CHAPTER 11

63K 3.5K 12
                                    

Keesokan harinya

Nola terbangun dari tidurnya yang tak lelap, bayang-bayang Malik menghantuinya di alam mimpi. Yang anehnya kali ini, di mimpinya Malik terlihat menatap penuh kasih akan sorot rasa bersalah.

Benarkah pria itu merasa bersalah?

Namun, segala rasa gundah lekas ia musnahkan agar tak semakin larut. Sekarang bukan saatnya tenggelam dalam masalalu. Ada masa saat ini yang perlu di pikirkan, salah satunya menghubungi supplier yang menyediakan bahan-bahan di kedai.

Nola memilih segera bangkit dari ranjang lalu meraih handuk yang tergantung di belakang pintu. Beberapa saat kemudian, tepat pukul tujuh pagi, ia sudah keluar kamar dengan penampilan rapi dan segar.

"Sarapan dulu!" Eyang berucap sambil menaruh satu mangkuk sayur asem ke meja makan.

Nola melongok sejenak ke arah menu sarapan pagi ini, sesaat mendapati hanya ada ayam goreng dan sayur asem, lidahnya langsung terasa pahit.

Bukan bermaksud kurang ajar, ia hanyalah tak selera makan. Atau lebih tepatnya, kepalanya masih kepikiran bayang-bayang Malik.

"Aku langsung berangkat aja, nggak enak sama Fany dan Bagas nanti kelamaan nunggu aku."

Eyang mengangguk tanpa protes, ia sudah biasa melihat cucunya sering melewatkan sarapan.

***

Sementara di kedai, baik Fany dan Bagas yang baru saja datang dan belum sempat membuka serta membereskan meja, sudah terlebih dahulu kedatangan tamu istimewa.

Mengapa dikatakan istimewa? Tamu yang datang bukan sosok biasa, Fany tentu langsung mengenal wajah tak asing pria tersebut yang sering muncul di portal media.

Tak ingin dicap pekerja lalai, secepatnya perempuan berambut kucir kuda itu menyambut ramah tamunya.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu, Bapak?"

Tatapan penasaran lelaki itu yang berulang kali menelusuri setiap sudut kedai lantas beralih pada sosok Fany.

"Jam berapa kedai buka?"

Fany berdehem ragu. "Kedai biasa buka setiap jam empat sore, Pak."

Meskipun bingung mengingat dua karyawan tersebut pagi-pagi sudah berjaga sedangkan wanita itu menjawab kedai buka jam empat sore, ia mengangguk mengiyakan saja. Selepasnya pria yang mengendarai motor besar segera berpamitan.

Sepeninggal pria tersebut, Bagas menepuk bahu rekannya.

Fany tersentak dari lamunan.

"Mbak, kenal pria itu?" tanya Bagas ikut ingin tahu ditambah aroma parfum tamu tersebut belum juga hilang walau pemiliknya tak lagi tinggal.

Fany mendesah pelan, ia seperti mimpi bisa berdekatan dengan sosok terkenal.

Masih juga melihat rekannya bengong, Bagas berdecak. "Mbak?!"

Terkejut akibat suara Bagas, perempuan itu melotot. "Ngagetin aja," gerutu Fany sebal.

"Lagian malah diem. Emang siapa sih?" Bagas berjalan mengekori Fany yang sudah masuk kedai terlebih dahulu.

"Anaknya menteri. Masa gitu aja nggak tau."

Bagas menggeleng tak paham. Ah, palingan pejabat.

Ketika keduanya sibuk mengecek bahan-bahan baku yang mana saja telah habis, suara motor Nola terdengar berhenti di parkiran.

Hari ini, pakaian Nola terlihat lebih santai dengan celana kulot hitam dipadukan kaos berwarna senada berlengan panjang.

Nola langsung duduk di kursi begitu sampai. Bagas pertama kali menyadari tersenyum lebar.

"Pagi, Mbak!"

Nola menjawab hanya dengan kekehan kecil.

"Tepung sama toping deh yang paling tinggal sedikit." Fany lantas berbalik, sesaat senyumnya mengembang mendapati bosnya telah duduk manis di dalam kedai. "Eh, ibu bos sudah datang."

Ketiganya lantas duduk satu meja. Pembicaraan perihal bahan-bahan tentu berlanjut dan berakhir Nola menelepon pihak suppliernya.

"Barang-barang di antar jam sepuluh, uangnya juga udah aku transfer. Kalian tinggal tunggu aja kedatangan mereka."

Bagas dan Fany manggut-manggut mendengar penjelasan Nola. Tak lama, begitu tentang tamu istimewa teringat di kepala. Fany tanpa ragu langsung melaporkan pada bosnya.

"Kamu yakin dia cuma tanya itu?" Nola tentu tak mudah menyembunyikan rasa gelisah.

Fany sekali lagi mengangguk. "Memangnya kenapa, Mbak?"

"Oh, nggak apa-apa. Aneh aja."

Dalam diam, Nola berusaha berpikir tenang. Padahal akta cerai sudah di tangan pria itu, lalu apalagi yang diinginkan?

"Tapi ya, Mbak. Pak Malik kalau dilihat dari jarak dekat rupanya auranya jantan banget, badannya juga bagus pelukable."

Mendengar betapa kagumnya Fany pada sosok pria tadi, Bagas menoyor pelan bahu rekannya itu. "Astagfirullah! Jaim dikit jadi cewek."

Fany berganti menempeleng lengan Bagas. "Sopan dikit sama yang lebih tua."

Melihat keduanya malah adu mulut, kepala Nola semakin pening. Dipikir-pikir, cepat juga pria itu tahu alamat kedainya. Astaga! Bagaimana bisa?!

***

Sepanjang jalan menuju rumah Rian, Malik fokus menyetir dan sibuk mencari cara untuk kembali bisa berdekatan dengan Nola.

Walau pagi ini sudah mendatangi area kedai, Malik tak puas jika hanya sekadar menyambang. Apa ia diskusikan saja pada Rian dan Lesmana? Kedua temannya pasti mengerti perihal trik mendekati lawan jenis modelan Nola.

Setibanya motor Malik di pelataran rumah Rian rupanya bertepatan kedatangan mobil Lesmana.

Setelahnya terdengar siulan menggoda ketika Lesmana turun dan menutup pintu mobilnya. Malik sendiri cukup menggeleng tak ambil pusing.

Ternyata godaan Lesmana tak berhenti begitu saja, ketika Rian ikut bergabung duduk di ruang keluarga. Lesmana masih melancarkan aksinya.

"Dilihat dari ekspresi Malik, yakin seratus persen, dia belum ketemu langsung sama Nola."

Rian terkekeh. "Kalau ketemu, mana mungkin dia pulang ke sini."

Merasa bukan waktunya terus bercanda, Malik berdehem serius menatap Rian dan Lesmana. Sehubung pribadi Malik tertutup dan tak pandai basa-basi. Ia ceritakan singkat segala keluh kesah pada mereka.

"Sebelum kita-kita kasih solusi. Beneran yakin nih sama Nola? Nggak main-main atau sekadar bikin patah hati anak orang?" tanya Rian sungguh-sungguh, kali ini Lesmana juga ikut mengangguk tak lagi memperlihatkan seringai menggoda.

Malik menjawab tegas. "Bukan masanya lagi aku bermain api."

Melihat tekad dan ekspresi Malik. Rian tersenyum tipis sedangkan Lesmana ikut senang, memang sudah waktunya Malik membina rumah tangga. Kasihan juga jika terus-terusan diperalat oleh ibunya.

"Ya, kalau udah yakin, deketin Nola secara baik dan sopan. Berhubung sekarang mantan istrimu lagi seneng motoran, ikuti aja kebiasaan." Lesmana begitu cerdas memberi solusi. Jangan ragukan temannya yang satu ini, banyak pengalaman masalalu sudah dilakukan ketika menaklukkan calon istri.

"Ngalir aja, Lik. Lakuin semampumu, tunjukkin sama dunia, kalau lelaki kayak kamu layak buat dia."

Mendengar saran dari teman-temannya, Malik merenung lama. Ada benarnya, kebiasaan Nola saat ini sebetulnya menguntungkan juga. Jika dia berani keluar zona nyaman, bukankah banyak cara bisa dilakukan?

***

Let It Flow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang