Lelaki Misterius

2.1K 75 1
                                    

"Nuwun sewu"

"Iyo, Hanna..  Masuk"

"Ngapunten sanget sakderengipun, dalem ganggu wakdalipun panjenengan, dalem badhe matur"

"Iya, kate ngomong opo nduk? "

Hanna tak sanggup mengatakannya, sebelum berbicara, air matanya sudah mengalir duluan. Hanna benar benar tak sanggup. Namun bunyai hanya diam, beliau seakan membiarkan Hanna menyelesaikan masalahnya sendiri.

"Ngapunten, dalem kepareng wangsul"

"Wangsul kenapa?"

"Da..leemmm.. Kepareng boyong bunyai"

Tangis Hanna benar benar pecah ketika kata-kata mboyong keluar dari mulutnya, dia benar benar tak sanggup.

"Kenapa nduk, apa alasannya?"

"Dalem dipun utus mboyong kalean buddeh, kranten buddeh sampun nggada tanggungan lintu, dadose sampun mboten saget ngintun dalem"

"Nduk, nek cuma itu alasannya, aku ndak ngizinin kamu mboyong"

Dengan tegas bunyai mengatakan itu pada Hanna. Hanna hanya kebingungan Dan tak tau harus menjawab apa.

( Dospundi ya Allah, dalem bingung sanget )

"Hanna, jika masalahnya cuma ekonomi, kamu bisa tetap disini nduk, samean wes tak anggap anakku dewe, kamu ndak perlu mbayar apapun"

Hanna tak tau harus senang atau sedih dengan pernyataan bunyai, yang pasti perasaannya sangat bimbang, dia merasa tak enak dengan bunyai yang rasa seorang ibu ini. Bunyai yang bahkan lebih besar kasih sayangnya, dari pada kasih sayang bibinya sendiri.

"Hanna, aku njaluk tulung.. Jangan boyong dulu, aku sek kepingin ngasih hadiah gawe samean"

( Hadiah? Bukankah kemaren aku sudah diparingi jubah kale bunyai? )

"Ngapunten, hadiah nopo bunyai?"

"Suatu hari nanti kamu akan tau, nak"

Hanna yang masih penasaran langsung terdiam. Namun karna merasa tak baik jika harus bertanya lagi, Hanna pun hanya meng iyakan ucapan bunyai.

"Inggih bunyai, matur nuwun sakderengipun"

Bunyai tersenyum sembari mengangguk.

"Hadiah ini mungkin terlihat biasa saja bagi samean, tapi akan sangat bermanfaat untuk kehidupan samean.
Yowes sekarang samean balik ke kamar"

Hanna undur diri dan balik menuju pondok. Dikamar terlihat Laila yang masih berkutat dengan kitabnya.

"Lel"

Menyadari Hanna datang, Laila langsung menutup kitab, dan menghentikan aktivitas belajarnya.

"Han, aku takut Haaan"

Hanna mengernyitkan alisnya heran dengan Laila yang tiba tiba berkata takut.

"Wedi opo toh, sek sore gak onok meddi"

"Dudu krono iku Han, aku arep lomba, tapi belajarku durung tuntas"

"Kapan lombae?"

"Bulan depan"

"Lah, kesempatan belajar kan sek akeh toh Lel"

"Tapi aku sek sibuk ngurusi perlengkapan pernikahan juga Han"

"Nikahnya kan masih lama?"

"Nggak Han, aku pingin persiapan mulai sekarang, dengan persiapan sebaik mungkin, aku pingin nyenengke Gus Habsyi"

( Tapi gak selebay itu kan Lel..

Ehhh.. Aku kok jadi sensi sih.. Tapi aku gak cemburu kok.. Ihhh.. Udah dong hatiii, Gus Habsyi tuh bukan milik kamu )

Hanna bergelut dengan pikirannya sendiri, dia belum mampu mengendalikan cintanya yang sudah sangat lama terpendam itu, sangat tidak mudah baginya, menghapus cintanya begitu saja.

"Emang samean wes seneng karo Gus Habsyi?"

"Duuh.. Hanna pakek nanya, yo jelaslah.. Sopo seng nggak cinta nek suaminya se-wah Gus Habsyi"

  Laila terlihat sangat excited menceritakan bagaimana maa syaa Allah nya Gus Habsyi dimatanya.

"Bisa kan gak selebay itu?"

Ucap Hanna sambil memutar bola matanya.

"Ehh ehh..  Kok kamu yang sebel sih, hehe... Kamu cemburu yaaa"

Laila menggoda Hanna dengan menunjuknya dan menaik turunkan alisnya.

( Eh, iya iya.. Kok aku... Ah, aku kenapa sih, gausah nunjukin ekspresi kaliii Han ) ,

Hanna bergumam, mengutuk dirinya sendiri.

"Ehh.. Ngg.. Gak..  Ngapain cemburu, kan Gus Habsyi dudu sopo sopoku toh"..

"Hehe.. Iya iya.. Guyooon.. Kan yo nggak mungkin Hanna cemburu karo sahabat sendiri, ya kan"

Laila berkata dengan polosnya, dia benar benar tidak tau jika sebenarnya dari dulu Hanna menyukai Gus Habsyi.

"Enn.. Aku tak nderes sek yo"

Hanna mengalihkan pembicaraan, dia tak ingin Laila curiga dengan perasaannya.

"Iyo Han, aku yo sek arep belajar"

Hanna meninggalkan Laila dikamarnya, dia sangat gelisah, karna tak mampu mengendalikan perasaannya sendiri.

( bener kata Laila, gak seharusnya aku cemburu dengan sahabatku sendiri,
Ya Allah.. Aku gak seharusnya bersikap kayak gini ya Allah.. Tolong Hamba )

*
*
"Nak, tadi malam aku sudah bicara sama orangtuanya Laila, kita sudah sepakat jika acara resepsinya tanggal 7 Februari"

Ucap Bunyai terhadap Gus Habsyi yang tengah memainkan gawainya.

"Berarti kurang satu setengah bulan dong mik"

"Enggeh, tapi umik minta tolong, samean jangan sekali kali bertemu apalagi berinteraksi dengan Laila dulu, sebelum dia sah jadi milikmu"

"Enggeh mik, Habsyi usahakan"

Gus Habsyi agak kecewa dengan penuturan terakhir bunyai. Tapi tak apalah, yang penting dia bisa secepatnya memiliki Laila sepenuhnya.

*
*

( Hadiah? Hadiah apa yang dimaksud bunyai )

Pukul 2 dini hari, diloteng seperti biasa, Hanna bergumam sendiri, sembari memandangi langit yang tengah berbintang. Dia lalu membaca Ayat Ziyadah yang hendak disetorkan besok sore.

"Yaa ayyuhannasu dluriba matsalun fastami'uu lah"

Ketika tengah membaca halaman terakhir juz 17, Hanna melihat seorang laki-laki yang tak asing diingatannya. Laki laki itu tengah berjalan dihalaman pondok dengan membawa tas kecil yang hanya cukup berisi dompet dan hape. Sepertinya dia hendak keluar dari gerbang pondok.

( Laki-laki itu? Yang waktu itu di ndalem kan? Tapi aku seperti tidak asing dengannya, aku pernah bertemu, tapi dimana Ya Allah )

Hanna berpikir lebih dalam, memejamkan mata, mencoba mengingat ingat siapa laki laki itu. Tapi nihil, dia tak bisa mengingat apapun tentang lelaki itu. Hingga ketika Hanna membuka mata, lelaki itu sudah diluar gerbang, dan hendak menutup gerbangnya.

( Ahh.. Dia siapa sih!! )

TANDA CINTA BUNYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang