"Mas yakin akan menerima perjodohan yang direncanakan, Mama?" tanya Nesya pada lelaki yang terlihat mulai menua ditandai adanya kerutan di area mata juga beberapa helai rambut yang memutih. Gadis berbusana tertutup itu baru sadar jika sang kakak tak lagi muda.
"Dicoba dulu, siapa tahu pilihan Mama cocok," kata Malik acuh tak acuh kelihatan sekali pria itu tak antusias mengingat satu jam lagi waktunya bertemu dengan calon istri yang digadang-gadang sang ibu.
Mendapati sang kakak tampak tak masalah, Nesya mendesah lelah. "Kalau memang perempuan itu nggak cocok di hati, Mas bisa lho untuk nolak. Sekarang nggak perlu nurutin perkataan Mama, kalau Mas sendiri nggak bahagia."
Nesya ingat saat masa-masa remaja, tak jarang sang ibu selalu meminta Malik untuk sering menjemput dia dan Davina. Akibatnya urusan pribadi Malik sendiri sering terlantar karena selalu mementingkan keluarga. Meski hal itu tak ada salahnya, tetapi tetap saja jika sampai mengorbankan salah satu di antara mereka. Nesya sering merasa bersalah telah menghambat pergerakan kakaknya.
"Udah nggak perlu dipikir. Gimana koas kamu?" Malik memilih mengganti topik agar adiknya tak lagi membahas perihal perjodohan.
"Alhamdulillah, capek sih. Tapi aku seneng, mulai bisa adaptasi sama rekan yang lain."
Malik tersenyum tipis, adik perempuannya yang satu ini selalu menyenangkan hati. Sejak kecil, Nesya jelas paling terlatih akan busana tertutup ditambah perilaku kalem gadis tersebut.
"Belajar yang benar. Jika ada apa-apa, telepon saja."
Nesya mengangguk, walau jarak usia di antara mereka sangatlah jauh. Ia merasa nyaman berbincang daripada pada sang kakak perempuan. Entahlah mungkin keduanya berbeda pemikiran.
"Mas, pernah nggak kepikiran sama Mbak Nola?" tanyanya penuh hati-hati. Jarang-jarang Nesya menyebut nama wanita yang hanya berjarak dua tahun lebih tua darinya.
Dahi Malik berkerut, dia yang semula akan berdiri kembali mengurungkan niat. "Kenapa memangnya dengan Nola?"
Menggigit bibir ragu, Nesya berdehem salah tingkah. "Setahuku, cuma dia tipe perempuan yang Mas suka. Aku yakin dulu alasan kalian bercerai karena tuntutan Mama."
Tidak sepenuhnya benar, Malik terdiam lama. Benaknya kembali berputar saat di mana Chandani gembar-gembor menginginkan Malik segera naik jabatan. Tak peduli kurang istirahat juga sering melewatkan makan siang. Sesungguhnya Malik sama berambisinya ingin naik jenjang. Salahnya saja terlalu gegabah menikahi anak orang.
Berhubung Malik tak kunjung menyanggah, Nesya memberanikan diri mengulang pernyataan.
"Dulu aku kira Mas nikah sama Mbak Nola karena saling cinta, tapi ternyata semua karena kesepakatan antara Tante Gayatri sama Mama."
Hening, diingatkan perihal itu, Malik memandang lekat.
"Menurut kamu, apa pantas kembali memperjuangkan dia?"
Meskipun dikatakan pelan dan bimbang, Nesya langsung terbelalak senang. Benarkan, sedari dulu tipe perempuan kakaknya ya blasteran, yang tinggi semampai.
"Sangat pantas. Lagipula ini kesempatan bagus buat menolak perjodohan itu."
Malik menggeleng serius. "Kamu salah. Sejak awal kesempatan itu sudah nggak ada. Nola nggak akan sudi kembali menikah dengan orang yang sama."
"Maksudnya?" tanya gadis itu tak mengerti.
"Mama sudah lebih dulu meminta Nola kembali... "
"Tapi Mbak Nola menolak," potong Nesya berhasil menebak. Sebagai perempuan jelas ia juga akan memberi jawaban serupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Flow [END]
RomanceAdhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia tidak menyangka harus kembali bertemu dengan mantan istrinya. Perempuan itu tampak jauh lebih dewasa...