CHAPTER 6

71K 4.7K 57
                                    

"Dulu ketika Malik menikah untuk pertama kali, jujur sebagai orangtua saya terlalu gegabah. Meski begitu untuk saat ini, waktu yang tepat bagi kalian untuk bersatu kembali." Tanpa ragu, Chandani mengucapkan kalimat meyakinkan itu.

Namun, eyang bukanlah jenis orangtua main mengiakan. Ada hati yang telah dikorbankan akibat ketidakbecusan, dan sepertinya Nola enggan menerima lamaran. Ah, atau lebih tepatnya tawaran.

Melihat kedua wanita berbeda generasi masih bungkam tak juga mengindahkan. Chandani berdehem kaku.

"Niat baik saya tentu demi kebahagiaan anak-anak, Bu. Tidak ada pemaksaan, kalaupun memang Nola tak lagi mau memberi kesempatan. Selaku ibu dari Malik, saya akan legowo."

Terdengar helaan napas berat sang eyang, ditatapnya Nola dengan sorot penuh kasih. "Kamu benar, Chandani. Keputusan ada ditangan cucuku, tanyakan saja, apa benar Nola mau memberikan Malik kesempatan kedua."

Nola spontan menelan ludah kala tiga pasang mata memandang ke arahnya. Tak terkecuali, sorot meyakinkan mantan mertua yang membuat perutnya mulas.

"Saya bangga sama kamu, Nola. Tujuh tahun ini, kamu luar biasa."

Pujian Chandani tak serta merta melambungkan dada Nola. Wanita yang mengenakan piyama bunga tersenyum canggung jadinya.

"Sebelum kamu memberi keputusan. Maaf, lagi-lagi Malik dan saya lalai. Ini akta cerai milik kamu saya serahkan."

Rupanya benar dugaannya. Akta cerai berada digenggaman keluarga Pasya.

Dengan perasaan lega, Nola menerima akta cerai dari mantan mertuanya. Untuk pertama kalinya, sejak tujuh tahun yang lalu, batin Nola sukacita hanya karena kertas selembar itu.

Mendapati raut sumringah perempuan yang pernah menjadi menantunya, Chandani tersenyum kaku. Apa memang sudah tidak ada lagi kesempatan untuk putranya itu?

Selesai membaca dan meyakini jika akta itu miliknya. Nola lekas menatap Chandani agar perempuan paruh baya itu tak lagi berharap padanya. Sebelum benar-benar menjawab, ia terlebih dahulu berdoa untuk lebih meyakinkan diri jika keputusan yang diambil tak akan berwujud penyesalan di akhir nanti.

"Sejujurnya saya belum ada niatan nikah untuk saat ini. Mengenai Mas Malik, saya udah lebih iklhas dan menganggap beliau hanya bagian dari masalalu. Sekali lagi, mohon maaf, Bu."

Nola sangat lancar mengucapkan keputusan mutlaknya. Dan Chandani sendiri bisa apa jika Nola tak berniat kembali menerima sang putra.

Perempuan yang mengenakan setelan berkelas mengangguk mengerti. Mungkin jodoh Malik bukan di sini. "Baiklah, saya mengerti. Terimakasih kamu telah memaafkan Malik."

Karena penolakan Nola, malam itu juga mobil milik Chandani keluar dari pelataran tepat jam setengah delapan malam. Dari teras depan, Nola dan eyang hanya memperhatikan kepergian mereka dari kejauhan.

"Aku nggak salah kan, Eyang?"

Kini keduanya telah duduk di ruang keluarga dengan Nola yang asyik memandangi akta cerainya.

"Yang menikah itu kamu, yang merasakan hidup berumah tangga juga kamu. Nggak ada yang salah karena penolakan tersebut bertujuan mempertahankan kebahagiaan."

Nola menarik napas kemudian menaruh lembar akta cerai ke meja. Dipeluknya sang eyang dengan rasa gemas. "Semoga aja, setelah ini mereka nggak kirim uang lagi."

Eyang tersenyum geli. "Kedatangan Chandani kemari ya karena perkara transferan uang. Dan kenyataannya yang inisiatif kirim itu Chandani sendiri bukan mantan suamimu."

Seketika Nola melongo, kok bisa-bisanya gitu lho?

"Jadi Mas Malik nggak ngerti perkara uang itu?"

"Palingan iya."

Sambil memeluk manja eyangnya, Nola tak perlu pusing dan memikirkan perkara masalalunya. Terpenting akta cerai telah ada di tangannya.

***

Sedari masuk mobil hingga pertengahan jalan, Chandani menahan rasa kecewa mendalam. Berani-beraninya Nola menolak seorang Malik yang paling ia kasihi. Sebenarnya kurang apalagi putranya itu? Memiliki latar belakang bagus, tentu saja. Karir mentereng, oh jangan ditanya. Penampilan memanjakan mata? Anak Chandani tak ada sejarah cacat fisiknya.

"Mau langsung pulang, Bu?"

Pertanyaan tiba-tiba dari sang sopir menyadarkan kekesalannya. Chandani lantas berdehem tanda setuju, kebiasaannya sedari dulu suka malas ngomong jika hatinya tengah dongkol.

Beberapa waktu kemudian, Chandani tiba di rumah disambut penampilan segar sang putra yang selesai menunaikan kewajibannya. Ah, sholeh sekali putranya.

"Darimana?" tanya Malik saat menemukan suatu kejanggalan dari raut wajah ibunya.

"Ada yang mau Mama obrolin. Selesai ganti baju, kamu ke kamar Mama ya."

Pria yang mengenakan sarung dan baju koko mengiakan perintah sang ibu. Setelahnya Chandani pergi ke lantai atas sambil menunggu putranya itu.

Sepuluh menit berlalu, kedua anak dan ibu sedang duduk bersantai di sofa empuk milik kamar utama. Chandani sedikit gugup kala ingin membuka suara.

"Kamu ada jumpa adikmu?" tanyanya.

Dahi Malik berkerut, baru ketika mengingat Davina, ia pun mengangguk.

Chandani tampak lesu, sorot matanya terlihat sendu.

"Adikmu hamil. Yang lebih menjijikkan, dia menikah siri dengan Pak Wirya tanpa sepengetahuan kita."

Mendengar sang adik kembali berulah, sesaat Malik memijit pelipis. "Mama yakin? Bukannya istri Pak Wirya belum meninggal?"

Chandani mendengkus geram. "Davina dijadikan istri kedua."

Malik pusing seketika, yang benar saja Davina melakukan hal itu tanpa memikirkan konsekuensinya.

"Rasanya sakit sekali hati Mama. Jika sampai Papa tahu, bagaimana nasib Davina. Mama juga khawatir kabar itu terendus media, pasti berakibat fatal rencana pencalonan kamu di pilkada."

Chandani tak sungkan meneteskan air mata. Tak hanya itu, rasa sakit akibat penolakan Nola juga menambah itu semua.

"Selama ini Papa kalian nggak pernah sekalipun meminta banyak. Jangan sampai karena masalah Davina, permintaan Papa hancur semua." Sambil mengusap pipinya yang basah, ditatap memohon putranya itu. "Kamu mau bantu Mama kan, Le?"

Lelaki itu terdiam lama tak langsung menjawab permintaan ibunya.

"Hanya kamu yang bisa menyelesaikan. Kali ini saja Mama minta tolong sama kamu."

Walau sebagian hatinya merasa kurang senang karena lagi-lagi menjadi tumbal. Malik menatap datar. "Kali ini, aku harus ngapain lagi?"

Sedetik kemudian, Chandani tersenyum lebar. Putranya memang mudah diandalkan.

"Tahun ini kamu harus nikah. Awalnya Mama masih ingin menyatukan kamu sama Nola, tapi berhubung anak itu menolak. Mama masih punya kandidat lain, namanya Dewi Syatra Sasikirana anak bungsu teman Mama. Bagaimana?"

Mendengar nama mantan istrinya disebut sang ibu, dada Malik terasa berat. Belum-belum, ia sudah tertolak.

Let It Flow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang