Dua hari dua malam menghabiskan waktu terindah di penginapan, Malik dan Nola memutuskan pulang ke rumah milik sang eyang. Selain, Gayatri dan Hasta akan kembali bertolak ke Semarang, jadwal Malik masih sangatlah panjang.
Rencana, masa kampanye perdana akan dilakukan di sebuah pabrik tempe di Malang. Usai berkoordinasi dengan tim sukses, Malik setuju akan pergi bersama Saldi Rudya, pasangan di pilkada.
Meski akhir-akhir ini ada sedikit perselisihan mengingat Malik sulit sekali untuk terbuka, namun, Agam mampu meluruskannya. Setidaknya sebagai calon pasangan jangan sampai ada gencatan di antara mereka berdua.
Tepat pukul sebelas siang mobil Malik tiba di pelataran. Sementara di teras tampak Eyang tengah menunggu kedatangan.
Nola mengulas senyum lembut sesampainya di hadapan eyang. Di belakang, tampak Malik dan Agam masih sibuk mengeluarkan beberapa oleh-oleh dari mobil yang nantinya akan dibawa Gayatri dan Hasta.
"Sehat, Nduk?" tanya Eyang setelah punggung tangannya dikecup.
"Alhamdulillah sehat. Harusnya aku yang tanya, Eyang gimana? Udah enakan, udah nggak pusing lagi?"
Perempuan renta itu terkekeh, bagaimana mungkin pusing jika kebahagiaan terus bertubi-tubi menyerta. Terutama melihat Nola sudah menjadi istri bagi seorang pria. Setidaknya, Eyang tidak khawatir ke depannya karena Nola sudah ada yang menjaga.
"Eyang ndak apa-apa. Ya sudah, ayo masuk, ibumu sudah masak banyak."
Nola mengangguk, dituntunnya perempuan bertubuh ringkih itu ke dalam. Sementara Malik masih di luar tengah bercakap-cakap serius pada Agam sebelum berakhir memutuskan masuk ke rumah.
Beberapa saat kemudian, ruang makan rumah Eyang terdengar ramai. Salma memekik ceria usai menerima hadiah dari kakaknya. Bocah perempuan itu tak berhenti berterimakasih pada Malik dan Nola.
"Belajar yang pintar. Kapan-kapan Mbak yang gantian ke Semarang," ucap Nola terdengar santai.
Gayatri yang mendengar perkataan Nola tentu merasa senang bukan kepalang. Ini untuk pertama kalinya sejak menikah dengan Hasta, Nola sudi menginjakkan kaki ke rumah.
"Pintu rumah akan selalu terbuka buat kamu, Nola. Tapi, untuk saat ini Mama lebih senang kalau kamu fokus dulu dampingi Malik di pilkada," sela Gayatri sedikit terbata, sama sekali tidak menghalangi niat baik putrinya.
Hasta mengangguk setuju, Malik sendiri cukup tersenyum tipis. Kalaupun nanti masa kampanye terlalu menyita waktunya, sebisa mungkin Malik usahakan untuk tak menyulitkan istrinya.
"Ya sudah kalau gitu, kita makan dulu. Nola sama Malik pasti paham yang mana kewajibannya," tanggap Eyang mencairkan suasana.
***
Nola melambaikan tangan usai mobil sang mama bergerak meninggalkan pelataran. Setelah makan siang, Gayatri dan Hasta benar-benar memutuskan untuk pulang. Dalam sekejap, rumah yang tadinya berisik dan ramai, sepi seketika. Tidak ada lagi suara gelak tawa Salma ataupun omelan ibunya.
"Sedih?"
Bulu mata Nola tampak berkedip, lekas ia menoleh. Ditatapnya Malik yang tersenyum lembut.
"Sedikit."
Malik mengangguk, sorot matanya terlihat menerawang. "Kurang lebih dua bulan kamu mungkin baru bisa ke Semarang."
Sesaat kinerja otak Nola berhenti. Itu artinya selama dua bulan ia akan sering bepergian. Memikirkan itu, rasa khawatir pun mendera. Lalu bagaimana dengan eyangnya?
Malik yang paham akan kegelisahan istrinya, langsung menggenggam jemari Nola. "Kita bicarakan di dalam. Kita cari solusinya."
Mau tidak mau, Nola menurut ketika digandeng Malik masuk ke rumah. Otaknya terasa penuh, sampai-sampai ia baru sadar bokongnya sudah menyentuh empuknya ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Flow [END]
RomanceAdhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia tidak menyangka harus kembali bertemu dengan mantan istrinya. Perempuan itu tampak jauh lebih dewasa...