"Sa, Sa, Sa!" Jill memanggil Kassa beberapa kali. "Sean tidur di ruang tamu."
Kassa dapat melihatnya dengan jelas. Saat ini, Sean—kakak mereka sedang tertidur di ruang tamu dengan vodka kesukaannya. Jelas Sean saat ini tertidur karena ia mabuk. Jill tak heran melihat kelakuan Sean. Ia selalu ingat jika ruang tamu dan teras lantai dua adalah tempat kesukaannya. Pasalnya, Sean kerap kali ditemukan disana entah sedang menikmati kopi, bekerja, atau menikmati malam bersama Adel—mantannya. "Kebiasaan banget deh, selalu minumnya di sini." protes Kassa.
"Memangnya saat kamu tinggal disini, Sean selalu minum di ruang tamu?" Kassa menimpali.
"Tentu saja, untungnya dia tidak merepotkan kalau sedang mabuk." Jill dan Kassa berjalan pelan-pelan sembari menggotong Naina yang sama mabuknya. Kakak iparnya itu sudah tak sadarkan diri dan sejak tadi hanya meracau tak jelas. "Kamar Naina dimana, ya?"
"Bekas kamarmu." Mendengar jawaban Kassa, Jill menghela nafasnya kasar. "Berarti kita harus angkat ke atas juga, dong?" Jill mengeluh kemudian.
Ia tak suka jika harus mengangkat Naina hingga ke lantai dua. Walaupun sudah dibantu Kassa, rasanya tetap berat harus mengangkat Naina yang tak sepenuhnya sadar. Ia harus mencari cara lain agar Naina bisa masuk ke kamar tanpa naik ke lantai dua. "Kita taruh Naina di kamar Sean aja, Sa. Sean kan tidur di sini, kamarnya otomatis kosong, kan?"
"Sean!" Naina terjatuh ke lantai begitu saja. Ia menangis di lantai dan keduanya hanya membiarkannya saja. Mereka juga kelelahan mengangkat Naina dari luar hingga ke dalam rumah.
"Aku baru tahu kalau dia berisik sekali kalau sedang patah hati." Kassa tertawa mendengar Jill yang terus berkomentar tanpa diminta. "Padahal Naina yang paling diam kalau sedang mabuk."
"Sedang sadar pun tidak ada bedanya." mereka mengamati Naina yang perlahan bangun dan berjalan menuju sofa.
"Makanya, aku bingung melihat Naina yang berisik seperti ini." ia berkomentar lagi.
"Seberisik apapun Naina, kamu tetap yang paling menyebalkan, Jill." Kakaknya itu mendadak membungkan mulutnya. "Kamu harus ingat kalau kamu sering menelepon banyak orang kalau mabuk, sering kali mengirimkan drunk text juga, lalu menangis tak jelas. Oh, jangan lupa kamu pernah mabuk dan melemparkan permen karet bekas ke rambutku. Benar-benar saudara tidak tahu diri. Kalau aku bisa memilih, aku tidak akan pernah berminat menjadi saudaramu sejak di dalam kandungan Mama."
"Berhenti mengomentari aku, Kassa." Jill melemparkan tatapan amarahnya ke arah Kassa yang ada di sebelahnya. "Aku tetap saja kakakmu."
"Ya, memang semua kakak tidak ada bedanya. Baik kamu maupun Sean, sama saja bodohnya."
"Laki-laki bajingan!" Naina memarahi Sean yang tertidur di sofa. Perempuan itu duduk di lantai tepat di hadapan Sean yang berbaring. Ia memukul sofa yang Sean tiduri. Diguncang-guncang berkali-kali pun Sean tidak bangun. Ia sudah tenggelam dengan mimpi indahnya. "Kamu bikin aku sedih, Sean..."
"Dia menangis lagi." Kassa berjongkok mengamati Naina yang masih menangis tanpa air mata. Ia seperti orang yang putus asa. Naina menunjukkan sisi yang lain dari dirinya. Biasanya, perempuan itu hanya akan diam saja ketika mabuk. Akan tetapi, sekarang ia terlihat seperti anak kecil yang tantrum. "Naina bisa membangunkan semua orang yang sudah tidur."
"Kapan kita akan membawanya ke kamar Sean?"
"Kenapa kita harus membawanya ke kamar? Biarkan saja pasangan itu tertidur di sofa ini."
Mulut Jill terbuka lebar, matanya ikut melotot mendengar ide kreatif Kassa barusan. Ia tertawa penuh kemenangan sembari memberikan Kassa tepuk tangan apresiasi. "Aku sangat suka idemu!"
Jill dan Kassa mendekati Naina yang kini sudah lebih tenang. Keduanya mengambil ancang-ancang mengangkat tubuh Naina. Jill bersiap mengangkat tubuh bagian atas, sementara Kassa mendapat tugas mengangkat tubuh bagian bawah.
"Jill, angkat." Kassa memberi aba-aba. "Kalau bisa, kita angkat tanpa membangunkan Sean."
"Satu, dua,..." Jill berhitung dan tepat di angka tiga, keduanya mengangkat Naina memepetkannya ke Sean. "...tiga!"
Adanya gerakan di sofa itu, membangunkan Sean yang sejak tadi tidur dengan tenang. Sean menyadari kehadiran Naina yang ikut berbaring di sofa miliknya. Laki-laki itu tersenyum sebelum ia menarik Naina untuk memeluknya erat-erat. Jill menatap Kassa yang tersenyum geli di tempatnya.
Kelopak mata Sean tertutup, tetapi tangannya tak berhenti mengelus rambut Naina yang tertidur di sebelahnya. Tingkah Sean yang begini seakan menunjukkan jika tak ada apa-apa diantara keduanya. Mereka berdua memancing Jill dan Kassa yang kini saling memandang.
"Bukankah kemarin mereka baru saja bertengkar?"
"Kudengar juga begitu." Ucap Jill kemudian. "Apa mereka sekarang sedang beradu akting di hadapan kita?"
"Entahlah, aku jadi ragu kalau mereka berdua bertengkar." ujar Kassa sebelum ia meninggalkan ruang tamu itu bersama Jill.
****
"Tuh kan! Kamu yang peluk-peluk aku!" ujar Naina memaksa. "Bukan aku yang manfaatkan situasi, kan?"
"Okey, aku akui kalau aku memeluk kamu, tapi aku juga mabuk dan tidak menyadari itu." Sean menutup semua tabs hingga layar desktop laptop Sean dapat dilihatnya. Ia menangkap sesuatu yang menarik.
Sean masih menggunakan wallpaper desktop kolase foto Sean dan Adel. Laptop yang sering ia gunakan itu, rupanya saksi bisu seberapa besar Sean mencintai Adel. Naina cepat-cepat membuang pandangannya.
Sudah pasti Naina cemburu melihat Sean dan Adel, tetapi ia tidak berhak mengatur apa yang Sean suka atau tidak.
Sejujurnya, Naina ingin melepaskan Sean. Ia tidak menginginkan selamanya menyukai laki-laki yang jelas tidak menyukai Naina.
Tapi, rasanya sungguh sulit.
"Ada yang datang," Naina sontak menoleh melihat Sean yang berjalan cepat-cepat ke jendela rumahnya. Ia ingin mengintip siapa yang datang sepagi ini. Buru-buru Sean mendekati Naina lagi, wajahnya panik mengetahui siapa yang datang.
"Mama datang."
Naina melotot. "Mama?!"
Suara langkah kaki beberapa orang mendadak membuat Naina panik. Dari dalam rumah, tiga orang ART mereka berlarian menuju dapur. "Kamu cepetan naik, aku harus membereskan semua ini."
"Na?" Suara Mama terdengar dari dalam rumah. "Sean?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye, Mr. Parker
Chick-LitJodoh itu bukan dicari, tetapi dijebak. Dan Naina memilih menjebak Sean Parker untuk menjadi jodohnya.