"Na, menurutku sebaiknya—" Kala membuka pintu mobil dan menemukan Naina yang masih tertidur di salah satu kursi penumpang. Perempuan itu tertidur dengan sheet mask yang masih terpasang di wajahnya. Ia kelelahan dan menyempatkan waktunya untuk tertidur setelah jadwal syuting yang panjang sejak beberapa hari yang lalu. Kala kembali membuka pintu dan melihat Pak Jefri, laki-laki berusia lima puluh tahunan yang merupakan supir yang juga bagian dari tim yang mengurus Naina. "Pak, kita langsung pulang ke rumah Naina saja deh."
Bukan apartment Naina yang Kala maksudkan. Yang ia tuju ialah kediaman tempat Sean dan Naina tinggal. Sekarang masih pukul sepuluh pagi. Perjalanan menuju kota tempat mereka tinggal harus ditempuh sekitar enam jam perjalanan darat. Setelah menghabiskan hampir seminggu di salah satu pantai di barat pulau jawa, tim akhirnya kembali pulang karena syuting sudah selesai. Mereka akan menunggu jadwal syuting lain yang akan diinfokan.
Naina bergerak menyadari Kala yang menutup pintu mobil tempat ia terlelap. Masih setengah mengantuk, Naina mencoba menyadarkan dirinya untuk berbicara dengan Kala. "Hari ini aku akan bertemu Mama."
Kala menoleh mendengar cicitan Naina yang masih menutup matanya. Rupanya, Naina sudah tersadar kembali. Mobil mereka perlahan menyusuri jalan yang hanya untuk dua mobil. Satu ke arah selatan dan satunya ke arah utara. Meski hanya ada dua jalan saja, tempat ini tidak terlalu macet jika dilalui saat weekday. Jangan pernah tanya soal keadaan di weekend, akan dipastikan jika melewati jalan ini tidak akan semudah yang dibayangkan.
"Mama yang mana?"
"Mama Sean, aku kan sudah membatalkan janji makan bersama Mama karena jadwalku selalu padat."
Kala menghela nafasnya berat. "Kamu yang memintaku mengisi semua jadwalmu, Naina Morgan."
"Benar sekali, tapi Mama jadi curiga karena khawatir aku terlalu lelah bekerja." Timpalnya. Perempuan itu masih tetap menutup matanya seakan ia tengah bermimpi. "Mama menganggap aku dan Sean berencana untuk punya anak."
"Kamu membohongi Mama mertuamu?"
"Bukan aku, Sean yang memulai kebohongan itu. Dia balas dendam karena aku memancing soal hari ulang tahunku." Naina membuka matanya dan memandangi bibir pantai yang terlihat dari mobilnya. Jalan ini jadi lebih menarik karena sepanjang jalan akan disuguhi dengan indahnya laut lepas. "Intinya, semua drama ini karena Sean yang memulainya. Dia memaksaku untuk terus berlakon padahal ia tidak membayarkan apa-apa."
"Tapi dia memberikanmu salah satu kartu debitnya." Protes Kala.
"Oh, aku melupakan soal itu." Katanya. "Tapi aku harus meminta upah yang layak karena pekerjaanku tidak semudah yang ia bayangkan."
Sejenak, keheningan menyelimuti ketiganya. Pak Jefri jarang menyahuti mereka dan biasa memilih diam ketika menyetir. Sesekali Kala akan mengajaknya bicara menghindari Pak Jefri yang mengantuk. Sementara, Naina biasanya memilih menghabiskan waktu di perjalanan dengan tertidur. Pasalnya, jika ia sampai di rumah, Naina harus segera bersiap untuk makan malam bersama Vania. Ia tidak punya waktu istirahat kecuali di malam hari.
"Btw, Pak Harun kemarin sempat tanya soal jadwal kosong. Kelihatannya Pak Harun akan mengirimkan naskah baru." Mata Naina berbinar mendengar kabar baik dari Kala.
Harun Hadiwinata bukanlah nama yang tak asing untuk Naina. Perempuan itu pernah bekerja sama dengan Harun Hadiwinata di dalam proyek drama romansa-aksi yang di sutradarai oleh beliau empat tahun yang lalu. Laki-laki berusia lima puluh tahun itu memasangkan Naina dengan Abian Dawson—seorang aktor senior dengan kategori Aktor Kelas A. Proyek itu sukses besar sampai Naina mendapatkan penghargaan sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik. Melalui kerja keras semua tim yang dikepalai Harun, Naina berhasil menerima penghargaan atas kerja kerasnya di usia 24 tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye, Mr. Parker
ChickLitJodoh itu bukan dicari, tetapi dijebak. Dan Naina memilih menjebak Sean Parker untuk menjadi jodohnya.