"Kalau Mas nggak minat buat makan, jangan dimainkan!" tegur Nola menyaksikan Malik lebih banyak mengaduk-ngaduk es krimnya.
Sedetik kemudian, pria itu mendorong cup es krim ke tengah meja.
"Saya kira masih bisa diterima di lidah, ternyata terlalu manis."
"Tahu gitu mending buat aku. Mubazir jadinya, kan," keluh Nola menyayangkan.
Malik meringis melihat tampilan es krim yang sudah tak berbentuk dan mencair.
Nola yang lagi-lagi kembali mendapati tingkah menyebalkan mantan suami, berdecak sebal sekali lagi, bagaimana mungkin ia sukarela menerima ajakan kencan. Andaikan, cewek lain, mereka pasti malas di ajak jalan.
Sesaat terjadi kebungkaman dan Nola masih mencoba menghabiskan sisa es krim. Tangan Malik tampak bergerak merogoh saku jaket yang entah sudah menjadi kebiasaan, barang yang diambil merupakan sebuah mancis dan sebungkus rokok.
Nola sendiri mencoba menutup mulut begitu pria tersebut asyik menyulut ujung batang rokok menggunakan mancis.
Namun, karena sudah merasa tak tahan, Nola kembali membuka percakapan.
"Mas, nggak bisa ya jaim dikit? Aku itu paling nggak bisa kena asap rokok," gerutunya usai menghabiskan dua cup es krim.
Selanjutnya, Nola bergerak pindah agar asap rokok tersebut tak langsung mengenai dirinya.
Meski Nola telah mengeluarkan keluhan, ternyata Malik juga tak kunjung berupaya mematikan. Pria tersebut masih diam dengan raut wajah datar.
"Mulut saya pahit, bisa hisap satu batang aja, sudah cukup."
Nola mendengus, bilang saja sudah kecanduan. Mencoba abai dan memilih melihat jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul 11 siang, sepertinya agenda selanjutnya tetap harus dilaksanakan.
"Sana Mas yang bayar! Aku pengen makan siang."
Malik mengangguk patuh kemudian membuang puntung rokok yang tinggal sedikit ke dalam asbak. Setelahnya bangkit berdiri lalu melangkah menuju kasir.
Di parkiran, Nola telah bersiap mengenakan sarung tangan dan helm. Tak lama, Malik keluar menghampiri, ekspresi wajahnya tampak masam.
"Kenapa saya ditinggal?"
Nola menatap santai. "Yang penting kan aku masih di parkiran, bukan aku tinggal pulang!"
Malik mendesah seraya memakai helm. "Mau makan apa?"
"Udah ikut aja," sahut perempuan itu bersiap di atas motor.
Dalam waktu singkat, motor mereka kembali melaju ke jalan raya. Sepanjang berkendara, benak Nola sibuk berkelana, masih ada sisa setengah hari. Kira-kira sanggupkah dia menghadapi tingkah menjengkelkan mantan suami?
Andaikata belum berjanji, mungkin ia lebih memilih putar balik. Salahnya juga main mengiakan rencana kencan, padahal usia Malik tak lagi cocok dibawa jalan-jalan ala anak muda. Untung saja, pria tersebut banyak duitnya, setidaknya Nola tidak rugi-rugi amat mengajaknya.
Empat puluh menit kemudian, motor Nola berhenti di depan warung makan tenda legendaris. Terkenal akan menu rawon dan lauk pelengkap.
"Yakin di sini? Nggak mau di restoran langganan saya?" tanya Malik tampak keberatan.
"Pokoknya masuk aja, sampai di dalam pasti Mas juga kalap," kata Nola berjalan mendahului.
Dari belakang, Malik pasrah mengikuti.
Setelah mencari tempat duduk di pojokan, Nola meminta Malik duduk menunggu, sementara ia yang akan memesan.
Usai memesan serta memilih lauk pelengkap, perkedel dan telor asin, Nola kembali duduk di kursi di samping Malik. Menunggu pesanan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Flow [END]
RomanceAdhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia tidak menyangka harus kembali bertemu dengan mantan istrinya. Perempuan itu tampak jauh lebih dewasa...