CHAPTER 7

69.8K 3.8K 15
                                    

Teja Tranggana Pasya tak pernah sekalipun mendapati raut wajah keruh sang putra. Kini ketika pencapaian Malik telah di atas rata-rata, hingga mampu maju mencalonkan diri di pilkada. Teja benar-benar bangga.

Sejak usia kanak-kanak, putranya mulai memperlihatkan bakat minat terutama dalam hal segi sikap. Tak ada lagi hal yang membahagiakan selain memiliki putra yang amat penurut dan pintar.

Namun, segala jerih payahnya nampaknya mulai memudar. Beranjak dewasa putra-putrinya mulai berani membangkang tak terkecuali sulit diatur dan suka berbuat onar. Pengecualian untuk putra sulungnya yang jarang sekali melanggar.

"Di mana Davina?" Teja menanyakan yang ketiga kalinya. Lebih dari setengah jam, putri pertamanya tak kunjung datang.

Chandani yang dicecar, mulai mengeluarkan keringat dingin. Berusaha tenang, wanita itu tersenyum canggung. "Papa seperti nggak tahu Davina, anak itu pasti sedang liburan seperti biasa. Lagipula Papa mendadak sekali mengumpulkan kita semua."

Teja Tranggana menatap datar, salahnya juga yang tak cepat memberi arahan. Meski ketiadaan salah satu putrinya, Teja senang Malik dan Nesya menuruti keinginan.

Kini suasana ruang keluarga mulai mencair saat Malik mengatakan kesiapannya perihal pernikahan.

Mendengar ucapan sang putra, Chandani mengerling bahagia. Tak sia-sia bujukannya.

Berbeda dengan sang istri yang menampakan senyum, Teja Tranggana terlihat biasa saja.

"Apa kamu yakin? Yang pasti Papa nggak akan membiarkan kamu bercerai untuk kedua kalinya. Cukup tujuh tahun yang lalu, kamu dan ibumu membuat Papa malu."

Chandani tersenyum kecut, sedikit tak terima selalu disalahkan perkara kegagalan rumah tangga putranya.

"Pencalonan kamu di pilkada tinggal beberapa bulan. Saat ini, kamu nggak perlu memikirkan perempuan, fokus saja meraih simpati rakyat dengan program-program terbaik yang dicanangkan," lanjutnya tak ingin dibantah.

Mengetahui rencananya akan gagal, Chandani berdehem pelan, sebisa mungkin ia meyakinkan. "Bukankah dengan Malik memiliki istri akan lebih mudah meraih simpati rakyat?"

Sontak Teja Tranggana memandang tajam istrinya, berani sekali menyanggah perintahnya. "Tahu apa kamu tentang rakyat? Laki-laki akan kesulitan fokus jika sedang jatuh cinta. Papa nggak akan membiarkan Malik gagal di pilkada."

"Dengan Mas Malik belum juga menikah bukan berarti nggak akan gagal, Pa. Gagal pasti ada di setiap usaha, tapi dengan Mas Malik bahagia, setidaknya dia cukup waras saat mengambil keputusan ketika kekalahan menimpanya."

Nesya Pandhita Pasya, putri bungsu mereka ikut bersuara.

Akibatnya, Teja Tranggana termenung lama. Dia lupa menanyakan pada putra-putrinya. Apa mereka bahagia saat menuruti perintahnya?

"Mas Malik bisa dikatakan sudah sangat matang untuk merasakan kehidupan rumah tangga. 36 tahun ini, Masku udah terlalu banyak menuruti kalian. Semua demi apa? Ya demi kebahagiaan kalian," tambah Nesya dengan suara bergetar.

Selama ini dari tiga bersaudara, Malik seorang yang menjadi tumbal orangtuanya. Sang kakak Davina begitu mudah berfoya-foya tanpa memikirkan harkat martabat ke depannya. Sementara dirinya, hanya anak bungsu yang tak memiliki kepintaran lebih dari mereka.

