibuktikan suatu hari nanti, di waktu yang tepat.
"Nduk, Eyang kok ndak pernah dengar kalian teleponan? Malik udah kamu kasih nomor kan?"
Pertanyaan yang mengejutkan, Nola tentu tercengang. Nenek satu ini, rupanya diam-diam menghanyutkan.
Nola berdehem. "Kita bukan remaja lagi Eyang yang tiap malam harus teleponan."
Eyang terkekeh geli. "Eyang cuma pengen tahu motif Malik minta nomormu."
Nola hanya mengangkat bahu cuek, lagipula bukan urusan dia perihal keputusan Malik meminta nomornya.
Hening kemudian, Eyang sibuk mencopot kacamata serta mengelus sukacita. Sementara Nola, mulai bersiap pergi menuju kedai ingin melihat situasi terkini setelah mendengar kabar heboh dari Fany.
Selesai memasukkan dompet kecil beserta ponsel ke ranselnya, Nola beralih mengambil helm di atas meja.
"Nduk, jangan lupa pesanan Eyang ya!"
Diingatkan kembali perkara pesanan, ekspresi Nola sekejap berubah masam.
Melihat cucunya menampilkan raut wajah kurang menyenangkan. Eyang berubah menatap tajam, tidak bisa membiarkan.
"Ndak perlu gengsi-gengsi, kalau Malu pakai nama kamu, diubah aja pengirimnya nama Eyang!"
Nola mendesah pelan lalu menjawab, "Iya, Eyang." Selanjutnya kembali melanjutkan langkah untuk ke luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Flow [END]
RomanceAdhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia tidak menyangka harus kembali bertemu dengan mantan istrinya. Perempuan itu tampak jauh lebih dewasa...