Aku bukan barang, Gus

2.1K 82 0
                                    

"Kenapa belum tidur?"

"Emm.. Mboten saget bubuk gus, jadi kulo cari angin malam sambil liat santri santri yang belum tidur"

Gus Zein menoleh kearah Hanna,

"Kenapa menangis?"

"Aku hanya rindu ummi abi gus, aku rindu pelukan mereka"

Air matanya kembali meleleh, dia benar benar tak mampu menahannya jika itu tentang orang tua.

Gus Zein kemudian menarik Hanna kedalam dekapannya, Beliau memeluk erat Hanna yang tak merespon apa apa dengan pelukan itu.

"Hanna, saat ini.. Aku yang menjadi pengganti abi dan ummi.. Aku akan menjagamu Hanna, walau aku tak pernah berjanji dihadapan orang tuamu, tapi aku telah berjanji dihadapan Allah untuk selalu menjaga, dan menyayangimu.. Peluk aku Hanna, luapkan segala yang menjadi beban pikiranmu"

Hanna mulai mengangkat tangannya, dan sedikit demi sedikit membalas pelukan Gus Zein, yang lama kelamaan pelukan itu semakin erat, dengan jari jari Hanna yang mencengkram erat kain kaos Gus Zein.

Hanna menangis sejadi jadinya didalam dekapan Gus Zein, benar benar pilu.

( Untuk kedua kalinya Hanna, aku melihatmu dengan kondisi yang sangat rapuh, karna orang yang sama.

Aku tau, cintamu bukan untukku, dan aku takkan memaksakan itu.

Biarlah takdir yang mengatur semua, aku rela Hanna, sekalipun tak ada ruang untukku dihatimu. Yang pasti, aku akan menjagamu, aku akan berusaha membuatmu bahagia.. Karna aku... Aku mencintaimu Hanna )

*
*
Hanna mengumpulkan baju baju kotor miliknya dan Gus Zein kedalam sebuah ember, lalu hendak membawa kekamar mandi.

"Mau kemana?"

"Cuci baju gus"

"Biar khoddam yang nyuci.. "

"Loh mboten gus, kan wonten baju kulo, sedangkan teng mriki santrinya putra semua"

Gus Zein berfikir sejenak, membenarkan kata kata Hanna.

"Yawes, ayok"

"Gus, mau kemana"

"Nyuci"

Ucapnya sembari mengambil alih ember yang berada ditangan Hanna. Kemudian berjalan menuju kamar mandi bawah.

"Loh, Gus.. Kulo mawon"

Gus Zein tak menghiraukan Hanna. Hanna pun hanya pasrah jika Gus Zein sudah tak banyak bicara seperti ini.

"Biar kulo yang nyuci gus"

"Yawes, aku yang mbilas"

Hanna pun mulai mencuci dikamar mandi bawah yang ukurannya terlalu besar untuk disebut kamar mandi.

Kemudian dengan lihai tangan Gus Zein membilas pakaian itu satu persatu.

"Gus, njenengan niki seorang gus, tapi kok kerjaannya ngalah ngalahi santri biasa toh?"

Ucap Hanna yang heran dengan lihainya Gus Zein melakukan pekerjaan.

"Ya kan pas dipondok udah jadi santri kayak umumnya, bahkan jadi khoddam.. Jadi meskipun disini kebetulan dapat panggilan gus, dipondok ya bukan gus,. Tetep santri, sama aja"

Hanna hanya menganggukkan kepala.

Kemudian dia mengumpulkan pakaian pakaian itu dan membawanya ke jemuran.

"Loh kok nyuci sendiri toh, khoddam kemana?"

Ucap bunyai yang tiba tiba saja datang bersama Gus Habsyi.

"Loh.. Umik, mulai kapan teng ngeriki? Kale Habsyi mawon? Abah teng pundi? Mobilnya Dimana?"

Gus Zein menyalami bunyai, begitu juga Hanna.

"Abah lagi pengajian, dadi aku ngajak Habsyi. Mobilnya dihalaman pondok"

( Kenapa harus bertemu Gus Habsyi lagi?? )

Hanna bergumam, merasa tak nyaman dengan keberadaan Gus Habsyi.

"Monggo sarapan riyen mik"

Bunyai mengikuti Gus Zein menuju dapur. Sedang Gus Habsyi masih mematung menunggu Hanna di jemuran.

"Hanna"

Hanna tak menghiraukannya, dia berlalu tanpa menoleh kearah Gus Habsyi sama sekali.

Diruang makan, segala jenis lauk telah disediakan oleh para santri, untuk sarapan gus dan ning nya.

"Hanna, ini samean yang masak?"

"Sanes bunyai, niku dipun masak aken lare lare"

Ucap Hanna yang baru masuk ke dapur membawa ember cucian tadi.

"Hanna, sini nak"

Bunyai menunjuk kursi disebelah, agar Hanna juga duduk disitu.

Hanna pun mengikuti titah bunyai, dan duduk disebelahnya.

"Nak.. Sampai kapan mau panggil bunyai?"

Hanna gelagapan mendengar pertanyaan bunyai. Pasalnya dia sadar jika tak seharusnya dia memanggil bunyai untuk saat ini, karna Beliau adalah mertuanya. Tapi perasaan tidak enak masih menempel dihatinya, dia masih merasa, bahwa dirinya hanya seorang santri.

"Ojo panggil bunyai lagi yaa.. Saya ini ummik kamu"

"Inggih bunyai"

Bunyai mengernyitkan dahi mendengar Hanna tak merubah panggilannya.

"Eh.. Inggih umik"

Lidah Hanna merasa kelu dengan panggilan tak biasanya itu. Dia benar benar merasa tak enak dengan bunyai.

"Yawes ayuk sarapan, ini masakan santri ya.. Asline aku kangen masakanmu loh Han"

"Ohh.. Inggih umik, dalem masaaken sakmangken"

Hanna lantas berdiri Hendak memasak.

"Ehh.. Nggak, nggausah.. Iki sek banyak, mubadzir nek ndak dimakan.. Kapan kapan ae yah"

"Inggih umik"

Gus Zein yang dari tadi duduk disamping meja makan, clingak clinguk mencari keberadaan Gus Habsyi.

"Adek pundi mik?"

"Mau ning jemuran"

Gus Zein beranjak menuju jemuran mencari keberadaan adiknya.

Bunyai tersenyum melihat Gus Zein yang sangat peduli dengan adiknya.

"Hanna.. Bojomu iku tanggung jawab banget loh.. Dia selalu mengalah apapun situasinya, dia tak pernah minta sesuatu yang diinginkan..  Kalau dikasih, diterima.. Gak dikasih ya gapapa. Tak terlalu banyak bicara, tapi banyak berbuat.. Sangat berbanding balik dengan Habsyi"

"Kenapa ummi?"

"Habsyi itu ambisinya tinggi, dia cerdas, tekadnya kuat. Jadi jika dia menginginkan sesuatu, pasti dia bersikukuh untuk mendapatkannya, sekalipun itu sudah milik orang lain"

Hanna makin mengenyitkan dahinya, tak paham dengan arah pembicaraan bunyai.

"Contohnya, dulu saat masih kecil. Habsyi dan Zein sama sama tak beliin mobil mobilan, bentuknya berbeda. Habsyi memilih mobil yang lebih bagus, warnanya lebih bagus juga, jadilah Zein mengalah, memilih yang tak diminati oleh Habsyi.
Namun melihat mobil Zein lebih cepat larinya, Habsyi beralih menyukai milik Zein, dia pun ingin memilikinya"

"Lalu ummik?"

"Zein mengajaknya menukar mobil itu, namun Habsyi tak mau, dia juga menyukai mobilnya sendiri. Jadi mau tidak mau, Zein yang harus mengalah dan memberikan mobilnya sendiri, tanpa mendapatkan ganti, demi menyenangkan hati adiknya"

Hanna menganga mendengar penjelasan bunyai. Dia menyimpulkan bagaimana sangat berambisinya seorang Gus Habsyi.

( Apa nasibku akan seperti mobil mobilan itu? Ya Allah, jaga Hamba ).

TANDA CINTA BUNYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang