Gemericik air hujan yang jatuh ke atap pesantren, mengganggu tidur pulas Hanna, matanya yang tadi terpejam mulai terbuka. Dia melirik jam dinding yang berada sebelah utaranya.
"Sek jam setengah dua"
Karna merasa punya kewajiban tahajjud, dia bergegas bangun, lalu hendak menuju kekamar mandi, yang kebetulan agak jauh diri kamarnya.
"Duh, sepi banget toh, udan sisan, marai merinding ae"
Namun seperti biasa, rasa takutnya selalu kalah dengan tekatnya untuk bangun setiap sepertiga malam. Dia melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi. Namun, ketika hendak sampai ke pintu salah satu kamar mandi, sebuah tangan memegangi pundaknya.
"Hanna?"
Suara itu benar² mengejutkannya, dia lantas membalikkan tubuhnya, dan mendapati Bunyai Aisyah sudah berdiri dihadapannya.
"Inggih dalem"
"Wes tangi toh?"
"Inggih bunyai"
"Hmmm, iyo.. iku mau banyu jeddinge amber, mbak mbak lali nutup kran opo piye? Sopo piket kontrol jedding asline?"
"Ngapunten Bunyai, sakmangken mbak Eva kale mbak Zakiya, namung kadose mbak Eva sakit, terus mbak Zakiya...", ( Ma'af Bunyai, Mbak Eva sama mbak Zakiya, tapi sepertinya mbak Eva sedang sakit, terus Mbak Zakiya....) Hanna menghentikan ucapannya, karna dia juga tidak tau, kenapa Zakiya tidak piket malam ini.
"Kenapa Zakiya?"
"Menawi supe Bunyai, atau sakit pindah" ( Mungkin lupa Bunyai, atau sakit juga )
"Oohh.. yawes, samean mau wudhu' toh, silahkan, tak tunggu, kita tahajjud berjama'ah"
"Inggih Bunyai"
Hanna cepat² menyelesaikan wudhu' nya lalu bergegas ke musholla bersama Bunyai. Disitu Bunyai menjadi imam, untuk melaksanakan sholat tahajjud. Setelah selesai, bunyai berpamitan untuk kembali ke Ndalem, tinggalah Hanna seorang diri. Seperti biasa, dia menuju pojok loteng dan Muroja'ah, menatap gelapnya langit yang masih menjatuhkan airnya.
( Kenapa, kenapa rasa ini belum hilang, bahkan bertambah besar )
Hanna membatin, dia kembali mengingat kejadian tadi malam, yang mana Al-Qur'annya jatuh, dan diambil Gus Habsyi. Dia membayangkan, dan menyunggingkan senyuman.( Gus, kenapa rasa cemburu ini bahkan lebih besar dari cinta itu sendiri, salahkah jika aku memendam cinta ini terhadap njenengan?
Gus, kenapa harus Laila? Aku tak ingin menaruh benci terhadap sahabatku sendiri, hanya karna cinta njenengan terhadapnya )Hanna mengubah posisinya menjadi duduk, dan menyandar ke pagar besi itu lalu memejamkan kedua matanya, menengadahkan wajahnya, sembari memeluk Al-Qur'annya.
( Umi, abi.. seandainya kalian masih ada, mungkin aku tak akan sesakit ini, aku punya sandaran, aku punya umi abi, satu-satunya alasan aku berbahagia. Tapi .. kenapa? umi sama abi pergi secepat ini, aku pengen berbagi cerita umi, abi, ini terlalu sakit untuk aku pikul sendirian ).
Air matanya luruh begitu saja, dia seakan tak punya kebahagiaan setelah orang tuanya tak ada. Dirumah bersama bibinya, yang bahkan seakan tak menganggap dia sebagai ponakan, melainkan pembantu.
Setelah puas meratapi hidupnya, dia tertidur menyandar dipagar besi itu.
*
*Sebuah siraman terasa menghempas diwajah dan tubuh Hanna yang tadinya masih tertidur pulas dengan posisi menyandar. Hanna terperanjat dan langsung membuka matanya lebar lebar, disitu terlihat Zakiya yang memegang ember dan ditemani kedua teman lainnya.
"Allahu Akbar, Mbak Zakiya!! Kok disiram toh aku iki!!", Protes Hanna yang merasa geram karna sengaja disiram dengan satu ember air.
"Lah, mau gak disiram gimana, wong kamu tidur disini. Wes ditolak toh turu ning kamare sendiri? Heh?", Ejek Zakiya dengan tangan yang disilangkan didepan dada.
"Kan bisa dibangunkan baik baik!"
"Hah? Untuk khoddam tak berprestasi se kelas kamu? Emang pantes dibaik baikin? Yo ora lah.. samean pantes diperlakukan kayak gini"
Setelah mengucapkan itu, Zakiya dan kedua temannya tertawa mengejek dihadapan Hanna yang sudah basah kuyup. Hanna mendengus kesal, tak ingin berdebat sia sia, dia lalu pergi menuju kamar meninggalkan Zakiya dan komplotannya.
"Loh loh.. Hann.. samean dari mana toh, tak cari² gak ketemu, datang datangnya malah basah kuyup, perasaan udane wes mandek",
Laila memberondong Hanna dengan pertanyaannya, sembari merapikan baju bajunya diloker.
"Aku disiram"
"Karo sopo?"
"Mbak Zakiya, wes Lel, aku tak adus"
"Sek toh, aku durung mari takok"
Hanna tak menjawab, dia mengambil pakaian ganti lalu beranjak kekamar mandi. Setelah selesai, dia langsung menuju kamar dan mengambil mukenahnya, kemudian menggelar sajadahnya.
"Sholat opo toh Han? Dhuha kurang setengah jam loh".
Lagi lagi Laila bertanya terhadap Hanna, dan Lagi lagi tak mendapat jawaban, Hanna terus saja melakukan sholatnya. Setelah selesai sholat barulah Hanna membuka ceritanya.
"Aku ngodho' sholat subuh, mau tahajjud aku keturon ning loteng. Terus disiram karo mbak Zakiya"
"Lah, lapo disiram? Kan bisa dibangunkan baik baik"
"Ya mbuh, samean koyok nggak werro ae, gimana sikap mbak Zakiya ke aku"
( Kamu kayak nggak tau mbak Zakiya aja )"Emang tuh orang, kayak e iri banget karo samean"
"Opo sing di iri teko aku?"
"Kan samean khoddam toh?"
"Apa istimewanya?" Ucap Hanna sembari mengernyit heran.
"Istimewa banget loh, wes cidek Bunyai, kesayangan Bunyai, akeh oleh barokah"
"Ojo marai aku gedhe ndas toh!"
"Gak percoyo yo wis, mangkane Gus Habsyi seneng samean.. hehe"
Hanna kini tidak menjawab, lagi lagi tak ingin membahas Gus Habsyi dihadapan Laila, karna dianggap terlalu sakit olehnya. Dia lalu beranjak pergi menuju Ndalem untuk melakukan tugas khoddamnya. Ketika sampai didapur, terlihat Gus Habsyi tengah menggoreng telur, tangan kiri memegang tutup panci sebagai tameng dan tangan kanan memegang spatula. Beliau terlihat terjingkat bersamaan dengan letusan minyak dari penggorengannya. Karna khawatir, Hanna menghampiri Gus Habsyi, hendak menggantikan pekerjaannya.
"Nuwun sewu gus, kresane dalem mawon ingkang nggoreng tigan" ( Permisi gus, biar saya yang nggoreng telur )
"Ohh, iya iya.. ini.. aku keweden banget", ucap Gus Habsyi sembari menyerahkan spatula yang dipegangnya tadi.
"Astaghfirullah!!!"
Pekik Hanna, ketika melihat nasib si telur yang telah gosong bagian bawahnya. Dia lantas mematikan kompornya, lalu mengangkat telur yang bernasib malang itu.
"Loh Han? Wes mateng toh, kok wes diangkat?"
"Mboten cuma mateng Gus, niki ngoten sampun kelewat mateng.. alias gosong". Hanna terkekeh.
"Hehe.. kaku banget yoh aku, goreng telur ae gak becus"
"Hehe, emang sanes pekerjaan panjenengan gus" ( Emang bukan pekerjaan Anda gus )
"Tadi, pikir saya cuma pingin mandiri, gak pingin terus terusan merepotkan santri, eh.. ternyata gagal"
"Hemmm.. menawi dalem gorengeken malih?" ( Mungkin bisa saya gorengkan lagi? )
"Iya .. boleh.. sekaligus pingin liat, tutorial goreng telur yang bener, ben gak gosong maning"
Hanna mulai mengambil telur dan memasaknya. Disisi lain, terlihat Bunyai yang dari tadi sudah berada dipintu kamar, memerhatikan tingkah dua sejoli itu.
"Sepertinya, mereka cocok".
KAMU SEDANG MEMBACA
TANDA CINTA BUNYAI
Cerita PendekKisah ini menceritakan tentang kisah seorang santri bernama Hanna yang mengagumi Gusnya. Namun apalah daya, kekaguman, bahkan rasa cintanya terpaksa harus dibuang jauh jauh ketika tahu jika ternyata Gusnya diam diam menyukai Sahabat karib Hanna sen...