Nesya sendiri tak pernah bisa mewujudkan impian Chandani dan Teja. Gadis berusia 23 tahun itu juga selalu sulit menjadi bintang seperti Malik dan Davina.

Setelah sekian menit kedua orangtuanya tak juga mencela, Nesya memberanikan diri kembali berbicara.

"Sekali-kali ditanya, apa Mas Malik pernah bahagia."

Merasa Nesya terlalu jauh berkata, Chandani menyenggol lengan putrinya. Khawatir sang suami bertambah murka mengingat permasalahan Davina juga belum terdengar telinga. Namun, dasarnya gadis berhijab itu tak ragu membela, ia kekeh meraih hak kakaknya.

"Apa menurut kalian, kami sebagai orangtua terlalu abai? Apa selama ini keinginan Papa memberatkan kalian?" Pada akhirnya Teja membuka suara. Batinnya tersentil akan kenyataan yang diucapkan putri bungsunya.

Malik yang menjadi bahan perbincangan, menarik napas bersalah. Sebagai saudara tertua, ia justru memberi contoh buruk pada adik-adiknya.

Padahal niatnya hanya ingin sang adik dengan mudah menggapai cita-cita. Seperti halnya Davina yang lebih suka dunia entertainment ketimbang sekolah. Sama juga halnya Nesya yang meskipun tak memiliki kemampuan banyak, ia ingin membuktikan diri jika layak dalam bidang kesehatan.

Lalu sebuah kesepakatan terucap jika Malik yang akan mengikuti jejak sang papa. Semata-mata agar Davina dan Nesya senang menjalani hidupnya.

"Sudah-sudah, Papa nggak salah. Anak-anak juga nggak salah. Sepemikiran Mama, beri kesempatan Malik untuk membuktikan diri jika kedekatan dengan wanita sama sekali nggak akan mengganggu kinerja."

Untuk poin ini, sebagai seorang istri dan ibu. Chandani sangat mampu meredam kegelisahan Teja. Tak hanya itu, rencana pernikahan tentu juga harus terlaksana. Semua demi keutuhan nama baik keluarga.

Lama berpikir, Teja Tranggana tampak mengangguk ringan. Putranya lebih dari layak untuk bahagia, sambil menatap sayang anak-anaknya, Teja berkata penuh percaya.

"Mama kalian benar. Untuk Malik, usahakan hati-hati saat mencari calon istri," Inginnya yang baik-baik pastinya, selanjutnya ditatap haru Nesya. "Sebagai orangtua, Papa dan Mama selalu belajar demi kalian. Terimakasih Nesya, sudah ingatkan."

***

Di lain sisi, Nola Seraphina tak henti-hentinya berseru lega ketika sang mama beserta keluarga tak lagi menginap di rumah eyangnya.

"Kamu itu kayak ndak mencerminkan seorang anak. Kok malah kelihatan senang, tinggal sendiri sama eyang."

Diprotes seperti itu, Nola sama sekali tak marah. Ia lebih memilih sibuk mencuci motor dengan khidmat.

Melihat sang cucu tak kunjung menjawab, eyang yang duduk di kursi teras menghela napas. Walau mulutnya terkadang cerewet, eyang paham apa penyebab Nola lebih suka tinggal dengannya ketimbang bersama Gayatri atau bapak kandungnya.

Saat mengingat mantan suami Gayatri, perempuan berkulit keriput itu memendam rasa kecewa. Anggapannya tentang londo tak pernah meleset dari pikirannya.

Andaikan Nola tahu kebenarannya, apa sekarang cucunya itu masih juga membenci ibunya?

"Eyang mikir apa?" tanya Nola seraya menggulung selang air yang digunakan untuk mencuci motor.

Tersadar kembali, eyang mengibaskan tangan. "Mikirin kamu, kapan kasih Eyang cicit."

Mendengar itu, Nola hanya berdecak.

****

Let It Flow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang