"Assalamualaikum"
Bukannya melihat, perempuan itu malah semakin menundukkan wajahnya.
"Wa'alaikumussalam.. "
Gus Habsyi mengernyit mendengar jawaban salam itu, beliau sangat tidak asing dengan suara itu.
( Suara ini? Hanna.. Kau kah itu.. )
"Aku Faris, bolehkah aku duduk disampingmu?"
"Ya.. "
Perempuan itu hanya menjawab singkat tanpa menoleh sedikitpun.
( Hanna, aku yakin ini dirimu.. )
"Aku berharap kau sudah tau tentang statusku"
Tanpa basa basi perempuan itu langsung mengatakan poin yang memang harus diketahui calon pasangannya.
"Pamanmu sudah memberitahu semua tentangmu, kecuali namamu""Hanna, namaku Hanna"
Gus Habsyi membelalakkan mata, keyakinannya tidak salah sedikitpun, yang disampingnya saat ini adalah Hanna, kakak ipar sekaligus orang yang tengah singgah dihatinya saat ini.
"Hanna.. "
Hanna langsung mendongak mendengar panggilan itu.
( Panggilan ini? Gus Habsyi? )
Hanna lantas menoleh, mengetahui siapa yang tengah disampingnya, Hanna lantas berdiri dan menjauh, hendak menghindari laki laki yang dia anggap sebagai penghancur rumah tangganya itu.
"Hanna tunggu.. "
Gus Habsyi memegang lengan Hanna yang tertutup jubah itu.
"Lepas.."
Hanna mengibaskan tangannya, berharap Gus Habsyi melepas pegangannya.
"Hanna dengarkan aku dulu Hanna"
"Tak puaskah kau menghancurkan hidupku? Hah? .. Lepas.. Pergi kamu.. Atau aku akan teriak"
Gus Habsyi tetap kekeh memegang tangan Hanna. Kemudian Gus Habsyi memegang kedua lengan atas Hanna dan menggiringnya untuk menatap wajahnya.
"Dengerin aku Hanna, dengerin penjelasanku dulu"
"Mboten gus, aku benci njenengan .. aku benci"
Hanna meninju dada Gus Habsyi yang jelas tak akan membuat Gus Habsyi merasa kesakitan sama sekali. Hanna kembali menangis, setelah beberapa bulan dia mencoba untuk menahan tangis itu sekuat tenaga.
"Kau salah faham Hanna, aku tak sengaja meminum obat perangsang waktu itu!!"
Gus Habsyi yang kehabisan kesabaran akhirnya berkata dengan nada bicara naik dua oktaf.
"Maksudmu, obat perangsang?"
"Duduklah"
Gus Habsyi menggiring Hanna untuk duduk ditempat semula, setelah Hanna agak tenang.
Kemudian perlahan Gus Habsyi menceritakan secara detail tentang apa yang sebenarnya terjadi saat itu.
"Jadi semua ini salah faham?"
Tanya Hanna yang hanya dibalas anggukan oleh Gus Habsyi.
"Hanna.. Apa cintamu padaku sudah hilang sepenuhnya?"
"Apa maksudmu?"
"Jangan berbohong Hanna, bukankah kau mencintaiku sudah Hampir lima tahun"
Hanna lantas menoleh kearah Gus Habsyi.
"Dari mana njenengan tahu gus?"
"Mas Zein yang mengatakannya, dan... Buku diary itu"
"Sudahlah gus, njenengan sudah beristri, dan aku, pernah jadi istri dari kakak njenengan.. Sebaiknya lupakan saja rasa itu"
"Tapi aku belum bisa Hanna, aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencintai Laila seperti aku mencintaimu.
Hingga aku memaksakan diri untuk bersikap layaknya suami yang sangat mencintai istrinya didepan Laila, berharap cinta itu akan datang ketika dipaksa..
Tapi nihil, aku tak pernah bisa mencintai Laila setulus aku mencintaimu"
Desiran angin malam seakan ikut mengiba dengan perasaan yang sedang mereka tahan selama ini, pucuk rambut Gus Habsyi melambai lambai mengikuti alunan angin yang berhempas lembut.
"Begitu pun aku Gus.. Aku mencintaimu, dan mana mungkin rasa itu akan begitu saja hilang tak tersisa dengan datangnya orang baru?
Tidak gus, sampai saat ini pun rasa terhadap Gus Zein tak sebesar dibanding cinta yang telah terlanjur aku curahkan pada njenengan sepenuhnya"
Setitik air mata begitu saja keluar dari pelupuk mata Hanna.
"Lalu apa maksud tulisan pada buku diarymu Hanna? Kau bilang sudah sangat mencintai Mas Zein? "
"Bukankah itu hanya tulisan? Bahkan tinta pena tak pernah tau tentang apa yang aku simpan pada relung hatiku yang paling dalam.
Aku tengah membohongi diriku sendiri gus, Tulisan itu hanya penghibur hati, agar aku terkesan sangat mencintai Gus Zein, dan berharap tulisan itu menjadi doa, agar aku bisa benar benar mencintai Gus Zein, dan bisa melupakan njenengan sepenuhnya"
Gus Habsyi mengambil pucuk kain sorban yang dikalungkan dilehernya, kemudian menghapus air mata Hanna dengan kain sorban itu.
Hanna menoleh kearah Gus Habsyi hendak mempertanyakan kenapa beliau menggunakan kain sorbannya.
"Kenapa Gus?"
"Aku hanya tak ingin lagi mengotori anggota tubuhmu, dengan sentuhan tanganku Hanna, aku memang mencintaimu.. Tapi tetap saja, kau bukanlah mahromku"
Hanna menunduk membenarkan ucapan Gus Habsyi, dia memang mencintai beliau tapi tetap saja, beliau bukanlah mahromnya. Adanya cinta tak bisa merubah yang haram menjadi halal bukan?
Terdengar sakit memang, tapi inilah kenyataannya.
"Hanna.. Andai saja kau bilang dari dulu, jika kau mencintaiku.. Mungkin semuanya akan berjalan sesuai cinta kita"
Hanna mengangkat sebelah bibirnya, dengan tersenyum sinis. Seakan menertawakan dirinya sendiri.
"Siapa saya akan mengatakan hal serendah itu gus?
Bukankah akan menjatuhkan harga diriku sebagai perempuan sekaligus santri jika aku mengatakan hal se kurang ajar itu"
"Tapi aku nyaman bersamamu saat itu"
"Sedangkan njenengan tengah menyukai Laila? Siapa saya dibanding Laila gus? Memang secara logika njenengan akan memilih Laila.
Tapi ini bukan lagi tentang logika, tapi tentang rasa gus.
Cinta tak pernah memandang siapa yang tengah dipilihnya, cinta datang begitu saja. Tanpa mengenal wajah, harta, dan tahta..
Inilah takdir kita gus"
"Aku mencintaimu Hanna".
Hai readers...
Ingin tahu visualnya Gus Zein Sama Hanna? Ada di Instagram Author yaa.. dengan nama Ig: dian_ttkhoiriyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANDA CINTA BUNYAI
Short StoryKisah ini menceritakan tentang kisah seorang santri bernama Hanna yang mengagumi Gusnya. Namun apalah daya, kekaguman, bahkan rasa cintanya terpaksa harus dibuang jauh jauh ketika tahu jika ternyata Gusnya diam diam menyukai Sahabat karib Hanna sen...