"Gus?"
Hanna cepat² melipat asal kertas yang tadi telah dibuka, lalu menaruh disaku jubahnya. Setelah itu, Hanna yang tadi membelakangi Gus Habsyi, kini beralih arah menghadap Beliau, dengan badan sedikit membungkuk khasnya santri ketika berhadapan dengan guru, pandangan lurus kebawah, dan sapu yang masih erat dalam genggamannya.
"Ada apa?"
Ucap Gus Habsyi dengan suara yang begitu lembut, namun tak mampu mencairkan suasana yang menurut Hanna mencekam saat ini. Dia benar² grogi.
"Ngaa..pun..tenn.. dalem dipun utus bunyai, bersih² ten kamaripun panjenengan" ( Ma'af, Saya disuruh bunyai, membersihkan Kamar Anda )
"Ooh, belum selesai?"
"Tasek dereng gus" ( Masih belum gus )
"Oh, yawes, selesaikan dulu, nanti kalo selesai bilang ke saya ya, saya di gazebo"
"Inggih Gus"
Setelah mengucapkan itu, Gus Habsyi berlalu meninggalkan kamarnya. Hanna langsung menghembuskan nafasnya naik turun, sembari mengelus dadanya lega.
"Duh Gusti, untungnya Gus Habsyi nggak menyadari, ngapunten Gus, saya lancang buka surat panjenengan"
Hanna bergumam, lalu cepat cepat menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai, Hanna bergegas menghampiri Gus Habsyi digazebo. Beliau terlihat menyandar didinding gazebo, dan sibuk dengan gawainya.
"Nuwun sewu"
"Iya, ada apa", jawab Gus Habsyi dengan kedua mata yang masih fokus dengan gawainya.
"Ngapunten, kamaripun panjenengan, sampun rampung" ( Ma'af, Kamar Anda sudah selesai )
Setelah mendengar penuturan Hanna, Gus Habsyi menoleh, melihat siapa yang berbicara disampingnya.
"Ohh, iya.. terima kasih ya"
"Inggih sami sami"
Gus Habsyi turun dari gazebo, lalu berlalu menuju kamar. Hanna yang dari tadi hanya menunduk, kini menoleh melihat punggung Gus Habsyi yang meninggalkannya.
"Seandainya.. ah sudahlah" Hanna bergumam sendiri memerhatikan Gus Habsyi.
*
*Setelah isyak Di pojok loteng terlihat Hanna sedang berdiri dibelakang pagar, dengan siku yang berada diatas besi pagar, dan tangan yang memegang Al-Qur'an. Dia Muroja'ah sambil memandangi langit yang terlihat gelap tak berbintang.
"Dorrrr!!!!"
Tiba² saja Laila mengejutkannya dari belakang, dan sontak membuat Hanna terperanjat, hingga Al-Qur'an yang berada ditangannya terjatuh kelantai bawah.
"Allahu Akbar, astaghfirullah!! Laila, Al Qur'anku jatuh, loh.." pekik Hanna
"Loh, Han.. eh.. ma'aaaaf, tunggu dulu ya, tak ambilke"
"Ehh, gausah gapopo, aku aja seng ngambil Lel"
"Ora Han, aku kan seng marai Al-Qur'anmu jatuh"
Mereka terus berdebat seraya berlomba lomba untuk mengambil Al-Qur'an yang jatuh dilantai bawah itu. Ketika mereka sudah dilantai bawah tiba² langkah mereka terhenti melihat siapa yang saat ini tengah berdiri disana, terlihat Gus Habsyi tengah memerhatikan Al-Qur'an milik Hanna yang tadi terjatuh.
"Hopp, hop Hann.. Al-Qur'an samean ditangan Gus Habsyi kayaknya", ucap Laila sembari menyipitkan kedua matanya.
"Duh, mampus aku.. iso di dukani Gus iki" ( Mampus, bisa dimarahi Gus ini )
"Tenang tenang, mari kita hampiri saja, jangan panik!!"
Laila yang berusaha tenang lalu menggenggam tangan Hanna, dan menariknya menuju tempat Gus Habsyi berdiri.
"Nuwun sewu"
"Hah, iya.. ma'af.. ini Al-Qur'annya siapa yah"
"Ngapunten, Al-Qur'an dalem gus"
"Kok bisa jatuh?"
"Inggih, kolo wau.. dalem kesenggol pas lagi Muroja'ah teng loteng"
"Ooh, iya ini Al-Qur'annya, lain kali dijaga ya, ojo sampe jatuh lagi, kasihan Al-Qur'annya"
"Inggih Gus, matur nuwun"
Setelah memberikan Al-Qur'annya ke Hanna, Gus Habsyi hendak beranjak pergi, namun sebelum itu, Gus Habsyi terlihat sedikit melirik ke arah Laila yang dari tadi hanya diam, lalu benar² pergi meninggalkan 2 santrinya itu.
"Eh, Han.. Gus Habsyi loh, tutur katanya lembut banget sama kamu, kok bisa gitu yah.. apa jangan jangan?"
"Opo ae, nggak"
"Emang samean tau, aku mau ngomong apa?"
"Wes hapal, mesti dipoyoki karo Gus Habsyi" ( Sudah Hafal, pasti dicomblangin sama Gus Habsyi )
"Buktinya, Al-Qur'anmu jatuh loh Han, tapi Beliau nggak nduko sama sekali"
"Emang samean pernah liat Gus Habsyi nduko, enggak kan? Emang selalu lembut"
"Ekhem, ekhem .. cieee.. kamu aja kalee, yang selalu diperlakukan lembut Han"
Goda Laila. Memang, Laila sering menjadi mak jomblang antara Hanna dan Gus Habsyi, bahkan Laila sendiri tak sadar, bahwa dirinyalah yang disukai Gus Habsyi.
( Tapi Gus Habsyi, demene karo kowe Lel, duduk karo aku!! )
Batin Hanna, seraya mengalihkan pandangannya kelangit, berusaha menahan air mata yang sudah menganak sungai.
"Han???"
"Eh,. iya Lel, yuk ndang ke kamar, kayak e mau turun hujan".
Sesampainya dikamar, keduanya mengambil posisi rebahan, bermaksud untuk tidur. Setelah agak lama mengobrol ngalor ngidul, Laila memutuskan tidur duluan. Hanna yang masih tak memiliki kantuk sama sekali, masih memandangi langit² kamar, sembari memikirkan isi surat Gus Habsyi tadi siang.
( Ya Allah, kenapa harus Laila? Dia sahabatku.. tak mungkin jika aku akan cemburu dg sahabatku sendiri )
Kemudian Hanna menoleh, menatap wajah ayu Laila yang saat ini tertidur pulas disampingnya.
( Hemmh, tapi siapa juga yang tak akan tertarik dg Laila, dia cantik, baik, cerdas, aktif, berpretasi. Sedang aku? Siapa aku? Hanya khoddam, yang sangat jarang mengaji, demi mengabdi. Siapa aku?, sosok yatim-piatu, yang berasal dari keturunan rendahan. Tak mungkin kan, seseorang menyukaiku? Dengan segala kekuranganku? )
Hanna memejamkan kedua matanya, dan tangan kanannya meremas dadanya, berusaha menyadarkan dirinya sendiri, dia benar² sakit, tapi dia juga tak berhak untuk itu, Gus Habsyi bukan siapa-siapanya kan? Iya.. memang cinta tak pernah salah, tapi dia salah, karna telah mencintai Gusnya sendiri.
Terjemahan:
Nduko = Marah
Rampung = Selesai
KAMU SEDANG MEMBACA
TANDA CINTA BUNYAI
Short StoryKisah ini menceritakan tentang kisah seorang santri bernama Hanna yang mengagumi Gusnya. Namun apalah daya, kekaguman, bahkan rasa cintanya terpaksa harus dibuang jauh jauh ketika tahu jika ternyata Gusnya diam diam menyukai Sahabat karib Hanna sen...