Melihat Malik tak kunjung bersuara sejak ia membicarakan pernikahan. Nola tersenyum kaku sambil mengusap kedua lengannya yang terbuka dengan gerakan canggung.
"Sejujurnya, aku ngomong gini antara yakin dan nggak yakin, Mas. Selama ini mungkin Mas belum terlalu paham mengenai latar belakangku," lontarnya menghela napas lesu kemudian melanjutkan perkataannya itu. "Sejak kecil, aku jarang banget menghabiskan waktu bersama orangtuaku, di mana Mama sibuk kerja sedangkan Papa kandungku balik ke negaranya."
Malik setia mendengarkan tanpa sedikit pun menjeda pembicaraan.
"Dari bayi aku di rawat Eyang, masa kecilku kurang menyenangkan, pendidikan juga bukan di sekolah Internasional," tambah Nola terkekeh sedih jika mengingat masa kecilnya.
"Sampai sekarang aku kurang mahir bahasa Inggris juga bahasa asal tempat tinggal papaku. Aku rasa, Mas harus mikir-mikir dulu kalau mau nikah sama aku."
Mendengar hal itu, Malik menarik napas. Tanpa diberitahu, sebetulnya ia mengerti alasan perempuan itu. Lingkungan tempat tinggal dan minimnya dukungan orangtua jelas memengaruhi pengetahuan Nola. Dan tentunya Malik tidak mempermasalahkan itu semua.
"Bukan masalah besar. Saya maunya, kamu, bukan yang lain-lain."
Meskipun Malik menjawab penuh kesungguhan. Nola balas tersenyum tertahan, ia tetap akan membeberkan kebobrokan.
"Bagi mas sendiri mungkin nggak masalah. Tapi aku yakin dari sisi keluarga nggak akan mudah menerima," sanggahnya, lalu lanjut bersuara. "Mas ingat saat pernikahan kita dulu mengenai wali nikah bukan papaku?"
"Ya."
Seingat Malik, dulu ayah Nola hanya menyaksikan pernikahan mereka melalui video call.
"Setelah bercerai, papaku keluar dari Islam, dia memutuskan balik keyakinan."
Untuk masalah tersebut, Malik mengangguk paham.
Setelahnya Nola menghela napas panjang, setiap membicarakan masalalu orangtuanya, jiwanya seakan tersedot ke lubang hitam. Kecewa dan membuatnya muak bersamaan.
"Sejak awal, mama terlalu memaksakan diri. Padahal nikah beda agama, beda negara, beda budaya itu nggak mudah dan perlu pengorbanan besar. Dan, pada akhirnya aku sendiri yang menjadi korban, sementara mereka gampang melanjutkan kehidupan," lirih Nola sirat kepedihan.
Sejenak Malik kembali menggenggam tangan milik si perempuan, berusaha menguatkan. "Semua sudah terjadi. Saya bangga, kamu bisa bertahan sejauh ini."
Mendengarnya, perempuan itu hanya tersenyum tipis sambil menarik perlahan tangannya yang digenggam oleh Malik hanya untuk menyerka sudut matanya yang mulai basah.
"Terlalu menyakitkan jika semua diceritakan. Tapi, aku bahagia ada Eyang yang ikhlas merawatku," jelas Nola bersyukur.
Malik mengangguk setuju, lalu perhatiannya beralih pada jam yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
"Mengenai pernikahan," kata Malik pelan. "Kamu yakin?"
Nola menghembuskan napas pelan. Dalam diam, batinnya tengah berperang. Saat usianya semakin bertambah, ia sadar telah menemukan lelaki yang sungguh-sungguh mengajak hubungan ke arah sakral, itu jelas niatan paling menguntungkan. Selain terhindar dari zina, ia juga tidak mungkin terus merepotkan eyangnya.
Namun, untuk melanjutkan ke tahap pernikahan. Nola jelas tidak bisa memutuskan sembarangan, tentu ia nggak ingin mengikuti jejak orangtuanya yang telah dulu gagal.
Adanya Malik saat ini, Nola merasa pria tersebut seolah sosok pribadi baru, bukan seorang di masa tujuh tahun yang lalu. Manusia tentunya terus berproses dan bertumbuh seiring berjalannya waktu. Baik dari segi pemikiran serta cara memandang sisi kehidupan. Singkatnya pasti ada peningkatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Flow [END]
RomanceAdhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia tidak menyangka harus kembali bertemu dengan mantan istrinya. Perempuan itu tampak jauh lebih dewasa...