CHAPTER 16

50.9K 3.1K 42
                                    

Nola menatap lama ke arah Malik, menyaksikan sosok yang sangat berani menebalkan muka datang ke sini. Setelah kemarin mengirim hadiah, sekarang justru pemiliknya yang tiba sendiri.

"Mas, nggak lagi ngrencanain sesuatu kan?" tanyanya penuh selidik.

Senyum teduh pria itu seketika luntur. Agaknya, pemikiran menaklukkan perempuan itu bukanlah mudah, belum-belum, ia sudah tertuduh.

"Maaf menyela, Kami nggak ada maksud buruk kok, Mbak," sangkal Agam, membela bosnya.

Nola termangu, giliran hal buruk selalu terpatri di otaknya itu. Merasa sungkan, manik matanya berpendar. "Ah, sorry aku nggak bermaksud."

Malik mengangguk tenang. "Nggak masalah, citra saya sedari awal sudah buruk, saya paham."

Perempuan itu merengut masam. Sulit sekali rasanya untuk kelihatan berdamai.

Mengenyahkan segala kerumitan, Nola berdehem kecil. "Kalau gitu diminum kopinya, Mas."

Kedua lelaki berbeda perawakan langsung mengambil cangkir yang uapnya mengepul. Agam yang kurang menyukai kopi pekat, sedikit terpaksa menyeruput. Jangan sampai hanya karena kopi, nasib bosnya di ujung tanduk.

Menit demi menit berlalu, telinga Nola menangkap suara eyang. Pamit sebentar ke belakang, ia melenggang meninggalkan Malik dan Agam.

Yang tersisa sekarang, Malik terdengar menarik napas lalu menghembuskan dengan keras. Tak berbeda jauh, Agam juga sibuk menyandarkan punggung ke sofa, bahunya terasa tegang karena kecanggungan melanda.

Sama-sama dilema, Malik masih tak percaya harus mengalami peristiwa janggal saat ini, ingin segera menyudahi sama saja kalah sebelum perang terjadi.

"Pak, mungkin Mbak Nola malu kalau ada saya," celetuk Agam mengalihkan suasana sunyi.

Malik melempar pandangan tak mengerti. Seakan paham, asistennya kembali berucap pelan, khawatir suaranya terdengar sampai ke dalam.

"Saya pulang duluan pakai taksi. Nanti kalau nggak ada saya, mana tahu Mbak Nola leluasa berbicara sama Bapak."

Terdengar masuk akal, kenapa Malik sampai tidak kepikiran?

Melihat ekspresi bosnya mulai tertarik, Agam menyunggingkan senyum jemawa, secepatnya ia berdiri, mumpung sang tuan rumah masih sibuk sendiri.

"Saya doakan, hati Mbak Nola terbuka lebar, dan Bapak mampu melaluinya. Semangat ya, Pak." Usai menyemangati, tanpa banyak waktu, Agam melenggang keluar tanpa menunggu jawaban mengiakan dari bosnya.

Kini ruang tamu tersebut hanya menyisakan Malik seorang. Setelah ditinggal Agam, dadanya justru didera perasaan mengembang. Sudah waktunya melewati zona nyaman.

Tak selang lama, Nola keluar sambil membawa nampan berisi sepiring pisang goreng dan bolu ketan. Raut wajahnya terheran-heran menyaksikan Malik sendirian. Baru ditinggal sebentar, tamunya malah berkurang.

Mengerti arah pandangan si perempuan, Malik berdehem pelan. "Asisten saya pulang duluan, ada beberapa pekerjaan yang harus dia lakukan."

Nola mengangguk tanpa jawaban tangannya sibuk mengangsurkan piring berisi kudapan ke atas meja bersisian dengan dua cangkir kopi yang isinya masih tersisa.

Selagi mantan istrinya sibuk menata piring, dari jarak sedekat ini harum tubuh Nola menginterupsi indra penciumannya. Entah kenapa, Malik merasa inilah suasana rumah yang sebenarnya. Hangat dan nyaman rasanya.

"Dicicipi pisangnya, Mas."

Suara Nola menghentikan lamunan. Bulu mata Malik tampak mengerjap. Dengan gerakan kaku, kepalanya mengangguk.

Let It Flow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang