Ma'afkan, sayang

2.2K 86 0
                                    

( Ya Allah, terlalu posesif kah diri ini )

Beberapa menit melamun Gus Zein tersadar, Hanna menghilang dari hadapannya.

"Hanna!!"

Gus Zein bergegas mencari Hanna di setiap sudut rumah, namun tidak ada tanda tanda seorang Hanna disana. Kemudian Gus Zein menanyakan Keberadaan Hanna pada salah satu santri putri, berharap Hanna ada disana. Tapi nihil.

"Dimana kamu Hanna?"

Gus Zein bergegas mencari Hanna kerumah bibinya, karna Beliau tahu, Hanna tak punya siapa siapa lagi kecuali bibinya.

"Assalamualaikum"

"Wa'alaikumussalam, lho njenengan toh gus?"

"Inggih bude, ajenge tanglet, menawi wonten Hanna teng mriki?"

"Loh, Hanna terakhir kali kesini, pas ambil baju 1 bulan yang lalu, setelah itu wes ndak pernah"

"Lalu kemana dia?"

"Ada masalah toh, sama Hanna?"

"Sedikit, tadi dia keluar entah kemana"

"Biasane nek lagi ada masalah, Hanna ke makam orang tuanya"

"Dimana?".

*
*
Daun daun berguguran, pohon pohon tinggi menambah kesan keramat di pemakaman tempat Hanna berada saat ini. Dia berada disamping Batu nisan bertuliskan Ummu Kulsum yang telah berlumut, karna sekian lama tertancap disitu.

"Ummi.. Aku kira, aku akan mendapat kebahagiaan setelah menikah..
Tapi ternyata, kisah cintaku begitu rumit ummi..
Dimana kebahagiaan yang orang orang katakan, dimana kebahagiaan yang sering orang orang sebut setelah menikah..
Aku masih saja seperti tak punya siapa siapa, tak ada orang yang mengerti diriku seperti ummi..
Kenapa ummi harus pergi duluan.. Bahkan sebelum Hanna mengkhatamkan Al Qur'an..
Aku pengen curhat ummi"

Hanna memeluk batu nisan ibunya yang tertancap belasan tahun yang lalu. Dia menangis sejadi jadinya, dengan kening yang disandarkan ke ujung nisan.

"Ma'afkan Hanna ummi, Hanna belum jadi perempuan kuat dan hebat seperti yang ummi minta, Hanna juga belum jadi penghafal Al Qur'an yang seutuhnya ummi.. Ma'afff"

Dari jarak beberapa meter, Gus Zein berdiri melihat posisi Hanna yang terlihat acak acakan saat ini, Beliau mendengar semua ucapannya.

"Ya Allah.. Ma'afkan Hamba.. Hamba pernah berjanji untuk menjadi alasan Hanna berbahagia.. Tapi Hamba malah menjadi alasan Hanna tersakiti.. Hamba belum bisa menjaga Hanna sepenuhnya Ya Allah..
Kenapa cinta ini menguasai emosi Hamba Ya Rabb"

Gus Zein menghampiri Hanna, memegang pundaknya pelan.

"Hanna, mari pulang"

Hanna menoleh kearah Gus Zein berdiri.

"Untuk apa? Bukankah keberadaanku juga tak pernah membuatmu merasa dicintai? sekalipun aku telah berusaha menunjukkan cinta pada njenengan?"

"Ma'aff Hanna.. Ma'afkan aku"

Hanna tak menjawab, dia hanya terisak memandangi makam ibunya.

"Saya masih ingin berada disini gus"

"Baiklah, aku akan menunggumu sampai kamu mau kembali"

"Aku masih lama"

"Aku akan tetap menunggu"

Suara halilintar tiba tiba menyambar, langit yang dari tadi sudah menggelap, sepertinya hendak menjatuhkan bebannya.

"Gus, pulanglah.. Hujan akan turun"

"Aku takkan pulang jika tak bersamamu"

"Gus, kumohon pulanglah!!"

"Tidak Hanna"

Suara Halilintar kembali menggetarkan alam, dan saat ini, rintik air mulai berjatuhan.

"Gus, cepatlah pulang.. Tinggalkan aku disini!!"

"Tidak Hanna, aku bilang tidak"

Hanna mengingat kejadian tempo hari, dimana Gus Zein kehujanan dan membuat beliau Sakit parah gara gara hal itu.

Mau tidak mau, akhirnya Hanna menurut untuk ikut pulang. Karna jika dibiarkan, Gus Zein akan kehujanan dan sakit, memaksanya pulang pun takkan berguna. Dan Hanna tak ingin melihat Gus Zein sakit lagi.

"Baiklah, cepat pulang.. "

Akhirnya Hanna berlari sembari menarik tangan Gus Zein, menuju sebuah gubuk kecil disekitar pemakaman.

"Sebaiknya kita duduk disini dulu, njenengan tak mungkin pulang dalam keadaan hujan bukan?"

Gus Zein tidak menjawab, dia sibuk mengusap lengannya, karna hawa yang terasa begitu dingin.

Hanna yang melihat itu merasa tak tega, dia benar benar khawatir Gus Zein jatuh sakit lagi, namun dia tak tau harus apa, dia juga tak membawa jaket.

Hanna pun nekad memeluk Gus Zein untuk sekedar memberi kehangatan pada tubuh Beliau.

Gus Zein lantas menoleh kearah Hanna yang tingginya sepundak itu.

"Kenapa Hanna?"

"Saya hanya tak ingin njenengan sakit lagi"

Disinilah Gus Zein merasakan bahwa cinta seorang Hanna benar benar tulus, dari pelukan itu, Gus Zein yakin bahwa Hanna tidak berbohong atas cintanya. Tidak ada keterpaksaan, Gus Zein benar benar menikmati pelukan itu.

Gus Zein membalas pelukan Hanna dengan dekapan yang lebih menghangatkan.

"Hanna.. ma'afkan aku.. "

"Aku mencintaimu gus"

"Aku percaya Hanna.. Aku lebih mencintaimu"

"Jika memang njenengan belum percaya, biarlah hujan ini yang menjadi saksi bahwa aku tidak sedang bercanda dengan hubungan yang selama ini kita jalin"

"Tak perlu meminta kesaksian Hujan, jika hakimnya saja sudah tau kebenarannya"

Hanna semakin memperdalam dekapannya, yaaa.. Bahagia yang beberapa menit yang lalu dia tanyakan disamping makam ibunya, kini terjawab sudah.

"Tolong jangan bahas cinta Gus Habsyi lagi gus, biarkan aku melupakanya seiring berjalannya rumah tangga kita.. Aku tak bisa spontan menghilangkannya dari ingatanku, karna Faktanya.. Memang Beliau yang lebih awal masuk dalam hidupku"

"Ingatkan aku jika lagi lagi aku cemburu dengan masalalumu Hanna, aku hanya terlalu mencintaimu.. Hingga terkesan egois dengan perasaanmu"

"Aku tak ingin, cintamu kembali membuatku merasa tersakiti gus.. Bahkan karna cintamu yang berlebihan pula, hingga membuat njenengan meragukan perasaanku terhadap njenengan"

"Ma'af yang berkali kali kuucapkan mungkin sudah tak berarti lagi, dibandingkan sakit yang terlanjur aku torehkan dihatimu Hanna"

"Aku tak membutuhkan kata maaf njenengan gus, aku hanya butuh bukti bahwa njenengan tak akan bersikap posesif seperti tadi"

"Ma'afkan, sayang"

Hanna mendongak kearah Gus Zein, karna panggilan tak biasa itu.

"Aku sengaja.. Tak bolehkah?"

Ucap Gus Zein sembari menatap lekat kedua manik mata Hanna yang sangat indah.

Hanna membalas tatapan Gus Zein sembari mengulas senyum, senyum yang nampak tertahan.

"Sangat boleh gus.. "

TANDA CINTA BUNYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang