Tak membiarkanmu sakit

2.1K 95 0
                                    

Didalam mobil Alphard berwarna silver, Hanna dan Gus Zein kali ini berada, mereka berada diperjalanan menuju Pondok Induk AlFath Salafiy yang berjarak 1 Km dari ndalem. Tidak ada yang berbicara, sangat hening. Hingga kemudian Hanna memulai pembicaraan asal.

"Emmm.. Gus"

"Hmm?"

"Tangannya pun mboten sakit kah?"

Gus Zein pun menunjukkan tangan yang terkena percikan minyak tadi. Kemudian Hanna memegang tangan Beliau dan memperhatikannya.

"Aduh, sakit"

Gus Zein mengaduh ketika jari manis Hanna tak sengaja menyentuh tangan Gus Zein yang terluka.

"Masih sakit nggeh gus? Emmm.. Dikasih apa ya, ben nggak sakit lagi.."

"Gausah dikasih apa apa, nanti juga sembuh"

"Ya wes kulo tiup tiup mawon nggeh, ben mboten kraos panas"

Gus Zein diam saja ketika Hanna terus saja meniup tangan beliau. Sebenarnya sudah tidak terasa sakit, hanya bahagia saja ketika melihat Hanna begitu perhatian.

Hingga beberapa menit, Hanna terus saja meniupnya, hingga kemudian Gus Zein merasa tidak tega terus terusan melihat istrinya seperti itu.

"Kayaknya udah gak terasa panas"

"Saestu Gus?"

"Iya, udah jangan ditiup lagi.. Makasih ya"

Hanna hanya tersenyum menanggapi suaminya itu.

Ketika telah sampai dihalaman pondok induk, para santri putra berdiri menunduk menyambut Gusnya datang.

Gus Zein berjalan santai diikuti Hanna disampingnya menuju ndalem kedua yang lebih besar dari ndalem dipondok Alfath Qur'aniy.

"Niki toh ndaleme"

Ucap Hanna sembari memandangi interior rumah yang terkesan modern, dan mewah itu.

"Gak pernah diajak kesini sama umik?"

"Dereng gus"

"Kok bisa?"

"Kulo mboten pernah diajak kemana mana, kale bunyai, soalnya sibuk banget dipondok"

"Ooh.. "

Mereka masuk keruang tengah kemudian duduk disofa panjang didepan tv.

"Kamu tunggu disini dulu ya, aku ambil makan didapur"

Hanna menganggukan kepala, lalu kembali memandangi interior rumah itu. Benar benar mewah.

Tak lama kemudian, Gus Zein kembali dengan membawa nampan berisi nasi lengkap dengan berbagai lauk.

"Emmm.. Gus, niki siapa yang masak"

"Santri"

Hanna hanya mengangguk dengan penjelasan singkat Gus Zein.

"Gus?"

"Hmm"

"Rumah ini sinten seng menempati"

"Nggak ada"

"Loh gus, pamali kan rumah dikosongkan"

"Ada pengurus yang jaga"

"Emmm.. Gus, katanya punya urusan kale pengurus?"

"Nggak jadi"

"Kenapa?"

"Nggapapa"

( Kok cuek banget toh suamiku ini? )

"Kok nggak dimakan?"

Tanya Gus Zein dingin.

Akhirnya Hanna pun memakan nasi berlaukan oseng oseng, tempe goreng, sambal, dan ikan pindang kesukaan Gus Zein.
Mereka berdua makan Tanpa ada yang berbicara. Hingga selesai.

"Gus, rencananya teng griyo niki mau ditempati siapa?"

"Aku"

Hanna bingung hendak bicara apa lagi dengan manusia super dingin itu.

"Gus?"

"Hmm? "

"Nama njenengan sinten?"

Gus Zein mengernyitkan dahi, heran dengan pertanyaannya kali ini.

"Kamu belum tau? Umik gak ngasih tau kah?"

"Mboten Gus"

"Hmm.. Muhammad Zein Alawiy Al Habsyi"

Hanna mendelik sembari menutup mulutnya, merasa kagum dengan nama Gus Zein.

"Gus!! .. Njenengan pengarang kitab Risalatul Jami'a toh?"

Gus Zein tak kalah terkejut dengan dugaan Hanna. Gus Zein kemudian tertawa lepas didepan Hanna yang melongo, melihat Gus Zein ngakak untuk pertama kalinya.

"Kok ngakak toh Gus?"

"Habisnya kamu ini aneh, mana mungkin pengarang kitab Risalatul Jami'ah se-Muda ini"

"Loh, nama pengarangnya persis nama njenengan loh Gus"

"Itu bukan nama pengarangnya, tapi mbahnya sang pengarang.. Nama Beliau Al Habib Ahmad bin Zain bin Alawiy Al Habsyi, namaku hanya tabarukkan"

"Ohh, ngoten nggeh gus"

Gus Zein tak menjawab, Beliau bangkit dari duduknya.

"Teng pundi gus"

"Ambil air, dikulkas..  Mau ikut?"

"Hehe.. Mboten"

Satu menit kemudian, Gus Zein kembali dengan membawa dua botol kecil berisi air mineral. Yang satu di taruh dihadapan Hanna, dan yang satu lagi diminumnya sendiri.

"Kok nggak diminum?"

Tanpa menjawab Hanna langsung meminum airnya hingga tandas.

"Gus?"

"Hmm?"

"Kulo kok ndak pernah ketemu njenengan gus, kan njenengan kakaknya Gus Habsyi toh?"

"Soalnya aku dari kecil mondok"

"Tapi Gus Habsyi? Kan mondok juga"

"Dia mondoknya cuma 9 tahun"

"Njenengan Gus?"

"20 tahun"

"Brrti sekarang njenengan umur berapa Gus?"

"32 tahun"

Hanna menganga mendengar pernyataan Gus Zein.

"32 tahun gus?"

"Iya, itu pun aku nggak mungkin nikah kalo nggak ketemu kamu saat itu"

"Maksudnya Gus?"

Gus Zein diam. Dia tak menjawab pertanyaan Hanna, bahkan mengalihkan pembicaraan.

"Emmm.. Kamu gak bawa baju kesini?"

"Mboten Gus"

"Mau beli baju?"

"Mboten gus, kulo mundut teng pondok mawon"

"Yawes"

Gus Zein bangkit dari duduknya hendak keluar. Mengetahui Hanna masih duduk disofa, Gus Zein langsung menoleh.

"Ayok"

"Teng pundi gus?"

"Astaughfirulloh.. Ambil baju dipondok Hanna"

Hanna langsung berdiri sambil cengengesan.

( Duhh,.. Mulai kapan toh, otakku lemmot banget.. Malu maluin aja )

Hanna merasa dirinya sangat bodoh karna selalu membuat  Gus Zein berkata dua kali agar dirinya Faham.

TANDA CINTA BUNYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang